Tidak Sembarang Memvonis
وَلاَ نُنَزِّلَ أَحَداً مِنْهُمْ جَنَّةً وَلاَ نَاراً، وَلاَ نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلاَ بِشِرْكٍ وَلاَ بِنِفَاقٍ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى
(78) Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka sebagai penghuni surga atau neraka. Kami pun tidak memvonis mereka sebagai orang kafir, musyrik, atau munafik selama pada diri mereka tidak tampak kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala.
Ahlussunnah wal Jamaah tidak memastikan seseorang dari Ahlikiblat sebagai penghuni surga atau neraka, kecuali mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah saw sebagai penghuni surga atau neraka; seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, dan beberapa orang sahabat lainnya. Ahlussunnah tetap meyakini bahwa di antara para pelaku dosa besar, selagi masih mukmin muwahid, ada yang dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka, lalu diangkat—dikeluarkan dari neraka setelah dibersihkan dari dosa-dosa yang pernah mereka lakukan, baik karena mendapatkan syafaat maupun karena sudah bersih dari dosa.
Menurut akidah Ahlussunnah, perkara surga-neraka adalah perkara yang menyangkut hakikat batin dan hal gaib. Hanya Allah yang mengetahui hakikat batin seseorang dan hanya Dia pula yang mengetahui segala yang gaib. Ahlussunnah berpegang kepada firman Allah,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (Al-Isra`: 36)
Tiga madzhab
Ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan Salaf mengenai pemastian Ahlikiblat menjadi penghuni surga. Para Salaf terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, mereka yang hanya memastikan para nabi sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat Muhammad bin al-Hanafiyah dan al-Awza’i.
Kedua, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi, siapa-siapa yang disebut sebagai penghuni surga dalam nash pun dipastikan sebagai penghuni surga. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan para ahli hadits. Inilah pendapat pertengahan dan yang paling kuat.
Ketiga, mereka yang menyatakan bahwa selain para nabi dan orang-orang yang disebut dalam nash, orang-orang yang disaksikan oleh orang-orang yang beriman sebagai penghuni surga pun mereka pastikan sebagai penghuni surga. Pendapat ini disandarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berbunyi, “Serombongan orang memikul jenazah. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ Kemudian serombongan orang memikul jenazah yang lain. Mereka yang dilewati menyebutnya sebagai jenazah orang yang tidak baik. Maka Nabi saw bersabda, ‘Begitulah!’ ‘Umar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang begitulah?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Jenazah yang kalian sebut baik itu akan masuk surga, sedangkan yang kalian sebut tidak baik itu akan masuk neraka. Kalian adalah para saksi Allah di bumi.’.”
Pendapat yang ketiga ini tidak kuat lantaran kesaksian orang-orang yang ditinggalkannya sebagai penghuni surga hanya menempati posisi doa atau syafaat, dan tidak dapat memastikannya sebagai penghuni surga.
Kasus yang pernah terjadi pada masa Nabi tersebut tidak dapat dijadikan dalil umum. Selain mungkin itu berlaku khusus untuk dua jenazah yang dipikul melewati Nabi beserta para sahabat pada waktu itu, bisa jadi juga Nabi mengetahuinya karena mendapatkan wahyu dari Allah.
Demikianlah akidah Ahlussunnah mengenai Ahlikiblat yang meninggal dunia. Sedangkan orang-orang kafir seperti Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala, Ahlussunnah tidak ragu dalam memastikan mereka sebagai penghuni neraka.
