Taat di Saat Ringan dan Berat
Malam di Perang Ahzab itu sangat mencekam; gelap gulita, udara yang sangat dingin menusuk tulang, kelaparan mendera dan adanya musuh yang mengancam. Ketika itu Nabi shallallahu alaihi wasallam membeikan tawaran kepada para sahabat,
“Adakah seseorang yang mau berangkat untuk melihat apa yang dilakukan musuh lalu melaporkan kepada kita?” Nabi mempersyaratkan ia kembali dan Allah akan memasukkannya ke dalam jannah. Namun tak satupun berdiri karena memang beratnya kondisi mereka ketika itu. Nabi shallallahu alaihi wasallam mengulangi tawarannya dan menjanjikan bagi yang bersedia menjalankan tugas itu maka akan menjadi teman dekatnya di jannah, pun tidak ada yang berdiri menyambut tawaran. Ketika tak ada satupun yang berdiri, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
‘Hai Hudzaifah, pergilah menyusup ke tengah-tengah mereka dan lihat apa yang mereka lakukan. Jangan kau bertindak apapun sampai engkau menemuiku.’(HR Ahmad)
Hudzaifah menyadari bahwa ini bukan lagi tawaran, melainkan perintah yang tidak ada alasan untuk membantah. Maka beliaupun berangkat meski dalam kondisi berat. Karena tidak ada jawaban lain bagi seorang mukmin ketika mendapat perintah dari Allah dan Rasul-Nya melainkan ucapan, “sami’na wa atha’na”, kami mendengar dan kami taat.
Taat Meskipun Berat
Memang untuk mendapatkan dan menguatkan iman membutuhkan proses. Akan tetapi tatkala pilihan keimanan telah ditetapkan, maka seorang mukmin paham akan konsekuensinya sekaligus yakin akan hasil akhirnya. Paham bahwa konsekuensi iman adalah taat tanpa ragu apalagi membantah. Dan ia juga yakin bahwa kesudahan yang baik pasti berpihak pada orang yang mentaati Allah dan rasul-Nya.
Kisah para Nabi dihiasi dengan ujian perintah yang amat berat, pun begitu mereka tetap taat. Tanpa membantah, tanpa berpikir ulang, tanpa ragu, karena mereka yakin Allah yang Mahatahu dan Mahabijak, Mahatahu akan apa yang terbaik bagi mereka dan umatnya. Dan bahwa Allah akan memberikan kesudahan yang baik bagi orang yang taat.
Ketika Ibrahim alaihissalam berbahagia dengan kelahiran puteranya yang bertahun lamanya dinanti, Allah perintahkan beliau membawa istrinya, Hajar dan juga puteranya yang bernama Ismail ke Bakkah atau Mekah, tempat yang sangat sepi, tandus tak ada pepohonan maupun cadangan air.
BACA JUGA: KETAATAN ADALAH UJIAN
Saat beliau hendak meninggalkan keduanya, Hajar alaihassalam bertanya, “Mengapa Kau ditinggalkan kami di sini?” Ibrahim tak mampu menjawab apa-apa. Lalu Hajar bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” Beliau menjawab, “Iya.” Hajar pun berkata, “Kalau begitu, pastilah Allah tidak akan menelantarkan kami!”
Hajar alaihassalam tidak menyangka bahwa nantinya Mekah menjadi begitu makmur dan tak pernah sepi sedikitpun dari orang-orang yang mengunjunginya.Mata air zam-zam yang Allah anugerahkan untuk beliau berkahnya hingga sekarang dirasakan jutaan manusia setiap harinya.Yang beliau tahu ketika itu adalah beliau harus taat terhadap perintah Allah, dan kesudahan yang baik diberikan kepada hamba-Nya yang bertakwa.
Saat Ibrahim alaihissalam diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih puteranya, beliau tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya Ismail akan digantikan dengan seekor domba. Yang beliau tahu bahwa beliau harus menjalankan perintah Rabbya, lalu Allah memberikan kejutan yang membahagiakan kepadanya, sebagai balasan atas kesetiaan beliau terhadap perintah Rabbnya Maka kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.
Sebagaimana juga Nabi Musa alaihissalam juga tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya laut akan terbelah setelah tongkat beliau dipukulkan ke lautan. Yang beliau tahu bahwa itu adalah perintah Allah, dan pasti Allah memberikan jalan keluar.
