Pertunjukan Penghargaan
Betul, pencapaian apapun yang kita peroleh, seringkali menjadi sumber kekecewaan jika kita gagal mendapatkan apresiasi dari pihak lain. Terutama dari orang-orang terdekat yang kita harapkan menjadi pendukung setia. Dalam suka maupun duka. Dalam sukses maupun gagal. Dalam tawa maupun tangis. Semua menjadi lebih indah jika ada pihak yang ikut merayakan keberhasilan atau memberi penguat saat terpuruk.
Pada saat seperti itulah kita merasa nyaman untuk menghadapi apapun yang terjadi. Merasa diterima dan dihargai, juga didukung dan disambut. Kita benar-benar merasa menjadi bagian dari mereka. Terbayar sudah semua kerja keras, apapun hasilnya, dengan rasa puas dan berharga. Bukan kekecewaan dan kelelahan sebab hampir semua yang kita lakukan tidak mendapatkan sambutan.
Namun, sebagai hasil sebuah kecerdasan, apresiasi murni tanpa keterlibatan emosional juga bisa sangat mengecewakan. Tampak sangat mekanis dan terasa robotis, kering dan tidak menyentuh. Artinya, memberi pujian dan penghargaan atas kerja orang lain sangat penting, namun harus tulus dari lubuk hati yang tulus. Kata-kata manis dan tepukan di bahu bisa terasa hambar dan tidak diharapkan jika tanpa kasih dan sayang, tanpa hati. Ia hanyalah basa-basi yang kadang menyebalkan.
Tugas kita sebagai kepala keluarga tidak sekadar menyediakan makanan di meja, pakaian penutup raga, atau sejumlah biaya operasional harian dan rekreasi. Kita berkewajiban menunjukkan penghargaan kepada semua anggota keluarga secara tulus. Pertunjukkan ini menjadi bentuk apresiasi dan pengakuan atas kerja keras mereka bertumbuh, sekaligus terlibat dalam upaya membangun pondasi keluarga yang kokoh. Bahwa setiap mereka berharga dan diterima di keluarga ini. Hal yang akan mendorong harga diri mereka ke atas, meninggi menjadi kuat. Menghidupkan suasana keluarga menjadi menyenangkan bagi setiap yang terlibat di dalamnya.
Maka, kita harus rajin mencari alasan untuk mengungkapkan dan menunjukkan penghargaan itu. Bahkan meski sekedar mengantar anak ke sekolah dan mengambilkan rapornya, atau memuji masakan dan penampilan istri. Dan seperti batu yang kita lemparkan ke air, ungkapan penghargaan itu akan menciptakan efek gelombang, melebar ke area lain yang lebih luas, insyaallah.
Namun sayangnya, banyak lelaki yang sulit untuk mengungkapkan apresiasinya dalam bentuk kata-kata. Selain karena ketidaktahuan akan manfaat positifnya, hal ini bisa juga dikarenakan alasan budaya. Artinya, banyak hal yang kita anggap tabu untuk dilakukan karena budaya kita menganggapnya begitu. Ia dianggap bisa menurunkan martabat dan harga diri kita sebagai lelaki. Tapi, apakah hal itu benar? Padahal Islam mengajarkan kepada kita untuk mengungkapkan cinta kepada orang lain secara verbal, menggendong dan memeluk anak, atau bahkan, menangis ketika melakukan kesalahan.
Alasan lain adalah karena suasana rumah kita memang tidak kondusif. Kebiasaan saling diam, atau kalau berbicara bisanya hanya mengkritik dan meremehkan sebuah pekerjaan, telah menggantikan kebiasaan berkata baik dan positif, serta menghargai hal-hal yang kecil. Saling acuh atas apa yang dilakukan orang lain dan cenderung mendiamkan. Alih-alih memberi hadiah sebagai bentuk kepedulian.
Harga diri yang rendah juga menyumbang saham akan abainya kita akan pertunjukkan penghargaan ini. Merasa kecil dan remeh, tidak berharga dan takut ditolak, membuat kita terdiam dan cenderung menyimpan prestasi-prestasi kita. Tidak ada yang layak untuk dipuji dalam keluarga seperti ini. Lalu, untuk apa semua perolehan kita, jika akhirnya, tidak ada yang menganggapnya berarti?
Maka, marilah kita belajar untuk lebih peduli akan perasaan anggota keluarga yang lain. Karena mereka manusia yang memiliki jiwa, memiliki hati. Penting bagi mereka untuk memiliki konsep diri yang kuat dan jernih. Dan itu bisa mereka dapatkan jika kita memberikan ruang untuk tumbuh.
Sebaiknya, kita memusatkan perhatian kepada apa yang ada, yang dimiliki dan dihasilkan, bukan apa yang kurang, belum dilakukan, atau tidak dapat dicapai. Kita biasakan berkata positif dan menghargai, bahkan meski sekedar tersenyum ketika bertatapan muka dengan anak dan istri.
Kita ungkapkan secara verbal apa yang kita rasakan kepada mereka dengan tulus, dari lubuk hati terdalam, meski hanya sekadar ucapan terima kasih, jazakumullah khairan katsiran, atas bantuan yang mereka berikan, dalam hal-hal yang tampak sepele sekalipun . Kemudian kita nikmati makna kebersamaan itu agar menjadi indah. Bersama-sama belajar saling menerima dan menghargai kehadiran setiap anggota keluarga. Bersama-sama membangun saling pengertian.
Yang tidak kalah penting adalah mengembangkan sense of humor yang sehat, yang menyentuh emosi. Sebab salah satu bukti terhubung secara emosional adalah kemampuan untuk tertawa dan bercerita bersama secara hangat dan nyaman. Bukan saling menyindir, merendahkan, atau mencari-cari kesalahan pihak lain. Karena hal itu sangat menyakitkan dan merendahkan harga diri.
Kita harus ingat, bahwa siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi. Dan kasih sayang itu harus ditunjukkan. Wallahu a’lam.