Petaka di Balik Karunia
Melihat bencana tsunami, banyak yang menyimpulkan bahwa semua itu akibat dosa manusia. Ada pula yang mengatakan, itu karena dosa pemerintah yang dipenuhi pejabat korup. Kesimpulan semacam itu tidak salah karena umat terdahulu terkena bencana juga karena dosa. Tapi pertanyaannya, kalau memang bencana itu karena dosa oknum pejabat, lantas mengapa bukan mereka yang diadzab?
Pertanyaan serupa juga akan muncul kalau kita melihat kehidupan orang-orang kafir. Kalau memang dosa mengundang bencana, mengapa orang-orang kafir justru tampak makin sukses dan sejahtera? Bukankah dengan segala kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan, mereka jauh lebih layak tertimpa bencana dibanding warga lereng merapi yang sebagian besar muslim?
Atau saat melihat para pengusaha yang makin cemerlang karir dan usahanya, padahal shalat, shaum dan membaca al Quran tak pernah ada dalam agenda harian mereka? atau para pelopor liberlisme yang merusak Islam luar dalam, mengapa mereka justru semakin terkenal dan dikagumi dimana-mana?
Kalau kita masih bingung dengan jawabannya, barangkali kita lupa atau lalai bahwa plot kehidupan manusia tidak selalunya persis seperti alur dalam kisah umat terdahulu; ‘Ad, Tsamud, Sodom, atau Ashabul Aikah. Berdosa, diperingatkan, membangkang lalu diadzab dan habis semuanya.
Baca Juga: Hikmah Dibalik Musibah
Dosa pasti ada balasannya, kecuali rahmat dan ampunan Allah menghapusnya. Tapi tidak semua dosa dibayar kontan seketika. Ada sebuah skenario dan makar dari Allah yang justru membiarkan para pendosa makin tenggelam dalam dosanya. Seperti balon yang terus ditiup agar semakin menggelembung lalu pecah dengan dahsyatnya. Itulah istidraj. Sebuah makar yang Allah timpakan atas hamba yang berpaling dari peringatan dengan cara membiarkannya berbuat dosa semaunya, memberi tenggat umur, membukakan pintu-pintu kenikmatan dunia berupa kesuksesan, limpahan rezeki bahkan diberikan tabir penutup atas kedurhakaanya. Sebuah makar yang secara perlahan tapi pasti, menyeret si pendosa menuju siksa yang melebihi segala rasa sakit yang ada di dunia.
Sebuah makar yang benar-benar mengerikan. Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki, dan membiarkan sesat siapapun yang dikehendaki. Sedang orang-orang yang dibuai dengan istidraj, seakan-akanAllah memang tidak menghendaki mereka mendapat petunjuk.Bukankah rasa sayang anda akan membuat tangan menjewer telinga jika si kecil nekat melakukan tindakan berbahaya? bukan membiarkannya hingga si kecil pun celaka?
Adakah kita termasuk di dalamnya?
Untuk mengetahuinya, mudah saja. Kita simak riwayat shahih berikut ini:
DariUqbah bin amir, Rasulullah bersabda,
“إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَا صِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ”،ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَ اهُمْ مُبْلِسُونَ
“Jika kamu melihat Allah terus saja memberi seorang hamba berbagai kenikmatan dunia yang disukainya, sedang hamba itu senantiasa bermaksiat kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya semua itu adalah istidraj dari Allah. Lalu Rasulullah membaca ayat:Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al An’am: 44)
Ciri-ciri mustadrijin atau orang yang terjebak dalam istidraj adalah ketika nikmat terus saja menghujani, padahal maksiat tak pernah absen saban hari. “Kami kucuri mereka dengan nikmat dan kami buat mereka lupa bersyukur.” Kata Sufyan ats Tsauri. “Setiap kali melakukan kedurhakaan, kami tambah nikmat atas mereka dan kami lupakan mereka dari istighfar.” Kata Abu Rawaq.
Jika kamu melihat Allah terus saja memberi seorang hamba berbagai kenikmatan dunia yang disukainya, sedang hamba itu senantiasa bermaksiat kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya semua itu adalah istidraj dari Allah
Nikmat yang melimpah di atas dosa yang menggunung, akan menjadikan vonis di akhirat semakin berat. Sedang tenggang umur yang diberikan hanya akan memperpanjang daftar tuntutan dan mempersempit celah pembelaan.Wal iyadzub billah, semoga kita tidak termasuk di dalamnya.
Banyak yang terjebak
Meskipun al-Quran dan sabda Rasul telah memberitahukan makar ini dengan sangat jelas, tapi tetap saja banyak manusia yang terjebak. Sebab, kebanyakan manusia menganggap bahwa karunia dan nikmat duniawi adalah kemuliaan dari Allah, sedang ketiadaannya adalah petaka dan murka dari-Nya. Persis seperti yang digambarkan dalam ayat berikut:
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:”Rabbku telah memuliakanku”. (QS. al-Fajr: 15)
Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata:”Rabbku menghinakanku”. (QS. al-Fajr: 16)
Karenanya, meskipun bermaksiat, banyak yang menyangka Allah sangat menyayanginya dengan pertanda nikmat dan karunia yang tiada putusnya. Memang, berbaik sangka pada Allah itu harus. Tapi jika kita merasa masih jauh dari sebutan hamba bertakwa, maka terhadap limpahan nikmat, selain bersyukur kita juga harus waspada. Jangan sampai terlena karena makar istidraj datang dari arah yang tidak disangka-sangka.Ulama berkata, “Setiap nikmat yang tidak membuat kita semakin dekat dengan Allah, sejatinya adalah siksa, dan segala anugerah yang memalingkan kita dari Allah hakikatnya adalah bencana.”
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Orang mukmin melakukan kebaikan sembari berharap-harap cemas, sedang pendosa melakukan kedurhakaan dan merasa dirinya aman.”
Allah berfirman,
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS. al-Qalam: 44-45)
Wallahua’lam.