Tetap Semangat Wahai Para Ayah!
“Mesti aku yang salah, dikit dikit aku. Dikit dikit aku.” Suara itu berasal dari sosok anak yang beranjak remaja. Dia protes karena selama ini—menurutnya—selalu dia yang disalahkan atas apapun yang terjadi di rumah.
Sang ayah kaget. Ia tidak menduga suara anaknya bisa sedemikian keras. Ia sama sekali tidak menyangka jika si anak bisa berani bersuara selantang itu di depan dia. Lalu apa reaksinya?
Mungkin jika ayah itu adalah anda, anda akan langsung marah. Raut muka berubah, dan menjadi semakin seram dari sebelumnya. Tangan menggenggam, dan membentak dengan keras. “Apa kamu bilang?” Anda ingin menunjukkan bahwa Andalah raja di keluarga. Maka tidak boleh ada penolakan dan protes dari anak.
Atau anda akan mengambil langkah berbeda? Anda dekati anak anda. Lalu anda elus kepalanya, dan bilang, “Ada apa kak. Kakak marah dengan sikap Abi? Kakak ingin bilang sesuatu sama Abi? Kakak tidak perlu teriak teriak. Abi di sini siap mendengarkan kamu Kak.” Inikah sikap yang akan anda pilih?
Sikap pertama jelas adalah sebuah sikap pada umumnya lelaki. Dia yang berkuasa, akan merasa terhenyak saat menghadapi sebuah upaya protes sang anak. “Aku, terusik kewibawaanku.” Maka tidak heran jika kemudian untuk menunjukkan kekuasaannya dia akan melakukan kekerasan fisik. Memukul, menampar, atau menjambak rambut anaknya. Menyeramkan bukan? Tapi semua itu dilakukan dalam rangka sekedar menjaga wibawa agar anak anak masih ‘takut’ sama ayahnya.
BACA JUGA: Ayah, Bukan Cuma Mencari Uang Saja
Sikap yang kedua, adalah sikap seorang ayah yang hangat. Dia tidak melihat bentakan anak sebagai wujud protes. Tetapi wujud bahasa ketidaksukaan yang secara spontan dia tunjukkan dengan ekspresiv. Mereka hanya anak anak yang beranjak remaja. Sehingga pola perlakukan yang tepat adalah dengan mendekatinya, memahaminya, dan memberinya kesempatan untuk bicara. Karena dengan bicara, dia akan bisa menyalurkan apa yang selama ini dia rasakan.
Menjadi ayah ternyata tidak sekedar bahwa anda memiliki anak. Menjadi ayah juga tidak sekedar berbekal wajah sangar saat marah. Tetapi menjadi ayah adalah bagaimana kita menjadi sosok yang memiliki banyak kombinasi dalam diri kita.
Secara global memang kita dituntut untuk selalu bisa qowam. Terlihat gagah dengan mampu menafkahi keluarga kita. Ibaratnya bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga secara dasar. Saat anak melihat buah dan dia ingin buah itu, setidaknya kita bisa membelikannya, meski hanya satu buah saja.
Saya jadi teringat kisah seorang wartawan yang makan di sebuah warung pecel lele. Lalu dia melihat ada pemulung tiga orang. Satu ayah, yang kedua ibu, dan satu lagi anaknya. Ayah itu memesan satu porsi makan ayam goreng. Lalu piring itu diberikan kepada anaknya. Anaknya makan dengan lahab. Sementara ayahnya hanya melihat. Dia sudah merasa sangat senang bisa membelikan keinginan anaknya. Bagi mereka seporsi makan ayam goreng adalah sebuah menu yang sangat istimewa.
Sebagaimana firmanNya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. an-Nisa’: 34)
Di sisi lain, seorang ayah juga dituntut menjadi pribadi yang hangat. Mampu mendengarkan keluhan keluarganya. Sering seringlah berbicara dengan anak anak Anda. Lalu saat berbicara itu pandanglah wajah mereka dalam dalam. Anda akan melihat wajah anak anak Anda dengan sangat bahagia bercerita apa saja yang mereka pikirkan dan alami. Bersyukurlah jika anda masih punya momen momen seperti itu. Karena banyak ayah yang tak bisa menatap wajah anak anaknya karena terpisah jarak dan waktu.
Jadikanlah setiap kesempatan sebagai cara terbaik untuk memantau perkembangan mereka. Memerhatikan kehidupannya, teman temannya, dan problematika mereka. Sematkanlah mimpi pada setiap anak anak Anda. Karena menjadi apa kelak mereka dewasa, adalah bagian dari tugas besar anda bersama istri tercinta.
Yang paling penting adalah bukan soal berapa banyak halangan kita nanti dalam membesarkan mereka. Tetapi yang paling penting adalah visi dan misi kita dalam mendidik mereka. Bukankah selama ini kita sudah mengalami sendiri bahwa pertolongan Allah itu selalu dekat?
Saat kebingungan soal uang masuk sekolah, dimana mana kita berusaha dan gagal. Tetapi pada batas akhir kita dibantu oleh Allah. Bukankah Allah akan selalu membantu hambaNya yang shalih?
Dari Abu Shuhaib bin Sinan radhiyallahu’anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya. Dan yang demikian itu hanya ada pada seorang mukmin. Jika mendapat kesenangan dia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika mendapat musibah dia bersabar, maka sabar itu baik baginya” (HR. Muslim)
Maka wahai para ayah, tugas kita masih banyak. Tetaplah tersenyum dan optimis. Karena ibadah yang serius akan berujung manis. (Burhan Sodiq)