Setitik Nila Tak Rusak Susu Sebelanga
Mendengar nama Hatib Bin Abi Baltaah, mungkin yang terlintas di pikiran ialah kisah pengkhianatan.Upaya Hatib membeberkan rencana penaklukan Makkah hampir merenggut nyawa shahabat muhajir tersebut. Namun, terlepas dari kesalahan itu,beliau adalah sosok yang bijak serta pejuang tangguh yang rela berkorban apa saja demi Allah dan rasulnya.
Nama beliau banyak disebut dalam rentetan cerita panjang Fathu Makkah. Penaklukkan Makkah termasuk operasi militer yang besar dan komplek. Rasulullah sendiri yang menyusun rencananya dengan sangat detail dan rahasia. Bahkan orang yang paling dekat dengan beliau tak bisa menebak apa yang sedang beliau gagas. Para sahabat hanya diperintahkan untuk i’dad dan membuat persiapan. Mereka tidak diberi tahu ke mana dan siapa yang akan akan jadi sasarannya.
Abu Bakar sempat bertanya kepada Aisyah, ke mana Rasulullah membawa pasukannya. Aisyah hanya bisa menjawab, “demi Allah saya tidak tahu!”
Beliau bahkan mengirim sariyah beranggotakan 80 personil menuju Dzu Khasyab dan Dzu Marwah di bawah komando Abu Qatadah Al- Anshari. Sariyah ini semakin menambah tebal kabut rahasia rencana dan tujuan beliau yang sesungguhnya.
Rencana Fathu Makkah nyaris terbongkar. Ketika Rasulullah menyebut kota Makkah sebagai target, Hatib bin Abi Baltaah terperanjat. Ia mengkhawatirkan nasib keluarganya di Makkah. Biasanya, setiap penaklukan besar merenggut ribuan nyawa sebagai korban. Ia tak ingin istri-anaknya termasuk dalam daftar korban pertumpahan darah tersebut.
Ia pun mengirim surat kepada para pemuka Quraisy untuk memperingatkan mereka. Isinya sebagai berikut:
“Amma ba’du: wahai orang Quraisy, sungguh Rasulullah akan datang membawa pasukan laksana malam. Mereka akan membanjiri Makkah bak air bah. Demi Allah, andai ia datang seorang diri pun, kemenangan akan diraihnya. Itulah janji Allah kepadanya. Karena itu pikirkan keselamatan kalian.”
Suratini dititipkan kepada budak wanita untuk diserahkan kepada tetua Quraisy. Tapi, upaya itu gagal setelah Rasulullah menyuruh Ali, Miqdad dan Zubeir mencegat kurir tersebut .Ali berhasil mendapatkan surat rahasia dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Para shahabat kaget, karena dalam surat tersebut tertera nama Hatib bin Abi Baltaah.
Hatib langsung dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Nabi tidak langsung menghukumnya, namun menanyakan alasannya yang sebenarnya.
“Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Tapi dulu aku adalah bekas budak yang dimerdekakan orang Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Umar yang geram dengan tindakan Hatib langsung berkata. “Wahai Rasulullah, izinkan aku menebas lehernya, dia telah mengkhianati Allah dan Rasulnya serta bersikap munafik.”
Rasulullah menenangkan Umar. Dengan bijak beliau bersabda, “Boleh jadi dia berkata jujur. Bukankah Allah telah berfirman kepada orang-orang yang telah ikut dalam perang Badar ‘ Berbuatlah sesukamu! Kalian telah Saya ampuni.”
Rasulullah memaafkan Hatib karena ia termasuk Ahlu Badar atau pasukan perang badar. Meskipun demikian perbuatan Hatib tetap salah, hal itu bisa menjadi bentuk loyal terhadap orang kafir. Karena itu Allah menegurnya lewat surat Al-Mumtahanan; 1.
