Tentara Infantri Terbaik
Semula, kabilah Aslam begitu resist dan menolak kehadiran Islam. Menurutnya, Islam hanya akan merusak tatanan sosial di tanah Arab yang telah mapan berabad-abad lamanya. Kendati demikian, keyakinan dan penyembahan berhala yang ada di kabilah yang tinggal di Madinah tersebut hilang setelah satu persatu anggota klan itu masuk Islam.
Bahkan di kemudian hari muncul pejuang-pejuang hebat pembela Islam dari kabilah seperti Salamah bin Akwa, Amir bin Akwa, Buraidah bin Husaib, dan Rabiah bin Kaab. Mereka adalah shahabat yang menghibahkan hidup dan matinya demi membela agama Islam.
Kali ini, kita akan membahas perjuangan Amir bin Akwa. Sahabat anshar ini memiliki dua kelebihan: bashtatan fil jismi atau kekuatan fisik dan kemampuan sastra. Fisik yang tangguh dibutuhkan dalam berjihad. Apalagi, peperangan di masa Rasulullah banyak terjadi di luar Madinah. Butuh waktu lama untuk menjangkau lokasi perang. Tanpa ketahanan fisik, pasukan akan mengalami kelelahan dan akan kalah begitu berhadapan dengan musuh.
Amir yang merupakan shahabat kandung Salamah bin Akwa juga pandai bersyair. Di kalangan masyarakat Arab, sastra adalah senjata. Beradu sastra bisa lebih seru dari pergulatan fisik. Ketika beradu syair, pihak yang yang tak bisa membalas sindiran lawan menjadi terhina. Karena itu, seorang sastrawan sangat dihormati layaknya ksatria.
Rasulullah menyadari hal ini, karena itu beliau membina beberapa shahabat yang memiliki bakat sastra. Shahabat yang padai bersyair di antaranya, abdullah bin Rawahah, Salamah bin Akwa, Anjasah, Amir bin Akwa dan lain-lain.
Amir bin Akwa bersyukur memiliki dua kelebihan itu. Ia pun berusaha menggunakan potensi terbaiknya itu untuk iqomatuddin atau menegakkan Islam. Dikisahkan dalam perjalanan perang ke Khaibar, salah satu shahabat meminta kepada Amir bin Akwa untuk menyenandungkan syair pembangkit semangat.
“Wahai amir bacakan bait-bait syairmu untuk kami.”
Amir turun dari kudanya lalu berjalan bersama para pasukan infantri, lalu membaca syair:
Jika bukan karena engkau ya Rabbi
Hidayah takkan menghampiri kami
Tanpanya pula kami takkan berzakat
Takkan pula mendirikan shalat
Ampunilah dosa kami
Terimalah ketakwaan kami
Kokohkanlah diri ini saat musuh menyerang kami
Perlindunganmu menenenangkan kami
Saat musuh berpekik keras dan siap menghabisi kami
Bait-bait syair itu disenandungkan berulang-ulang untuk lebih mengangkat spirit para shahabat yang baru saja berhasil mempertahankan Madinah dari serangan pasukan kafir dalam perang ahzab. Setelah urusan dengan orang kafir selesai, tiba giliran bagi orang Yahudi mempertanggungjawabkan pengkhianatan mereka karena membantu orang kafir Makkah.
Senandung syair tersebut sampai kepada Nabi SAW. Beliau menanyakan siapakah yang menggubah syair tersebut.
“Amir bin Akwa!” Jawab para sahabat.
“Semoga Allah akan merahmati Amir!” Kata Rasulullah.
Pujian itu merupakan tanda bahwa beliau senang dengan apa yang dilakukannya. Namun, itu juga mengisyaratkan hal lain. Para shahabat paham, jika beliau mengkhususkan doa pada seseorang dalam suatu pertempuran, pastilah ia akan menemui syahid. Amir memahami pula hal ini, dan ia sangat gembira dan bersemangat dalam pertempuran kali ini. Kendati demikian, ia tetap tak tahu dengan cara apa akan meraih kesyahidan.
Seperti umumnya perang di jazirah Arab, pertempuran Khaibar diawali dengan duel satu lawan satu. Kubu yahudi mengajukan Marhab, seorang ksatria Yahudi berbadan tinggi besar. Orang-orang Arab mengenal keberanian dan kepiawaiannya dalam adu senjata. Ia menantang duel sambil menyombongkan nama besarnya.
Amir bin Akwa maju untuk mengimbangi kesombongan Marhab. Ia mengatakan, “Penduduk Khaibar tahu, akulah Amir, pahlawan perang yang perkasa, menyerbu musuh seorang diri tanpa takut apa-apa.”
Kedua ksatria tersebut bertanding dengan seru. Masing-masing berusaha mengalahkan yang lain untuk melemahkan moralitas pasukan lawan. Kekuatan dan keahlian Amir dapat mengimbangi keuletan memainkan senjata yang dimiliki Marhab.
Duel kian seru. Pada suatu kesempatan, Amir memiliki kesempatan menghabisi lawannya. Diayunkannya pedang untuk memberikan pukulan terakhir yang akan menyudahi duel tersebut. Tetapi tanpa disadarinya, hulu pedangnya melentur dan ujung pedangnya berbalik mengenai ubun-ubun kepalanya. Amir bin Akwa pun jatuh tersungkur dengan luka yang cukup parah. Pada akhirnya, ia gugur oleh pedangnya sendiri.
Pasukan muslim yang melihat peristiwa tersebut menganggap Amir bin Akwa bunuh diri. Insiden itu sempat membuat shahabat down. Hingga beberapa orang mengatakan, “Kasihan Amir, ia terhalang memperoleh mati syahid.”
Saudaranya, Salamah bin Akwa yang juga ikut dalam perang itu merasa kecewa dan menyesal atas kejadian yang menimpa Amir. Ia beranggapan seperti kebanyakan sahabat lainnya, bahwa Amir meninggal karena bunuh diri, walau itu dilakukan tanpa sengaja. Jika Amir bin Akwa bunuh diri, pahala jihadnya ikut musnah dan gagal meraih mati syahid.
Ketika perang pada hari itu usai, Salamah bin Akwa menceritakan peristiwa yang menimpa Amir kepada Nabi SAW sambil menangis, dan ia bertanya, “Wahai Rasulullah, benarkah pahala Amir gugur karena kematiannya tersebut?”
Rasulullah dengan arif memberikan jawaban yang menentramkan, “Ia gugur sebagai mujahid. Bahkan ia memperolah dua macam pahala.” Beliau bersabda sembari mengangkat dua jarinya.
Rasulullah menjelaskan bahwa apa yang diyakini banyak orang tentang Amir tidak benar. Saudara Salamah bin Akwa tersebut tidak mati bunuh diri, melainkan gugur dan meraih predikat syahid. Bahkan beliau memuji kesungguhan tekad dan usaha yang dilakukan Amir. Beliau bersabda, “Dia seorang mujahid langka, sedikit sekali ada pasukan infantri Arab seperti dia.”
Hati Salamah menjadi senang dengan penjelasan Nabi, bahkan pandangan beliau atas saudaranya yang telah syahid tersebut meningkatkan semangatnya untuk terus berjuang membela panji-panji agama Allah.