Risau Hati Saat Catatan Amal Dibagi
Setelah lama berdiri di makhsyar disertai peluh keringat yang membanjiri manusia, maka mereka saling berembug tentang cara mereka selamat dari kegerahan dan kegundahan yang begitu dahsyat dan lama. Mereka tidak kuasa menahan dan memikul beban itu. Sebagian orang mengatakan kepada yang lainnya, “Apakah kalian tidak melihat kesusahan yang menimpa kalian? Apakah kalian tidak melihat apa yang kalian alami? Apakah kalian tidak melihat ada orang yang mampu memberi syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian?” Maka mereka mendatangi para Nabi untuk meminta syafaat, agar mereka memohon kepada Allah demi menyudahi keadaan mereka di makhsyar. Mereka datang kepada Nabi Adam alaihissalam, namun beliau mengelaknya. Lalu mereka datang kepada Nuh, Ibrahim, Musa maupun Isa alaihimussalam. Namun mereka semua mengelak dan tidak kuasa memberikan syafaat, sebagaimana kisah lengkapnya yang panjang disebutkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah .
Hingga akhirnya mereka mendatangi Nabi Muhammad dan beliaulah yang bisa memberi syafaat untuk semua manusia kepada Allah, Hingga hari keputusan pun segera digelar. Inilah yang disebut dengan syafa’atul ‘uzhma, syafaat agung dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk seluruh umat manusia.
Detik-Detik Catatan Amal Dibagi
Lepas dari kegerahan yang dahsyat, mereka memasuki saat-saat yang paling menegangkan. Di mana seluruh manusia dan jin dari seluruh zaman dan tempat berkumpul dalam satu tempat.Tak ada hiruk pikuk atau suara keras meninggi meski kegelisahan menjadi-jadi, hati berdebar tak menentu, karena menunggu keputusan dari Hakim Yang Seadil-adilnya.
“dan merendahlah semua suara kepada Yang Maha Pemurah,maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (QS Thaha 108)
Saat di mana manusia menunggu pembagian catatan nilai hasil usahanya di dunia, mereka tidak memikirkan apa dan siapapun kecuali nasib dirinya sendiri. Seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata, “Suatu kali aku mengingat neraka kemudian menangis. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Saya ingat neraka, maka saya menangis. Apakah Anda akan mengingat keluarga saat Hari Kiamat?” Beliau menjawab,
“Adapun dalam tiga situasi maka tak satupun ada orang yang mengingat orang lain; yakni ketika amal ditimbang sehingga dia tahu apakah timbangan kebaikannya berat ataukah ringan, ketika lembar catatan amal dibagi hingga ia tahu apakah catatan amalnya jatuh di tangan kanannya, tangan kirinya atau dari belakang punggung, dan tatkala meniti shirath yang terpancang di atas jahannam hingga ia melewatinya dengan selamat.” (HR Abu Dawud)
Ini menggambarkan manusia berada pada titik cemas dan kerisauan yang memuncak. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadirul Ushulnya menyebutkan dengan landasan hadits tersebut bahwa itulah saat-saat paling menegangkan pada Hari Kiamat.
Jika ketika di dunia seseorang sudah merasa cemas saat menanti detik-detik pembagian raport sekolah, pengumuman hasil seleksi karyawan, pengumuman hasil penghitungan suara untuk menduduki suatu jabatan, lantas bagaimana dengan hari itu. Hari di mana tatkala seseorang hendak menerima hasil catatan amalnya di dunia. Dan hasil itu akan menentukan apakah ia akan mendapatkan kenikmatan abadi, ataukah kesengsaraan tak terperi.
Imam al-Qurthubi dalam kitabnya at-Tadzkirah memberikan gambaran yang beliau ramu dari dalil-dalil dan penjelasan para salaf, seperti apa ketegangan detik-detik pembagian catatan amal tersebut.
“Bayangkanlah dirimu wahai saudaraku. Ketika kamu menerima buku catatan amal, kamu dihadapkan untuk diberi balasan. Dan kamu dipanggil dengan namamu di hadapan para makhluk, “Di manakah fulan bin fulan? Marilah menghadap Allah Azza wa Jalla!” Sementara para malaikat membawamu dan mendekatkanmu kepada Allah. Kemiripan nama-nama lain dengan namamu juga ayahmu tidak menyulitkan malaikat ketika mereka tahu bahwa kamulah pemilik nama yang dipanggil tersebut. Ketika panggilan itu mengetuk hatimu, maka tahulah kamu bahwa yang dipanggil itu adalah dirimu. Lalu kamu akan menggigil ketakutan, tubuhmu gemetaran, roman mukamu berubah dan hatimu gelisah. Dibukakan barisan-barisan untuk laluan jalanmu menuju ke hadapan Rabbmu. Pandanagn semua makhluk tertuju kepadamu, sedangkan kamu berada di hadapan mereka dalam keadaan takut dan gelisah.