Tidak sembrono memvonis kafir-musyrik-munafik
Memvonis salah seorang Ahlikiblat sebagai seorang kafir, musyrik, atau munafik adalah sama. Sama-sama memastikannya sebagai seseorang yang telah keluar dari Islam dan nihilnya iman dari hatinya. Ketiga-tiganya—orang kafir, musyrik, dan munafik akbar—adalah penghuni neraka selama-lamanya. Bahkan munafik akbar mendapatkan tempat di dasar neraka. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa`: 145)
Jika mendapati seseorang dari kalangan Ahlikiblat melakukan perbuatan kufur, syirik, atau nifak, Ahlussunnah menyatakan bahwa pada diri orang itu ada kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan. Pada saat itulah amar makruf nahyi munkar dan al-wala` wal bara` ditegakkan. Kemungkaran diingkari dan kepada pelakunya diterapkan bara` sekadar dengan kemungkaran yang mereka lakukan.
Adalah sahabat Hudzaifah bin Yaman ra yang diberitahu oleh Rasulullah saw mengenai siapa saja penduduk Madinah yang munafik. Umar bin Khattab ra mengetahui hal itu. Maka ia berusaha mencari tahu dan mendesak Hudzaifah untuk memberitahunya. Namun Hudzaifah menolak, karena menjaga rahasia itu adalah amanat dari Rasulullah saw. Oleh karena itulah, lantaran kecintaan Umar kepada kebenaran dan kebenciannya kepada kemunafikan, jika ada penduduk Madinah yang meninggal dunia, ia tidak terburu-buru menyalatinya sampai Hudzaifah menyalatinya. Jika Hudzaifah tidak menyalatinya, Umar pun tidak menyalatinya. Hal ini hanya dilakukan oleh Umar, sahabat yang lain tidak mengikuti cara Umar. Mereka tetap menyalati siapa saja dari penduduk Madinah yang meninggal dunia.
Sikap Hudzaifah dan Umar adalah sikap pribadi. Hudzaifah diberitahu tentang kepastian nihilnya iman dari hati orang-orang yang tidak disalatinya dari Rasulullah saw. Sedangkan Umar, dia “hanya” tidak mau menyalati mereka, bukan memvonisnya sebagai munafik.
Meskipun tidak sebarang memvonis personal, Ahlussunnah tetap memvonis kafir secara umum (takfir mutlak); yakni mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan perbuatan kufur akbar, syirik akbar, atau nifak akbar maka ia adalah seorang kafir, musyrik, atau munafik.
Menyerahkan urusan hati kepada Allah
Jika di antara orang-orang yang tetap dinyatakan sebagai orang-orang yang beriman (tidak divonis kafir, musyrik, atau munafik) itu ternyata ada yang sebenarnya sudah kafir, musyrik, atau munafik dalam pandangan Allah, maka Ahlussunnah tidaklah salah langkah. Urusan hati mereka adalah urusan Allah. Ahlussunnah mengurus zhahirnya. Yang demikian itu karena Ahlussunnah menghukumi (orang lain) berdasarkan zhahirnya.
Usamah bin Zaid ra bertutur, “Rasulullah saw mengirim kami dalam suatu pasukan. Kami sampai di Huruqat, suatu tempat di daerah Juhainah di pagi hari. Aku menjumpai seorang kafir. Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah,’ tetapi aku tetap membunuhnya. Kejadian itu menggelisahkanku sehingga aku sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bertanya, ‘Dia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ dan engkau tetap membunuhnya?’ Kujawab, ‘Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu hanya karena takut pedang.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?’ Beliau terus mengulangi perkataan itu kepadaku, hingga aku berkhayal kalau saja aku baru masuk Islam pada hari itu.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Rasulullah saw bersabda, “Aku tidak diperintah untuk membedah hati orang dan membelah dada mereka.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
Zhahir seorang mukmin adalah mukmin meskipun ia melakukan berbagai dosa; termasuk dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan, sampai diketahui—dengan cara Ahlussunnah—bahwa di hatinya sudah tidak ada iman lagi. Seorang mukmin bisa saja melakukan dosa kekafiran, kemusyrikan, atau kemunafikan karena ketidaktahuan atau ketidaksengajaannya sehingga pada saat itu ia tidak boleh divonis kafir, musyrik, atau munafik. Wallahu a’lam.