Nabi Nuh alaihissalam juga tdak tahu bahwa akan terjadi banjir bandang, saat beliau membuat kapal di musim kemarau hingga ditertawakan kaumnya. Beliau hanya menjalankan perintah, lalu Allah memberikan kesudahan yang baik bagi beliau dan orang-orang yang mengimaninya.
Tipe Manusia dalam Merespon Perintah
Jalan itu pula yang diikuti oleh para sahabat Nabi yang merupakan generasi terbaik umat ini. Mereka berjalan dengan menggunakan instrumen keimanan. Semangat keimanan melahirkan ruh-ruh ketaatan. Semboyannya adalah sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat. Tanpa ada keraguan apalagi kecurigaan terhadap syariat. Karena semua itu datang dari Yang Mahatahu dan Mahabijaksana. Mereka tidak menyoal kenapa jilbab diwajibkan bagi wanita? Mengapa babi diharamkan? Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul dari jiwa yang skeptis (ragu) terhadap kebenaran.
Tatkala larangan khamr diberlakukan dengan turunnya ayat tentang haramnya khamr maka serentak mereka mengatakan, “intahaina ya Rabb”, Kami berhenti wahai Rabb!” Tak ada pilihan lain lagi selain itu.
Begitupun tatkala syariat jihad ditegakkan atas mereka, meski engandung resiko harta dan nyawa, mereka berangkat menunaikan perintah Allah,
“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS at-Taubah 41)
Ayat ini menampik alasan-alasan orang yang malas dan was-was, dan para sahabat mampu menepis semua itu, mereka mendengar dan taat. Begitulah jawaban dan reaksi orang yang beriman pada saat menerima titah dari Rabbnya.
Ini berbeda dengan ahli kitab yang tatkala mendapat perintah dari Allah mereka berkata sami’na wa ashaina, kami mendengar dan kami durhaka. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati.” (QS al-Baqarah 93)
Berbeda pula dengan respon orang-orang munafik yang mengatakan “sami’na” kami mendengar, wahum laa yasma’un, padahal mereka tidak sudi mendengarkan. Allah Ta’ala berfirman,
“dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata “Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan.” (QS al-Anfal 21)
Itulah tiga tipe manusia yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an tatkala merespon perintah dan larangan dari Allah, hendaknya kita mawas diri, di kelompok mana kita berada. Mengikuti para Nabi dan para sahabat, ataukah ahli kitab dan munafiqin yang mewarisi tradisi Iblis dalam keengganannya untuk taat.
Malaikat saat dititahkan untuk bersujud pada nabi Adam, tanpa banyak pertanyan dan berpikir panjang segera bersujud. Mereka mendengarkan dan taat. Sedangkan iblis laknatullah, penghulunya para pembangkang, membantah perintah itu dengan argument yang sok pintar. Seakan ia merasa lebih tahu dibandingkan Allah. Menganggap perintah Allah itu perlu diinterupsi dan kemudian bisa direvisi. Semoga Allah jauhkan kita dari kesombongan dan pembangkangan.
Kecuali Jika tak Mampu Menunaikan
Bahwa manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan untuk mendatangi seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya, maka dalam hal-hal yang memang benar-benar tidak dimampui maka Allah memaafkannya.
Disebutkan suatu riwayat oleh Ibnu Katsier dalam tafsrinya, ketika turun kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam firman Allah,
“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu” (QS al-Baqarah 284)
Maka terasa beratlah para sahabat. (Mereka merasa tidak mampu menghalangi datangnya setiap lintasan-lintasan pikiran yang datang dengan tiba-tiba, atau hembusan-hembusan setan tanpa diundang. Mereka takut jika itu termasuk yang akan dituntut di sisi Allah). Hingga mereka mendatangi beliau shallallahu alaihi wasallam lalu bersimpuh dengan kedua lutut mereka dan berkata, “Duhai Rasulullah telah dibebankan kepada kami sesuatu amal yang kami mampui berupa shalat, shaum, jihad maupun zakat. Namun sekarang turun kepada Anda suatu beban yang tidak sanggup kami memikulnya. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apakah kalian akan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh ahli kitab, sami’na wa ashaina (kami mendengar dan tidak mentaati?” Akan tetapi hendaknya kalian ucapkan, “Sami’na wa atha’na ghufraanaka.” Kami mendengar dan kami taat, ampunilah kami ya Rabb!” Tatkala mereka mengukuhkan hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘Aamanar Rasuul…sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah pun menurunkan firman-Nya, “Laa Yukallifullahu nafsan illa wus’aha…, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…hingga akhir ayat.
Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)