Yang Haram Hanya Yang Diharamkan Al Quran?
Ustadz, saya masih sering dengar tentang perdebatan sebagian orang bahwa selain darah, bangkai, daging babi dan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah itu hukumnya boleh, tidak haram. Bagaimana sebenarnya memahami ayat tersebut? Apakah pembatasan dalam ayat tersebut bersifat mutlak ? dan katanya pula, kalaupun ada hadits yang mengharamkan, itu berarti haditsnya bertentangan dengan al Quran. Bagaimana ustadz? (Anwar)
Jawab:
Bismillah, washalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.
Ayat yang dimaksud adalah:
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah….” [QS. Al-An’aam : 145].
Imam as Suyuti dalam menjelaskan dalam kitab Tahdziib wa Tartiib Al-Itqaan bahwa hashr adalah pengkhususan atau pembatasan satu perkara dengan sesuatu yang lain dengan jalan yang khusus. Dikatakan juga : penetapan hukum pada sesuatu yang disebutkan dan menafikkannya dari yang lainnya”.
Kalimat pembatasan (hashr) semisal; “Tiadalah..kecuali hanya” atau yang disebut juga dengan qashr terbagi menjadi dua; haqiqi dan idzafi. Hashr haqiqi adalah pembatasan yang mutlak.
Misalnya pada kalimat, “ laailaha illallah” (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Artinya, secara mutlak hanya Allahlah yang berhak disembah. Selain Allah tak satupun ada yang berhak disembah dan pantas disebut ilah.
Contoh lain, kalimat “Dan tidaklah Muhammad itu melainkan Rasul.”(Ali Imran; 144). Artinya Muhammad hanyalah seorang rasul dan bukan sesembahan yang memiliki kesempurnaan. Ini menafikan adanya sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan) yang ada pada diri Muhammad. Muhammad hanyalah seorang manusia.
Jika kalimat hashr disebutkan begitu saja, maka secara otomatis kalimat itu dimaknai sebagai pembatasan secara mutlak. Namun, jika ada qarinah (faktor lain) yang secara jelas menghalangi kalimat tersebut dibawa pada makna hakikinya, kalimat hashr tersebut menjadi idzafi atau tidak mutlak. Artinya, pembatasan tersebut dimaksudkan untuk pembatasan pada konteks tertentu, waktu tertentu atau tempat tertentu.
Misalnya, “Tidak ada Raja selain Umar” padahal faktanya, ada raja lain selain Umar. Berarti, hashr tersebut makanya idzafi atau majazi. Maksudnya mungkin, tidak ada raja yang lebih sukses dari Umar, atau tidak ada raja di wilayah ini selain Umar.
Adapun hashr dalam ayat di atas bukanlah hashr hakiki melainkan hasr idzafi. Hal ini dibuktikan dengan adanya ayat dan hadits lain yang menghalangi pembatasan ayat tersebut secara mutlak. Yaitu ayat atau hadits yang menjelaskan tentang haramnya beberapa benda dan binatang. Di antaranya;
- Binatang yang mati tercekik, jatuh dll. Allah ta’ala berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging binatang) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala” [QS. Al-Maaidah : 3].
- Khamr
Allah ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [QS. Al-Maaidah : 190].
- Hewan Buas.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
” كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ “
“Setiap binatang buas (as-sibaa’) yang mempunyai taring, diharamkan untuk memakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1933].
- Daging Anjing. Air liur anjing najis dan sesuatu yang najis pastilah haram, meskipun tidak semua yang haram pasti najis. juga, Rasulullah mengharamkan jual beli anjing dan menyebut hasil jual beli dengan khobits.
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ “
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah” [HR Muslim no. 279].
Dari Raafi’ bin Khudaij, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
” ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ، وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ “
“Hasil penjualan anjing adalah khabiits (buruk/keji), upah pelacur adalah khabiits, dan hasil usaha tukang bekam adalah khabiits” [HR Muslim no. 1568]. Sedangkan segala sesuatu yang dikategorikan sebagai khobits adalah haram. Allah Ta’ala berfirman: “Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabaaits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Mengenai dalih sebagian orang bahwa yang bertentangan dengan al Quran, meskipun itu hadits shahih berarti batal, semestinya, umat Islam sudah terbebas dengan paham ini. Sebab, Rasulullah telah memperingatkan dalam sabdanya:
لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ
“Hampir saja aku dapati salah seorang di antara kalian bersandar di atas tempat duduknya, ketika datang kepadanya satu perkara yang aku (Rasulullah) perintahkan atau aku larang, ia berkata : ‘Aku tidak tahu. Apa yang kami dapati dari Kitabullah, itulah yang kami ikuti.” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4605, At-Tirmidziy no. 2663, Ibnu Maajah no. 13].
Imam Asy Syinqithi berkata, “Pertama-tama, ketahuilah bahwasannya sesiapa yang mengatakan tidak ada makanan yang diharamkan kecuali empat hal yang disebutkan dalam ayat ini (Al-An’aam : 145), maka itu baathil berdasarkan kesepakatan kaum muslimin serta dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang pengharaman khamr. Ini adalah dalil yang pasti tentang pengharaman selain yang empat hal tersebut. Sesiapa yang menganggap bahwa khamr halal berdasarkan ayat ini, ia kafir tanpa ada satu ulama pun yang menyelisihi.” [Adlwaaul-Bayaan, 1/521].
Jadi, pembatasan dalam ayat 145 surat al An’am adalah pembatasan sesuai konteks tertentu. Yaitu, pada saat itu saja karena ayat in turun pada saat Nabi masih di Makkah. Dan setelah di Madinah ada sekian banyak hadits yang menjelaskan haramnya berbagai macam hal sebagaimana tersebut di atas. Wallahua’lam.