Selamat Dengan Satu Kalimat
Ada kisah yang sangat dramatis, namun bukan drama rekaan atau sandiwara. Melainkan kenyataan yang kelak terjadi di hari Kiamat. Kisah yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara shahih oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad.
Kisah Pelaku Banyak Dosa
Kisah tentang anak manusia yang dibebaskan dari neraka, dan disaksikan oleh seluruh manusia, dari yang awal hingga yang paling akhir. Mari kita ikuti kisah berikut ini.
“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.”
Termasuk kita, kelak juga akan menyaksikan peristiwa itu.
“Ketika itu dibentangkan 99 tumpukan buku catatan (keburukan) miliknya. Setiap buku catatan dosa panjangnya sejauh mata memandang.”
Ini menggambarkan betapa banyak dosa yang dilakukannya. Bayangkan juga dosa-dosa kita, berapa kali dalam sehari berbohong, berucap kotor, atau menggunjing, padahal setiap kata yang terucap itu ada catatannya, ada malaikat pencatat yang senantiasa menyertai. Begitupun dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan, kaki dan anggota jasad yang lain. Semuanya tercatat dan tak satupun terlewat.
Banyak manusia kelak akan terbelalak melihat akumulasi dosa yang semua tercatat dengan detil. Seperti yang dikisahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam ini. Dia melihat 99 tumpukan buku catatan yang berisi segala keburukan yang telah dilakukannya. Tak terbayang betapa malu, takut dan paniknya ketika itu.
Kemudian Allah berfirman,
“Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah berlaku curang kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rabbku.”
Di dunia, mungkin banyak yang bisa berkilah dengan lidah, mengelak dengan trik dan mencari kambing hitam, namun ketika itu dia tak berkutik. Karena tidak ada satupun yang meleset, keliru atau salah tulis. Semua persis dengan kejadian nyata yang memang dialaminya, baik waktu maupun tempatnya. Tak ada lagi celah untuk berkilah.
Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?” Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku.”
Tak sanggup lagi dia beralasan. Karena dakwah telah sampai di telinganya, dia juga sudah tahu bagaimana seharusnya dan apa yang semestinya tidak dilakukannya. Tapi, ia cenderung mengikuti hawa nafsu yang tergiur mencicipi dosa demi dosa yang tampak menggiurkan. Seperti kita, berbagai kewajiban yang telah kita ketahui ilmunya, dan Allah memberi kita kesempatan, namun tak semua kewajiban kita tunaikan. Begitupun berbagai dosa yang telah kita ketahui keharamannya, tak serta merta kita tinggalkan semuanya. Semestinya kita banyak mengingat saat-saat seperti ini, untuk mempersiapkan jawaban di akhirat nanti.
Orang tersebut, saking takutnya dan merasa bakal celaka lantaran begitu banyaknya dosa-dosa, ia melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya, lalu Allah mengingatkannya.
Allah berfirman, “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun.”
Sebagaimana keburukan diperlhatkan dari yang besar hingga yang kecil, maka kebaikanpun juga ditampakkan, meskipun itu dianggap kecil. Dalam keadaan takut karena banyaknya dosa, tentu ia berharap masih punya simpanan kebaikan yang akan mengimbangi keburukannya, atau minimal mengurangi beban timbangan keburukan yang begitu berat. Bayangkan jika orang itu adalah kita, pasti akan penasaran dan harap-harap cemas, kiranya apakah gerangan kebaikan yang belum dia ingat itu. Dan ternyata terlihat hanya sebuah kartu kecil…
“Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu kecil) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.”
Ya, kartu yang hanya bertuliskan satu kalimat syahadatain, yang jika dilihat ketebalan dan ukurannya amatlah jauh dari tumpukan buku catatan keburukan miliknya.
Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’.
Saat itu, ia pun pesimis pada saat didatangkan timbangan, sementara ia melihat begitu jauh perbandingan antara kebaikan dan keburukannya. Harapannya nyaris sirna setelah melihat kebaikannya hanya berupa satu kalimat yang singkat tertulis dalam satu kartu yang kecil.
Dia berkata, “Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh buku catatan keburukan itu?”
Ini menggambarkan betapa pesimisnya ia. Akan tetapi,
Allah berfirman, “Sungguh kamu tidak akan dianiaya.”
Selamat dengan Satu Kalimat
Allah tidak menganiaya hamba-Nya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan akan ditimbang, apalagi kebaikan yang memiliki nilai yang besar dan agung. Dan apa yang terjadi kemudian sangat dramatis. Nabi melanjutkan kabarnya,
فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَىْء
Kemudian diletakkanlah tumpukan buku catatan keburukan tersebut pada satu daun timbangan, sedangkan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka tumpukan buku catatan keburukan tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)
Allahu Akbar, peristiwa yang menegangkan tersebut berakhir dengan keberuntungan orang itu. Ia akhirnya selamat dengan modal satu kalimat, yakni syahadatain. Ini menunjukkan betapa agung kalimat ini. Akan tetapi, apakah hanya dengan ucapan kosong tanpa tahu konsekuensi dan maknanya? Tentu saja tidak.
Syarat dan Ketentuan Berlaku
Sebagian menyangka bahwa sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Seakan tak ada ketentuan lain kecuali ucapan. Padahal, apalah artinya ucapan jika hati dan tindakannya berseberangan dengan apa yang diucapkannya. Para munafik pun tak hanya mengucapkan syahadat, bahkan berbagai amal wajib dan sunnah dikerjakan, tapi mereka mendekam di neraka yang paling dalam. Karena apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan isi hati dan perbuatannnya.
Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih ketika beliau ditanya,
“Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Ya, memang benar. Akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi yang sesuai, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.”
Begitupun tatkala memahami hadits yang diriwayatkan oleh Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pemaknaan hadits-hadits yang mengandung pernyataan muthlaq seperti dalam hadits pertama dan kedua tersebut haruslah dibawa kepada makna yang muqayyad, yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan pantangan-pantangan yang harus dihindarkan. Sehingga tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain.
Setidaknya orang yang mengucapkannya mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, sekaligus konsekuensi yang harus dilakukannya. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, ia pasti masuk surga” [HR Ahmad].
Kalimat “la ilaha illallah” memiliki makna dan konsekuensi yang besar. Kalimat inilah yang menjadi poin permusuhan antara yang haq dan yang dan bathil. Karena kalimat inilah orang-orang musyrikin Arab dahulu memerangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mereka tidak mengingkari bahwa Allah lah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, bahkan mengatur alam semesta. Hanya saja mereka tak sudi mentauhidkan Allah dalam ibadah tanpa menyekutukan dengan sesuatu yang merupakan inti dan konsekuensi dari kalimat la ilaha illallah.
Jikapun seseorang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat, atau berulangkali melantunkan kalimat thayibah la ilaha illallah menjadi tidak berfaedah jika kemudian dia melakukan kesyirikan. Bahkan teramasuk seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan, sebagaimana firman Allah,
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar 65)
Wallahu a’lam bishawab