Periksa kepada Dokter Kafir
Ustadz, di tempat tinggal saya hanya ada satu dokter gigi. Laki-laki dan itu pun Nasrani. Kini saya sakit gigi/gusi. Bolehkah saya periksakan gigi/gusi saya kepadanya? (Mar`ah Shalihah—Sukoharjo Jawa Tengah)
Para ulama menyatakan, mestinya seorang perempuan muslimah hanya memeriksakan diri kepada dokter muslimah. Jika tidak ada, maka boleh periksa ke dokter perempuan non-muslimah. Jika tidak ada, maka boleh periksa ke dokter laki-laki muslim. Jika juga tidak ada, baru boleh periksa ke dokter laki-laki non-muslim. Boleh juga membuka bagian yang biasa tertutup dari tubuhnya untuk kebutuhan pemeriksaan. Hanya saja, ia harus bersama mahramnya dan tidak boleh hanya berduaan dengan dokter laki-laki tersebut.
Para ulama menyatakan bahwa kebolehan ini termasuk kategori haram lighayrih, haram karena ia adalah wasilah kepada zina. Perkara yang haram karena faktor lain seperti ini dibolehkan saat mendesak.
Tidak diragukan bahwa dalam dunia kedokteran, pengalaman dan keahlian diperlukan.
BACA JUGA: Orang Masuk Islam Sementara Masih Memiliki Teman-teman Kafir
Namun tindakas medis bertingkat-tingkat. Sama-sama kasus sakit gigi, tidak semua harus ditangani oleh dokter laki-laki, sementara ada dokter perempuan, meskipun ia kurang ahli. Memang ada beberapa operasi yang mesti dilakukan oleh yang berpengalaman. Lagi pula, mereka yang hari ini belum berpengalaman itu pada akhirnya akan berpengalaman dan ahli dengan banyaknya orang yang memeriksakan diri padanya.
Penyakit pun beragam tingkat kedaruratannya. Ada yang sampai ke tingkat darurat—jika tidak dilakukan tindakan tertentu akan mengancam jiwa, namun ada pula yang hanya sampai ke tingkat hajat—jika tidak dilakukan tindakan tertentu tidak mengancam jiwa.
Para ulama juga memperhatikan bagian yang diperiksa dan diberi tindakan. Jika mendekati aurat mughalladhah (aurat berat: kemaluan dan dubur), maka harus sampai tingkat darurat. Tindakan pada wajah dan tangan boleh meskipun baru sampai ke tingkatan hajat.
Al-‘Izz bin ‘Abdussalam, “Menutup aurat adalah wajib. Ia merupakan etika yang paling utama dan adat yang paling bagus. Apalagi untuk perempuan yang bukan mahram. Hanya, dalam kondisi darurat dan hajat hal itu dibolehkan.”
Dalam al-Adab asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih berkata, “Apabila seorang perempuan sakit dan tidak ada yang mengobatinya selain dokter laki-laki, maka dokter itu boleh melihat dan melakukan tindakan yang diperlukan. Demikian pula halnya laki-laki. Jika tidak ada dokter laki-laki, boleh dokter perempuan mengobatinya.”
Wallahu a’lam.