Taat
Belum kering darah dari luka-luka yang menganga, belum cukup mata terpejam, dan belum hilang lelah dari kerasnya peperangan yang telah mereka lalui sehari sebelumnya. Bilal, atas perintah Rasulullah, mengumumkan bahwa musuh harus dikejar. Rasulullah mensyaratkan perintah bahwa yang ikut dalam aksi ini hanya orang-orang yang ikut dalam perang Uhud.
Thalhah bin Ubaidillah bermaksud menemui Rasulullah untuk memastikan keberangkatan. Di depan pintu masjid, didapatinya Rasulullah sudah siap di atas pelana kuda lengkap dengan baju besi beliau. Tanpa pikir panjang Thalhah segera berlari menyiapkan dirinya.
Sa’ad bin Muadz segera beranjak menuju kaumnya untuk memberitahu mereka agar memakai kembali pakaian perang. Sa’ad berkata, “Aku menyaksikan darah di tubuh mereka masih merah. Mayoritas Bani Asyhal terluka, bahkan semuanya.” Mendengar pengumuman tersebut, Usaid bin Hudhair yang menderita tujuh luka bangkit dan berkata, “Aku menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.” Lalu ia ambil senjatanya tanpa peduli dengan perih luka yang ia derita. Sa’ad bin Ubadah juga segera mendatangi kaumnya, dan mereka pun menyambut dengan sigap. Demikian juga Abu Ubadah, datang kepada kaumnya yang sedang mengobati luka-luka mereka, dan mereka pun bersegera menyambut panggilan Allah dan rasul-Nya tanpa peduli luka-luka yang menganga itu.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa empat puluh orang dari Bani Salimah menyambut seruan itu meskipun mereka mengalami cedera berat. Ada Thufail bin Nu’man yang menderita tiga belas luka, Bakhrasy bin ash-Shamah dengan sepuluh luka, Ka’b bin Malik dengan belasan luka, Quthbah bin Amir dengan Sembilan luka, dan sahabat lain dari Bani Salimah. Mereka berkumpul menghadap Rasulullah, lengkap dengan pedang dan baju besi mereka. Melihat kondisi Bani Salimah, dengan darah yang masih mengucur dan luka yang masih menganga, Rasul berkata,”Ya Allah, sayangilah Bani Salimah.”
Abdullah bin Sahl dan Rafi’ bin Sahl adalah dua bersaudara yang pulang dari Uhud dengan luka yang serius. Berkata salah satu dari mereka ketika mendengar perintah Rasulullah, “Demi Allah, jika kita tidak ikut bersama Rasulullah, sungguh kita sangat merugi. Tetapi kita tak memiliki tunggangan, bagaimana ini?”
“Mari kita berangkat.” Jawab saudaranya.
“Demi Allah, aku tak bisa berjalan dengan baik.”
“Kalau begitu, kita jalan pelan-pelan.”
Maka, mereka berdua berjalan pelan dan tertatih-tatih. Ketika Rafi’ merasa tidak kuat, saudaranya menggendongnya. Dan ketika Abdullah merasakan payah, maka giliran Rafi’ yang menggendong. Hingga mereka sanggup menyusul dan sampai di perkemahan pasukan ketika isya. Melihat dua bersaudara ini, Rasulullah pun mendoakan kebaikan bagi mereka.
Rasulullah pun keluar bersama pasukan dalam kondisi masih terluka, darah masih mengucur dari kening Beliau. Rasulullah dan pasukan Muslim keluar dari Madinah dan bermarkas di Hamra’ul Asad, delapan mil dari Madinah. Lokasi ini tidak jauh dari musuh di depan mereka yang telah berkemah selama beberapa waktu di Rawha. Kaum Quraisy pun menunggu waktu tepat untuk menghabisi muslimin hingga ke akarnya di Madinah.
Di Hamra’ul Asad, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan kayu kering sebanyak-banyaknya. Setiap orang menumpuk sendiri kayu kering yang mereka kumpulkan, dan menyalakan di malam harinya. Maka pada malam itu, terjadilah parade api unggun yang jumlahnya sampai lima ratus api unggun. Kepulan asap dan nyala api yang banyak tersebut mampu menggentarkan kaum Quraisy yang masih beristirahat di daerah Rawha.
Tiga hari Rasulullah dan pasukan Muslim berada di Hamra’ul Asad menghadang musuh dengan luka-luka yang masih menganga, merancang srategi yang membuat takut musuh. Nyala api yang sangat banyak yang terpencar di areal yang luas seolah-olah menunjukkan besarnya pasukan yang sedang berkemah di sana. Kesan ini tersampaikan kepada pasukan Quraisy yang membuat ciut nyali mereka dan melarikan diri ke Makkah.
Kisah ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:
الَّذِينَ اسْتَجابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصابَهُمُ الْقَرْحُ
(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). (Ali Imran: 172)
Peristiwa Hamra’ul Asad mengajarkan kepada kita sebuah ketaatan pada Allah dan Rosul-Nya yang tak memerlukan alasan apapun. Mengajarkan kepada kita bahwa tawakkal adalah menyerahkan hasil pada Allah setelah ketaatan dijalankan.