Ujian Keimanan Pasangan Beriman
Kasak-kusuk tentang ajaran baru yang dibawa Muhammad telah menyebar seantero Makkah. Meski mayoritas penduduknya tak peduli berita itu, tapi para tetua Quraisy mulai mencium benih-benih ancaman. Bagi beberapa orang, di saat hukum adat jahiliyah mengakar erat di Jazirah Arab, kehadiran Islam serasa oase di tengah padang pasir tandus. Itu pula yang dirasakan oleh Ayyas bin Abi Rabiah.
Ayyas adalah putra Abu Rabiah atau Amru bin Mughirah, tokoh Quraisy dari Bani Makhzum. Ibunya bernama Asma binti Makhramah, tapi orang Quraisy lebih mengenalnya dengan nama Ummu Julas. Ummu Julas juga ibu kandung Abu Jahal, paman Rasulullah. Ayyas masih terhitung saudara seibu Abu Jahal namun beda ayah.
Ayyas tahu betul bahwa keluarga bersarnya dari Bani Makhzum benci setengah mati terhadap Muhammad dan Islam. Ia juga sadar banyak mata-mata Quraisy di sekitar rumah nabi mengamati siapa saja yang menjadi pengikut Rasulullah. Tak mau ambil risiko, Ayyas pun menemui Abu Bakar yang telah lebih dahulu masuk Islam.
Ayyas banyak bertanya tentang Islam. Abu Bakar yang sudah lama bersahabat dengan Rasulullah menerangkan betapa indahnya ajaran tauhid. Dibacakannya pula ayat-ayat Al-Quran yang lebih indah dari syair yang pernah digubah sastrawan Arab.
Sepulang ke rumah, Asma bin Salamah, istri Ayyas menceritakan pertemuannya dengan Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah. Muslimah pertama tersebut mengajak Asma memeluk Islam dan mentauhidkan Allah. Kebetulan itu membuat pasangan Ayyas-Asma’ tak sabar bertemu nabi untuk mengikrarkan syahadat.
Memeluk Islam menjadi karunia yang disyukuri Ayyas. Apalagi setelah istrinya bermimpi tentang hari Akhirat. Asma melihat dirinya dicampakkan ke neraka, ia berusaha lari menjauh ke sebuah lembah hijau yang dipenuhi rerumputan dan terdapat mata air. Ayyas mengatakan kepada istrinya bahwa mimpi itu adalah isyarat. Asma turut bergembira karena Islam telah menyelamatkannya dari neraka.
Lama kelamaan, Ayyas tak bisa lagi menutupi keIslamannya dari bani Mahzum. Mereka memang marah besar, terutama Ummu Julas. Wanita itu tidak terima jika darah dagingnya meninggalkan agama nenek moyang. Baginya, adat dan tradisi adalah harga mati yang tak bisa ditawar.
“Sungguh, muhammad datang membawa kebaikan dunia akhirat,” kata Asma’ suatu hari kepada ibu mertuanya.
“Jadi kamu ingin mengulang apa yang dikatakan Muhammad mengenai kebangkitan dan perhitungan Amal?” sahut Ummu Julas.
Ayyas lalu angkat bicara, “Allah telah berfirman bahwa manusia akan memetik apa yang diusahakan. Hasilnya akan diperlihatkan kepadanya.”
“Sudah, sudah,” kata ummu Julas menghentikan Nasihat putranya.
Satu persatu ancaman dan intimidasi mulai dirasakan keluarga Ayyas. Ibunya pun tak lagi peduli bahkan jika sewaktu-waktu Bani Mahzum membuhnya. Demi mempertahankan keyakinan, Ayyas memilih hijrah ke Habasyah bersama puluhan kaum muslimin lainnya. Ia baru pulang ke Makkah setelah mendengar Rasulullah berhijrah ke Madiah. Kepulangan Ayyas tiada lain untuk menyusul Rasulullah.
Hijrah yang gagal
Umar bin Khattab mengajak Ayyas dan Hisyam bin Ash hijrah bersama-sama, agar tak ada orang Quraisy berani menggangu perjalanan mereka. Ketiganya sepakat bertemu di Bani Ghiffar. Esok harinya, hanya Ayyas dan Umar yang sampai di lokasi. Hisyam bin Ash tak bisa datang karena disekap oleh kakaknya, Amru bin Ash.
