Sok Tahu, Bukan Adab Insan Beriman
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Bukan satu dua kali jawaban ini ditemukan dalam beragam riwayat. Setiap kali Rasulullah menanyakan sesuatu mengenai akhirat atau urusan Islam secara retoris, para sahabat Nabi akan menjawab dengan kalimat tersebut. Tak satupun yang berani mendahului dengan asumsi pribadi atau tebakan-tebakan belaka. Meskipun, tidak semua pertanyaan Nabi dijawab dengan “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Adakalnya, Rasulullah memang menginginkan para jawaban dari para shahabat. Itulah adab para shahabat di hadapan sang pembawa risalah.
Keyakinan mereka yang sempurna akan kebenaran mutlak yang dibawa sang Nabi membuat hati dan nalar mereka tunduk, segan dan hormat. Dengan penuh ta’zhim, mereka menunggu informasi dan ilmu dari sang Nabi. Tidak berlagak sombong dengan mencoba menebak dan menunjukkan kecerdasan.
Begitulah, iman memang bukan sekadar sebentuk keyakinan dalam hati, tapi mewujud secara nyata dalam perilaku berupa sikap hormat dan adab. Syaikh Ratib an Nabulsi mengatakan, seorang mukmin pastilah mu’addib. Seorang mukmin pasti merupakan pribadi yang beradab dan berakhlak mulia. Beradab kepada Allah, Rasul-Nya, para shahabat, ulama dan sesama. Ia tahu dan sadar akan posisi dan kapasitas diri. Mukmin yang cacat adabnya, cacat pula imannya.
Sikap tidak merasa sok tahu terhadap perkara dien adalah adab wajib seorang mukmin. Urusan dien atau agama secara umum sifatnya tauqifi; berasal dari Allah dan tidak boleh diubah, ditambah dan ditafsirkan maupun dilaksanakan secara sembarangan. Semua harus sesuai petunjuk-Nya. Tidak boleh ditandingi dan dibantah dengan akal atau diubah berdasar perasaan.
Adab para Nabi
Renungilah, betapa beradab jawaban Nabi Isa AS saat ditanya:
﴿وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ﴾
“Dan ketika Allah berfirman, “Wahai Isa bin Maryam, apakah kamu memerintahkan manusia agar menjadikan diriku (isa) dan ibuku (maryam) tuhan selain Allah?…”(al Maidah:116).
Andai Nabi Isa bukan seorang Nabi, mungkin jawaban yang keluar adalah bantahan karena pertanyaan itu dirasa menuduh dan menyudutkan. “ Tidak Ya Allah, Demi Engkau Yang Mahaesa, aku tidak mengatakan itu”, misalnya. Tidak, tidak seperti itu jawaban Nabi Isa. Beliau paham benar itu bukan tuduhan, tapi sebuah pertanyaan retoris agar Nabi Isa menegaskan kesalahan para pengikutnya yang menjadikan Beliau sebagai tuhan. Maka jawaban beliau sangatlah lembut:
الَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”.
Demikian pula Nabi Muhammad SAW. Dalam segala hal, beliau tidak berani mendahului Allah. Saat tuduhan zina dihujamkan kepada istri tercinta, Aisyah RDH, beliau hanya diam menunggu jawaban dari Allah. Padahal Aisyah telah membantah tuduhan itu dan Rasulullah sangat mengerti Isterinya mustahil melakukan perbuatan rendah seperti itu. Kaum mukminin juga yakin Asiyah tidak berzina dan menyebut tuduhan itu sebagai buhtan azhim, fitnah yang besar. Tapi Rasulullah tetap menunggu jawaban dari Allah karena bagaimana pun, Beliau sama sekali tidak memiliki bukti untuk membantah. Sampai beberapa hari, kasus itu menggantung dan membuat sedih semua kaum mukminin. Akhirnya, semuanya selesai dengan turunnya ayat pembebasan tuduhan dalam surat an Nuur.
