Santun Tersandang, Neraka Terhalang
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan dari neraka atau neraka diharamkan atasnya? Yaitu atas setiap orang yang dekat (mudah akrab, lembut, lagi mudah (luwes). ” (HR. Tirmidzi)
Sejenak kita bayangkan perhatian para sahabat menyimak kabar besar yang hendak disampaikan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena insan beriman sangat kuat harapannya agar terhindar dari neraka dan dimasukkan ke dalam jannah. Merekapun ingin tahu, siapakah orang yang dijauhkan dari neraka itu. Lalu Nabi menyebutkan karakter mereka,
“Diharamkan atas neraka bagi orang yang mudah akrab, lembut dan luwes (mudah).”
Sifat Santun yang Mesti Disandang
Al-Mubaarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan, makna dari “qariib” adalah dekat dengan orang-orang (mudah akrab), sedangkan ‘hayyin” adalah lembut, tenang, santun. Dan makna dari “sahl” adalah mudah yang berlawanan dengan sulit. Dia mudah dalam berinteraksi, memudahkan urusan dan tidak susah untuk dimengerti.
Makna globalnya dijelaskan oleh Imam al-Mawardi, “Hadits ini menjelaskan bahwa akhlak yang baik akan memasukkan pelakunya ke dalam jannah dan menghalanginya dari neraka. Sedangkan akhlak yang baik itu tercermin pada perilaku seseorang yang mudah bergaul, lembut kepada orang lain, murah senyum, tidak mudah marah atau memutus hubungan dengan orang, dan santun dalam berbicara.”
Tapi, Imam al-Mawardi juga mengingatkan bahwa sifat-sifat tersebut harus sesuai dengan batasan-batasan (syar’i) dan proporsional. Jika terlampau lunak dan merendah maka akan terhina, jika terlalu mengada-ada akan menjadi nifak.
Batasan ini menjadi penting tatkala kita melihat realita di kalangan kaum muslimin, sebagian kalangan yang dikenal sebagai aktivis muslim yang militan, teguh pada prinsip dan pendirian terkadang meninggalkan atau terdapat kekurangan dari sisi kelembutan dan sifat santun. Namun di pojok lain segolongan orang yang dianggap toleran tak sedikit yang kebablasan, hingga mengorbankan prinsip demi memperoleh simpati dan merekatkan hubungan. Hingga kesan penjilat dan permisif lebih dominan daripada kesan pendekatan dan meraih simpati untuk dakwah.
Akhlak mulia yang dimaksud dalam hadits ini adalah kelembutan yang tidak disertai kelemahan, sekaligus ketegasan yang terhindar dari bentuk kezhaliman maupun kesombongan.
Agar Neraka Terhalang
Mengapa akhlak mulia begitu berarti nilainya hingga menjadi sebab masuk jannah dan mencegah dari neraka? Karena inti dari akhlak mulia itu ada dua; badzlul ma’ruf (mendermakan kebaikan) dan kafful adza (mencegah gangguan). Seseorang yang memberikan manfaat bagi orang lain menjadi sebab ia masuk jannah. Sedangkan mencegah diri dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan madharat bagi orang lain menjadi sebab terhalangnya ia dari neraka.
Sifat santun, lembut, menghargai orang lain dan akhlak mulia semisalnya memiliki nilai tinggi dalam Islam karena faedahnya sangat terasa dalam seluruh sisi kehidupan.
BACA JUGA : Tangisan yang Menyelamatkan
Dari sisi pergaulan dan menjaga ukhuwah Islamiyah di tengah masyarakat Islam, maka akhlak mulia lebih mampu mengikikat, mempererat hubungan baik dan melestarikannya. Siapapun orangnya akan suka jika diperlakukan baik, dan tidak suka diperlakukan kasar atau diremehkan. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadikan perilaku ini sebagai kesempurnaan Iman. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia menyukai untuk saudaranya, apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari) )
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadi teladan agung dalam hal sifat santun dan kelembutan. Hingga terhadap pembantunya sendiri tidak pernah mengucapkan kata-kaa yang kotor atau merendahkan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberikan kesaksian, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bagus akhlaknya, paling lapang dadanya dan paling besar kasih sayangnya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Akupun berangkat, tetapi aku menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar dan bukan melaksanakan tugas Rasul, aku ingin bermain bersama mereka, aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tersenyum. Beliau bersabda, “Wahai Unais (Anas kecil), apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?” Dengan rasa bersalah aku menjawab, “Ya, sekarang aku berangkat wahai Rasulullah.”