Keduanya pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di Quba. Ternyata Abu Jahl dan al-Harits bin Hisyam, menyusul mereka hingga tempat tersebut. Kedatangan mereka tiada lain untuk mengajak saudaranya pulang. Abu Jahal bercerita bahwa Ummu Julas telah bersumpah untuk tidak menyisir rambut, berdiri di bawah terik matahari dan terus menyiksa diri hingga Ayyas pulang. Tentu saja, omongan ini hanya bualan Abu Jahal untuk memperdaya Ayyas.
Melihat Ayyas mulai terbujuk omongan Abu Jahal, Umar mengingatkan, “Kedua orang ini menipumu. Hati-hatilah. Jika ibumu merasa gerah, ia pasti akan menyisir rambutnya. Jika ia kepanasan, ia akan berteduh.”
Abu Jahal tak mau kalah dengan Umar. Ia terus merayu adiknya pulang ke Makkah. Lama kelamaan Ayyas tak lagi curiga kepadanya. Ia mantap ingin kembali menjenguk ibunya sekaligus mengambil harta yang tak sempat ia bawa. Umar tak putus asa, ia menawarkan separuh hartanya agar Ayyas mengurungkan niatnya. Ia tak ingin saudara seimannya itu diperdaya saudara kandungnya yang masih musyrik.
Tekad Ayyas sudah bulat, Umar tak bisa mencegah, tapi ia tak patah arang. “Ayyas, jika seperti itu keinginanmu, bawalah untaku ini. Unta ini jinak, gesit dan cepat. Jangan pernah turun dari unta ini. Jika kamu melihat gelagat mencurigakan dari kedua orang itu, segera paculah unta ini.”
Kata Umar sembari mendoakan Ayyas dilindungi Allah.
Di tengah perjalanan, apa yang dicemaskan Umar terjadi, Abu Jahal pura-pura menumpang unta Ayyas. Ayyas tak menaruh curiga sama sekali sehingga Abu Jahal dengan mudah meringkus dan mengikatnya. Keduanya menyeret Ayyas hingga ke Makkah. Sesampai di kota kelahirannya, Ayyas menjadi bulan-bulanan algojo bani Makhzum. Tak orang Quraisy yang mau melindungi orang yang mereka anggap pengkhianat. Termasuk Ummu Julas sekalipun.
“Siksalah dia akan tetapi jangan kalian bunuh. Aku hampir tidak ingat bahwa aku memiliki anak yang bernama Ayyas,” kata ummu Julas.
Ayyas ditempatkan di tahanan bersama Hisyam bin Ash. Mereka terus disiksa hingga tersiar isu keduanya telah murtad. Namun, Rasulullah di Madinah tak pernah melupakan mereka. Beliau terus berdoa agar Allah menyelamatkan Ayyas, Hisyam dan seluruh kaum muslimin yang tak bisa berhijrah. Pada akhirnya, Allah menurunkan surat Az-Zumar: 53-55 terkait kondisi Ayyas dan sahabat-sahabatnya. Lewat Ayat itu Allah memerintahkan mereka agar tidak putus asa dari Rahmat-Nya.
Setelah perang Badar, Rasulullah memerintahkan Walid saudara kandung Khalid bin Walid yang telah masuk Islam untuk menyelamatkan Ayyas dan Hisyam. Walid segera menjalankan misi tersebut secara rahasia. Setibanya di Makkah, Walid langsung menemui Asma istri Ayays saat hari sudah malam. Asma lalu mengatarkannya ke tempat suaminya disekap.
Sambil mengendap-endap, Walid memanjat dinding, menyusup ke dalam tahanan. Ia putus belenggu yang merantai Ayyas dan Hisyam menggunakan pedangnya. Tanpa menunggu waktu, mereka bertiga melarikan diri.
Asma sudah menunggu mereka di luar Makkah sambil berharap-cemas. Akhirnya sosok yang ia tunggu tiba. Namun, tak ada waktu bagi Asma melepas rindu dengan suaminya. Mereka langsung memacu kendaraan menuju Madinah. Satu-satunya tempat aman bagi mereka untuk menjaga iman. [ali]