Taubat Dan Perbaiki Adab
Ruwaim bin Ahmad al Baghdadi berkata kepada putranya, “Anakku buatlah amalanmu menjadi seperti garam dan adabmu seperti tepung. Artinya, perbanyaklah melakukan adab sampai ukurannya di dalam perilakumu seperti ukuran tepung dengan garam yang ditaburkan di atasnya. Banyak adab dengan sedikit amal shaleh masih lebih baik dari pada banyak amal shaleh dengan sedikit adab.” (disebutkan Imam Al Qarafi dalam kitabnya al Faruq 3/96)
Banyak amal shaleh dan sedikit adab bisa membuat orang bangkrut di akhirat, ujungnya dilemparkan ke dalam neraka, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutnya dengan al muflis :
أَتَدْرُونَ مَاالْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “orang yang bangrut itu adalah yang tidak mempunyai harta maupun fasilitas hidup.” Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Orang yang bangkrut dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Sepertinya berilmu, namanya diapit dengan gelaran ilmu akan tetapi adab dan sikapnya tidak menunjukkan ilmunya. Apa yang salah?, begitulah kalau makanan yang tampak dilihat lezat mengundang selera, tapi ketika dicicipi asinnya bukan main. Ya..garamnya lebih banyak dari tepungnya.
Mementingkan ilmu dunia ketimbang ilmu syar’ie dalam pendidikan tentu bukan urutan yang benar, begitu juga mengakhirkan adab dalam menuntut ilmu syar’ie juga mengakibatkan tidak mendapat keberkahan ilmu, tidak mendapatkan kemanfaatan ilmu yang dicarinya.
Baca juga : Demi Uang Logika Dibuang
Sebelum mencari ilmu syar’I seorang penuntut ilmu harus memulai dengan belajar adab menuntut ilmu, bila ia tidak memenuhinya maka ia pergi ke barat dan ilmu yang dicarinya pergi ke timur, sebagaimana pepatah arab mengatakan, saarat musyarriqatan wa sirtu mugharriban, syattaana baina musyarriqin wa mugharribin. Dia pergi berjalan menuju timur dan aku menuju barat, sungguh jauh sekali antara timur dan barat. Tidak akan ketemu (tidak mendapatkan kemanfaatan ilmu) bila ia tidak memenuhi dirinya dengan adab, meski sudah dihapal ilmunya, ilmu nya menuju timur dan ia menuju barat, sungguh semakin jauh dan tidak akan bertemu.
Termasuk diantara adab yang dimiliki penuntut ilmu adalah memuliakan ulama. Imam al Ghazali rahimahullah menyebutkan perkataan Yahya bin Muadz tentang keutamaan para ulama, “Para ulama lebih sayang kepada umat Muhammad dibandingkan bapak dan ibu mereka sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi?, karena bapak dan ibu menjaga mereka dari neraka dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari neraka akhirat.”
Rasul bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, sayang kepada yang lebih muda dan mengenali hak ulama.” (HR. Ahmad dan Hakim)
Meninggikan suara dan melotot kepada orang yang lebih tua bukanlah perangai seorang penuntut ilmu, bahkan mengatakan ulama tidak mengetahui ilmu tafsir alqur’an termasuk celaan terhadap ulama, lebih parah lagi menggunakan metode tafsir orang kafir (hermeneutics) dalam menafsiri alQur’an dan menjadi pendukung dan membela orang kafir yang jelas menodai ulama dan menghina alQur’an. Subhanallah!!
Ibnu Abbas, sebagai ulama sahabat telah berhasil mengeluarkan dua ribu orang dari kesesatan khawarij, dalam pendahuluannya beliau berkata, “ Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang membersamai Nabi, Alqur’an diturunkan di tengah tengah mereka, dan merekalah yang paling memahami makna alqur’an, dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat. Akan aku sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian..” (HR. An Nasai, dalam kitab Khashais Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib)
Alhamdulillah ilmu dari sahabat mulia Ibnu Abbas diturunkan kepada muridnya dan begitu seterusnya sampai diwarisi ulama kita hari ini. Yang benar adalah yang merujuk tafsirnya kepada pemahaman sabahat, dan yang salah sekaligus menyesatkan adalah yang merujuk kepada tafsiran hermenutik.
Membela orang kafir karena tuntutan partai bukanlah alasan yang bisa dibenarkan dalam islam, begitu pula mengangkat pemimpin kafir telah jelas keharamannya dalam syariat Muhammad shalallallahu’alaihi wasallam. Membela orang kafir yang bersalah dengan menghina ulama dan melecehkan alQur’an merupakan peninggalan jahiliyah, ta’asub atau fanatik buta.
Dipertanyakan kepada siapa loyalitasnya diberikan? Kepada islam ataukah kepada kekafiran..taubat sebelum terlambat, perbaiki adab semoga mendapat ilmu yang bermanfaat.
Pingback: Mengidolakan Dan Mengagumi - arrisalah