Puncak Pengharapan di Akhir Kehidupan
Mu’ad bin Jabal radhiyallahu anhu ketika mendekati ajalnya bergumam, “Ya Allah, selama ini aku begitu takut kepada-Mu. Tapi hari ini, sungguh saya sangat berharap kepada-Mu. “
Alangkah indahnya pengharapan beliau. Pengharapan setelah diawali dengan prestasi gemilang sebagai hamba Allah, namun tak pernah merasa puas dengan hasil usahanya, merasa kurang dan takut akan kekurangan diri dalam menunaikan hak Allah. Hingga setelah usaha dikerahkan, amal tak mampu lagi dilakukan, saat tutup usia untuk menghadap Pencipta, yang tersisa adalah pengharapan. Berharap Allah menerima semua amalnya, berharap dosa-dosa diampuni, bahkan berharap bertemu dengan Kekasihnya, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita lihat diri kita, adakah rasa takut itu di saat sehat dan kuat? Rasa takut yang menghalangi kita untuk bermaksiat, dan rasa takut yang menyegerakan kita untuk bertaubat dari sekecil apapun kesalahan dan dosa, juga dari keteledoran maupun kemalasan dalam menunaikan hak Allah.
Mari kita lihat pada ungkapaan beliau, “selama ini aku begitu takut kepada-Mu”, yakni di masa hidup dan masih bisa berbuat. Karakter para sahabat adalah fi ghaayatil khauf ma’a ghaayatil ‘amal, berada di puncak takut meski mereka berada di puncak amal. Secara kalkulasi matematis, semestinya kita lebih layak untuk takut, disebabkan lebih banyak maksiat dan teledor. Tapi begitulah takwa, semakin tinggi tingkat ilmu dan iman seseorang, semakin takutlah ia kepada Allah. Karena dia paling tahu dan sadar akan konsekuensi dari setiap perbuatan, dia juga paling paham betapa besarnya Hak Allah atas dirinya.
Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, di mana beliau bertanya kepada Rasulullah tentang ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (kerana mereka tahu bahawa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS al-Mukminun 60-61)
Beliau bertanya, “apakah mereka adalah orang-orang yang berzina, minum khamr dan mencuri?” (hingga mereka merasa takut?)
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Tidak wahai Puteri Ash-Siddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang shaum, melaksanakan shalat, bersedekah namun mereka khawatir (amalan mereka) tidak diterima.”
Hasan al-Bashri menjelaskan, “Mereka telah beramal demi Allah dengan semua ketaatan-ketaatan dan mereka telah bersunggah-sungguh dengannya, serta mereka takut (seandainya amalan-amalan mereka) ditolak. Sesungguhnya seorang mukmin itu menggabungkan antara berbuat baik dengan takut (tidak diterima amalannya), sedangkan orang munafik menggabungkan antara perbuatan buruk dengan merasa aman dari siksa Allah.”
Amal shalihnya optimal, namun takutnya maksimal, itulah mukmin. Sedangkan munafik maupun orang fajir, amalnya buruk namun merasa aman dari siksa. Di manakah posisi kita? Wallahul muwafiq.
(Abu Umar Abdillah)