Bayangkanlah dirimu saat kamu berada di hadapan Rabbmu, sedang tanganmu memegang buku catatan yang berisi seluruh informasi tentang amalmu. Tak meninggalkan sedikitpun apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu rahasiakan saat di dunia. Kamu membaca apa yang tertulis di dalamnya dengan lisan terbata-bata dan hati yang menangis. Ketakutan menyelimuti dirimu, dari depan dan belakangmu. Betapa banyak hal yang telah kamu lupakan, ternyata Allah mengingatkannya kepadamu. Betapa banyak keburukan yang telah kamu sembunyikan, ternyata Dia menampakkannya untukmu. Betapa banyak amalan yang kamu sangka dapat menyelamatkan dan membebaskanmu, namun ternyata Dia menolak amalan itu di hadapanmu, di tempat itu, setelah sebelumnya kamu berharap amal tersebut dapat menyelamatkan dan membebaskanmu. Padahal dahulu kamu menganggapnya besar. Duhai meruginya hatimu, duhai kasihan dirimu atas apa yang telah engkau sepelekan berupa ketaatan kepada Rabbmu.”
Setelah Catatan Amal Dibagi
Dalil-dalil menunjukkan, ada tiga cara manusia menerima catatan amalnya. Orang-orang yang beruntung akan menerima kitabnya dengan tangan kanan. Ia pantas berbangga ketika itu. Firman Allah Ta’ala,
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. (QS. Al-Haqqah 20)
Ini menjadi pertanda keridhaan Allah atasnya, dan bahwa kesudahan ia nanti adalah kenikmatan jannah yang dirindukannya.
Ada pula orang yang menerima kitabnya dengan tangan kiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala
“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini).” (QS. Al-Haqqah: 25)
Ini adalah isyarat kesengsaraan yang bakal dilalaui dan dialami. Ketika itu, para pendosa betul-betul terhenyak, malu sekeligus menyesal saat membaca catatan amal yang telah dibagi. Karena ternyata seluruh perbuatan buruknya terrekam dengan sangat rapi dan jeli, tak ada yang tersisa sedikitpun baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Allah berfirman,
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. Al-Kahfi: 49)
Yang ketiga adalah orang yang menerima kitabnya dari belakang punggungnya. Banyak ulama yang mengkompromikan makna ‘dengan tangan kiri’ dan ‘melalui belakang punggungnya.” Imam al-Qurthubi menjelaskan, “maka pundak kirinya akan terlepas sehingga tangannya di belakangnya, lalu mengambil kitabnya dengannya.” Mujahid berkata, “Wajahnya bergeser ke tengkuknya, lalu membaca kitabnya dengan cara demikian.”
Syaikh Muhammad bin Sholih al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa mereka menerima kitab dengan tangan kiri kemudian tangannya memelintir ke belakang sebagai isyarat bahwa mereka telah dulu di dunia telah mencampakkan aturan-aturan al-Qur’an ke belakang punggung mereka. Mereka telah berpaling dari al-Qur’an, tidak mempedulikannya, tidak mengacuhkannya, dan merasa tidak ada masalah bila menyelisinya.
Akhirnya, setelah masing-masing manusia menerima catatan amalnya, lalu dikatakan kepada masing-masing, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung terhadapmu.” (QS. Al-Isro’: 13-14)
Pada saat itulah semua manusia akan teringat apa yang dulu telah ia lakukan. Semua tercatat dengan lengkap dan tiada kekeliruan sedikit pun. Di sinilah salah satu bukti keadilan Allah, karena menjadikan manusia sebagai penghisab atas apa yang telah ia lakukan sendiri. Dan ketika itu manusia tak kuasa memungkiri atas apa yang ada dalam catatan amalnya.
Maka sebelum membaca catatan amal kita kelak di akhirat, alangkah bijak jika mulai hari ini kita mengisi catatan kita dengan kebaikan, dan juga menghapus catatan-catatan buruk dengan memperbanyak taubat dan memohon ampunan, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah)
بارك الله في علمكم يا أستاذ
كثر الله من أمثالكم
barokallohu fikum ust.
Pingback: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat