Surga Turut, Neraka Emoh Ngikut
Orang Jawa bilang, isteri terhadap suami itu “Surga manut, neraka katut”. Neraka atau surga, isteri akan ikut suaminya. Ada yang memahami, ini karena ridha suami mengambil peran besar dalam menentukan keselamatan isteri di akhirat. Kalau suami ridha padanya, selamatlah ia. Begitu pula sebaliknya. Pertanyaanya, bagaimana jika ternyata suami bukanlah orang baik dan justru ridha jika isterinya melakukan hal yang tidak baik?
Bukan bermaksud menggugat pema-haman itu. Tapi bagaimana kalau pepatah itu dipahami dari angel yang lain. Suami menjadi faktor berpengaruh terhadap nasib isteri di akhirat itu karena dalam berumah tangga, suami akan banyak memberi pengaruh pada karakter isteri. Yang terjadi sebenarnya adalah saling mempengaruhi, tapi biasanya suami lebih dominan. Pergaulan yang intens dan lahir batin membuat proses interplay (saling memengaruhi) ini menjadi sebuah konsekuensi logis dari pernikahan. Karenanya, jika suami shalih, isteri sangat mungkin akan terpengaruh jadi shalihah, begitu juga jika suaminya thalih, besar kemungkinan istri pun akan ikut-ikutan thalih (buruk). Jadi, jika suami masuk jannah karena gemar beramal shalih, isteri akan masuk jannah juga karena terpengaruh suaminya ikut-ikutan gemar beramal kebaikan. Kalau suaminya celaka masuk neraka, besar kemungkinan pula isteri akan terjerumus ke sana jika terpengaruh sifat buruk suaminya.
Tapi terserahlah pepatah itu mau dimaknai bagaimana. Yang jelas, dalam banyak hal suami isteri memang akan saling mewarnai, bahkan sampai taraf mengubah warna dasar keduanya. Orang menikah itu ibarat dua tanaman yang distek. Stek, seperti anda ketahui, adalah menyatukan dua jenis tanaman berbeda dalam satu batang. Masing-masing memiliki karakter unik tersendiri. Mungkin ada yang sama, tapi lebih banyak bedanya.
Saat ijab dikabulkan, isteri tak ubahnya pucuk tunas yang dipotong dari batangnya dan distek pada sebuah batang baru, suaminya. Ranting tunas itu akan menyatu dengan batang baru kemudian berkembang bersamanya. Mengambil asupan air dan bahan makanan di tanah hasil pilihan batang induk baru hingga akhirnya berbuah. Pada akhirnya, siapa yang berani bertaruh sifat buah dari pucuk tunas tidak berubah dan masih tetap seperti aslinya?
Cobalah anda amati diri anda yang sekarang ini. Sejak bersama suami, adakah yang sudah berubah? Mulai dari cara berpikir, kebiasaan, hingga makanan favorit dan apapun, baik itu sifatnya mubah, baik hingga yang buruk. Barangkali dulu anda mutungan alias gampang tersinggung, tapi setelah bersama suami anda jadi sedikit lebih kebal. Dulu anda tidak suka olahraga, tapi setelah bareng suami yang hobi joging, lari pagi atau sepedaan, anda kini jadi menikmatinya. Atau, dulu anda tidak suka sambal, tapi karena suami ‘Pendekar Huah’ akhirnya sambal pun jadi favorit anda.
Bagaimana, adakah perubahan itu? Yah, kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Kemungkinan hal ini memang tidak berlaku untuk semua pasangan. Tapi kalau ada, tak perlu sungkan mengakuinya, ini hal wajar. Hanya saja, yang perlu dicatat adalah harus dipastikan bahwa pengaruh yang meng-influence diri adalah yang baik-baik saja. Yang tidak baik harus dipagari agar tidak menjalar. Atau lebih dari itu, isterilah yang berusaha mewarnai dengan warnanya yang lebih baik.
Hal ini perlu dicamkan. Meskipun di dunia isteri dan suami bisa sedemikian erat, tapi masing-masing memiliki masa depan sendiri di akhirat.
Suami akan mempertanggungjawabkan urusannya sendiri, demikian pula isteri bertanggungjawab atas perbuatannya pada Rabbul Izzati.
Allah berfirman,
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. 19:95)
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُورِكُمْ
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri seperti kami telah ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan dibelakangmu (di dunia) apa yang telah kami kurniakan kepadamu…” (QS. 6:94)
Kalau ternyata karena pengaruh buruk suaminya, isteri menjadi buruk dan harus menanggung banyak dosa, kelak dia tidak akan bisa berlepas diri dan membebankan itu pada suaminya. Suami pun pasti tidak akan mau menanggung beban dosa itu, meskipun dari isterinya sendiri. Pasalnya, saat di dunia isteri punya pilihan apakah mengadopsi keburukan dari suaminya atau berusaha membentengi dirinya. Sedang di akhirat, masing-masing akan bertanggungjawab pada pilihan-pilihan yang telah dibuatnya.
Namanya stek itu, yang diharapkan pasti terpadunya hal-hal positif yang dimiliki masing-masing. Buahnya besar tapi masam, distek dengan yang kecil tapi manis. Harapannya, yang muncul adalah tanaman dengan buah yang besar lagi manis, bukan sebaliknya, sudah kecil masam lagi.
Oleh karenanya, setelah distek dengan suami, anda harus berusaha hanya mengadopsi sifat-sifat baiknya saja. Adapun yang buruk harus diwaspadai dan kalau bisa bantulah menghilangkannya. Memang tidak mudah, tapi itulah cara agar selamat dunia akhirat. Dengan begitu, anda boleh ubah pepatah Jawa di atas menjadi “surga turut, neraka emoh ah..”. Begitu. Wallahua’lam. (aviv)