Senantiasa Melakukan Perbaikan
Sungguh, manusia adalah pendamba kenikmatan. Bahkan seluruh aktivitas hidupnya, pada dasarnya adalah upaya mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya, serta seluas-luasnya. Dan ketika ia bernama nikmat dunia, pada ketersediaannya yang instan, seringkali menjebak manusia pada kecintaan yang berlebihan dan panjangnya angan-angan. Memosisikannya pada kemudaan jiwa meski seringkali berada dalam tubuh yang renta.
Dan hidup bukan lagi menjadi penghambaan kepada Sang Rahman, karena berubah menjadi perjalanan dan petualangan mencari dan menikmati kelezatan duniawi. Yang seringkali tak bertepi dan tak terkendali. Sebab ia serupa meminum air laut, kata Isa al Masih, karena semakin diminum akan semakin haus rasanya. Yang sangat melelahkan sebab setiap merasai kenikmatan, hasrat akan yang lebih lagi datang menghampiri.
Juga kompetisi di antara manusia yang melahirkan inovasi tanpa henti dalam menemukan kebaruan kelezatan beserta cara dan sarana menikmatinya yang seringkali mengagetkan karena tak terduga sebelumnya. Mengeluarkan sisi primitif manusia untuk berbangga-banggaan, bersaing dan menghalalkan semua cara demi perolehan maksimalnya. Sebagaimana Rasulullah sabdakan dalam riwayat at Turmudzi, “Dua serigala lapar yang dikirim kepada seekor kambing, tidaklah lebih merusak daripada rusaknya agama seseorang karena hasratnya pada harta dan kemuliaan hidup.”
Maka harus ada kendali diri agar tidak buas karena tidak pernah merasa puas. Harus ada benteng pertahanan dari serangan godaan nikmat dunia yang lezat dan memikat. Juga harus ada penghubung dengan akhirat agar tidak tersesat. Sebuah proses tazkiyah yang memunculkan sisi ruhiyah, kenikmatan jiwa yang yakin dan percaya kepada janji Allah. Pada hal-hal tak kasat mata dan tak terindera namun ada.
Proses bernama tazkiyah yang ada jaminan keberuntungan dari Allah bagi yang melakukannya. Sebuah perjalanan tumbuh kembang dalam kebaikan secara bertahap menuju kesempurnaan penghambaan kepada Sang Rahman. Proses panjang yang bertumpu pada dua prinsip dasar; penghilangan keburukan dan penambahan kebaikan. Dua pilar yang menjadi satu kesatuan sebab kehilangan salah satunya adalah kecurangan dan pengkhianatan dalam upaya perbaikan.
Sebab bertumbuh dan berkembang akan berjalan lancar jika subjeknya terbebas dari penyakit yang menghalanginya. Sehingga ia bisa memusatkan energi dan kemampuannya untuk bertambah baik tanpa kendala, dan bukan malah menyibukkan diri dengan para pengganggu dan menggerogotinya.
Maka untuk menjadi baik, kita tidak bisa hanya membicarakan kebaikan. Kita juga harus mengenali keburukan dan menghindarinya sebisa mungkin dalam hal-hal yang paling pokok dan mendasar, sebab kita tidak mungkin terbebas dari keburukan sebagai wujud dari ketidakmaksuman kita. Dalam hal ini, inti dari semua keburukan adalah kesyirikan, karena ia adalah lawan pengesaan yang menjadi substansi penghambaan. Karena tauhid tidak akan bersanding dengan syirik, selamanya.