Hamba biasa harus lebih beradab
Apabila adab Nabi terhadap Allah dan syariatnya seperti itu, manusia biasa tentu lebih layak menerapkan adat yang lebih tinggi. Bukannya malah membantah dan bersikap sok tahu sebagaimana kisah ahli bid’ah dalam riwayat berikut:
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail mengisahkan, Aku mendengar kisah seorang ahli bid’ah mendengar sabda Nabi, “ Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, maka janganlah dia mencelupkan tangannya di dalam bejana sampai mencucinya tiga kali terlebih dahulu, karena dia tidak tahu di mana tangannya bermalam.”(HR Bukhari dan Muslim). Dengan nada mengejek, si ahli bid’ah berkata, “Ya, saya tahu di mana tangan saya bermalam, di ranjang.” Tapi pada pagi harinya, dia mendapati tangannya berada dalam dubur sampai pergelangan tangan.” (Bustanul Arifin, Imam an Nawawi, 19-20).
Sami’na wa atho’na, kami mendengar dan kami taat. Patuh, hormat dan mencari hikmah dibalik syariat. Bukan membantah dan bersikap sok tahu. Syariat Islam diturunkan oleh Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Hikmah. Tidaklah pantas, otak kecil yang tak seberapa ini membantah pengetahuan sang Maha Pencipta hanya gara-gara gagal menangkap hikmah suatu syariat. Syariat diturunkan sebagai pedoman, memiliki tujuan mulia dan hikmah luarbiasa, bukan sekadar aturan-aturan tanpa tujuan. Kalaupun sekiranya otak tidak mampu mengungkap hikmahnya, salahkan otak yang lemah, karena Sang Pembuat Syariat tak mungkin salah.
Adab di hadapan para ulama
Selain beradab kepada Allah, rasul-Nya dan syariatnya, seorang mukmin juga harus menunjukkan adab mulia dihadapan para pewaris Nabi: para ulama. Ini seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Umar RDH:
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
“Sesungguhnya ada di antara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?” Lalu orang-orang menerka-nerka pepohonan wadhi. Abdullah bin Umar Berkata: “Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma, namun aku malu mengungkapkannya.” Kemudian mereka berkata: “Wahai Rasulullah beri tahukanlah kami pohon apa itu?” Lalu beliau menjawab: “ia adalah pohon kurma.”(HR Bukhari dan Muslim)
Meskipun Ibnu Umar tahu bahwa jawabannya adalah pohon kurma, namun beliau segan. Di hadapannya ada kibarus shahabah, Para pembesar shahabat yang lebih dahulu masuk islam dan memiliki pengetahuan, termasuk ayahanda, Umar bin al Khattab. Sedangkan Ibnu Umar masih belia. Andaipun Ibnu Umar menjawab dan benar, sementara para shahabat salah, para shahabat besar mungkin tidak akan merasa direndahkan. Namun, itulah adab seorang mukmin di hadapan para ulama. Berusaha sebaik mungkin agar tidak menjadi pribadi sok tahu dan menunjukkan kemampuan.
BACA JUGA : Wara’, Tanda Kematangan Jiwa
Sayangnya, hari ini adab semacam ini sepertinya telah memudar. Banyak yang merasa sok tahu dalam urusan agama padahal hanya belajar beberapa makalah yang didapat dari internet. Dengan ilmu instan modal kopas (copy-paste), mereka sudah berani menjelek-jelekkan ulama dan masyayikh bahkan mengabaikan imam mazhab. Menafsirkan nash-nash syariat secara serampangan dengan modal terjemahan. Atau membantah tafsir-tafsir mu’tabar dengan akal dan pendapat pribadi yang jauh dari kebenaran. Ulama tak lagi dihargai bahkan tak jarang dicaci maki dan dijadikan bahan ejekan. Bahkan andaipun mereka benar dan sang ulama salah, tetap saja kahlak mulia harus dijaga.
Sebagian salaf berkata, “Pegang teguh dan praktikanlah adab baik yang sifatnya lahiriyah maupun batiniyah. Seseorang yang buruk adab lahiriyahnya, ia akan dihukum secara lahiriyah, dan yang buruk adab batiniyahnya, akan mendapat sanksi secara batiniyah pula.” (Iqadhul Hamm syarh Matnul Hikam, I/83).
Pingback: Menghindari Sebab-Sebab Yang Mengurangi Iman - arrisalah