Tindakan di atassebenarnya tidak mencerminkan sosok Hatib bin Abi Baltaah yang sebernarnya. Putra Amru bin Umar tersebut adalah shahabat yang sangat loyal kepada Rasulullah. Ia masuk Islam lewat ajakan sahabat karibnya, Zubeir bin Awwam. Zubeir sendiri termasuk 5 orang pertama yang masuk Islam.Sebelum masuk Islam, Hatib adalah penunggang kuda hebat dan ahli syair. Kemampuan itu pun ia sumbangkan kepada Islam.
Setelah hijrah, setiap kali Rasulullah terjun ke ghazwah atau pertempuran, Hatib selalu terlibat. Seperti perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pada perang Uhud, ia ditempatkan sebagai pemanah. Hatib tetap siaga menjaga posnya, hingga ia mendengar prajurit Quraisy bernama Utbah bin Abi Waqqas memekik, “Muhammad telah tewas.. Muhammad telah tewas..”
Hatib shock mendengar omongan dan langsung turun bukit mencari Rasulullah. Ia melihat Nabi sedang membasuh mukanya yang berlumuran darah. Di sampingnya Ali bin Abi Thalib berdiri membawakan air dengan tamengnya.
“Apa yang terjadi wahai Rasulullah?” tanya Hatib.
“Wajahku terluka hingga pecah gigi gerahamku, setelah batu yang dilemparkan Utbah bin Abi Waqqas mengenaiku.” Kata Rasulullah sembari menunjuk ke arah Utbah melarikan diri.
Hatib yang geram lalu mengejar Utbah. Ia tak rela sang Nabi mendapat perlakukan jahat seperti itu. Keduanya pun berduel sengit, namun dapat dimenangkan Hatib setelah pedangnya berhasil membabat leher Utbah. Kemudian, ia serahkan pedang dan kuda Utbah kepada Nabisebagai bukti kekalahan musuh Allah tersebut.
Kiprah Hatib bin Abi Baltaah tak hanya dalam arena pertempuran. Rasulullah dan para khalifah setelahnya selalu memilihnya sebagai duta Islam ke Mesir untuk menemui Muqauqis. Di hadapan pemimpin umat nasrani itu, ia berkata dengan tegas.
“Dahulu, negeri ini dipimpin oleh raja yang mengaku dirinya tuhan. Allahpun menghukumnya di dunia dan akhirat. Aku berharap anda bisa mengambil pelajaran dari orang tersebut, jangan sampai orang lain yang mengambil pelajaran dari anda.”
Hatib melanjutkan, “Kami mengajak anda beriman kepada Al-Qur’an. Sebagaimana anda mengajak ummat taurat beriman kepada inzil. Setiap orang yang bertemu dengan nabi adalah ummatnya. Wajib bagi mereka mengikutinya. Anda sudah mendengar tentang nabi ini. Kami tidak melarangmu beragama nasrani, kami mengajak anda mengikuti nasihat paling penting dalam agama anda.”
Kemudian Hatib menyampaikan surat Rasulullah. Muqaiqis membacanya seksama lalu menyerahkannya kepada pengawalnya.
“Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Aku harap kamu memahaminya.” Kata Muqauqis. “Bukankah dia itu nabi? Mengapa ketika kaumnya mengusirnya, sehingga ia harus pergi ke tempat lain? Mengapa ia tidak berdoa agar kaumnya dimusnahkan?”
Pertanyaan itu bukan masalah yang rumit bagi Hatib, “Itu sama seperti Isa bin Maryam. Anda yakin bahwa ia adalah rasul Allah bukan? Apa yang dilakukannya ketika ia diburu untuk disalib? Bukankah ia tidak mendoakan umatnya diadzab Allah, melainkan memilih untuk diangkat Allah ke langit.”
“Kamu benar. Kamu orang yang cerdas yang dikirim oleh orang yang bijaksana. Aku telah siapkan hadiah-hadiah untuk Muhammad. Aku juga akan kirim pengawal menjaga rombonganmu hingga kalian sampai di tujuan dengan aman.” Kata Muqauqis memuji. [ali]