Demi Allah, aku telah berkhidmat kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata untuk sesuatu yang aku lakukan, “Kenapa sampai kamu lakukan ini?” Beliau tidak pernah pula berkata untuk sesuatu yang aku tinggalkan, “Mengapa kamu tinggalkan ini?”
Jika seperti itu beliau ajarkan untuk bergaul dengan yang lebih muda dan selaku bawahan, lantas bagaimana akhlak terhadap orangtua, kepada yang lebih tua dan orang-orang yang memiliki keutamaan? Alangkah indahnya ukhuwah jika sifat santun menjadi akhlak kaum muslimin.
Akhlak mulia ini juga sangat berfaedah di dunia dakwah. Karena untuk diterimanya dakwah, butuh sesuatu yang menarik; baik dari sisi pesan maupun yang membawanya. Yang setidaknya obyek dakwah mau mendengar apa yang kita katakan, mau memperhatikan apa yang kita ajakkan dan simpati terhadap apa yang kita lakukan. Jangan sampai pesan yang baik ditolak oleh masyarakat karena perilaku pembawanya yang kurang baik. Bahwa kita sudah berdakwah dengan cara yang baik, menjaga adab dan akhlak dan tetap ada yang menolak dakwah, kita telah lepas dari kewajiban. Tapi pastikan bahwa kita telah bertindak secara bijak dalam berdakwah.
Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah penyeru yang paling bagus sikapnya terhadap obyek dakwah. Kepada orang yang belum mengerti beliau memberikan pengertian, kepada yang sudah mengerti beliau memberika motivasi untuk melakukan kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan. Jikalaupun memberikan teguran atas kelalaian tujuannya adalah untuk kebaikan, bukan untuk melampiaskan kemarahan.
Beliau tidak gampang memvonis atau menjatuhkan tuduhan. Tidak gampang tersinggung atau tergesa memberi penilaian buruk kepada seseorang sebelum jelas latar belakang dan sebab seseorang melakukan penyimpangan.
Simaklah kisah yang disebutkan oleh Imam at-Thabrani dan al-Baihaqi, tentang seorang pemuda yang minta ijin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk berzina. Sekilas ini merupakan ucapan yang lancang dan keterlaluan, yang karenanya di antara para sahabat ketika itu memberi kecaman, namun apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sungguh mengagumkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, “Mendekatlah! “Apakah engkau suka jika hal itu terjadi atas ibumu?”Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”
“Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa ibu-ibu mereka,” sahut Nabi. Beliau melanjutkan pertanyaannya, “Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan oleh anak perempuanmu?”
“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah,” jawabnya. Nabi bersabda “Demikian juga orang lain, mereka tak ingin hal itu terjadi atas puteri-puteri mereka.”
Nabi melanjutkan, “Apakah engkau ingin jika hal itu terjadi atas para bibimu, saudari ayahmu?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Begitupun orang lain juga tidak ingin hal itu terjadi atas bibi-bibi mereka.”
Nabi melanjutkan, “Apakah engkau ingin jika hal itu terjadi atas para bibimu, saudari ibumu?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Begitupun orang lain juga tidak ingin hal itu terjadi atas bibi-bibi mereka.”
Rasulullah lantas meletakkan tangan beliau ke dada pemuda itu sembari berdoa,
“Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya.”
Abu Umamah yang menceritakan kisah tersebut menyebutkan bahwa sejak saat itu perbuatan zina menjadi sesuatu yang paling dibenci oleh pemuda itu.
Begitulah, dengan akhlak yang baik seseorang bukan saja menyelamatkan dirinya dari neraka, namun juga menjadi sebab terhindarnya orang lain dari neraka.
Hanya saja, kelembutan dan sikp santun tidaklah mnggugurkan kewajiban untuk mengatakan yang bathil itu bathil, dan tidak boleh pula menghalangi kita dari kewajiban untuk mencegah kemungkaran, baik dengan lisan maupun dengan tangan. Masing-masing dilakukan sesuai tuntutan dengan cara yang disyariatkan. Semoga Allah memperbaiki akhlak kita dan kaum muslimin seluruhnya, aamiin. (Abu Umar Abdillah)
Pingback: Syafaat Seorang Sahabat - arrisalah