Penyingkap Tabir
Tidak semua manusia berkharakter jujur dan terus-terang. Ada tipe-tipe manusia yang cenderung menutupi jati dirinya, takut diketahui oleh pihak lain. Keadaan itu terbentuk karena pengaruh lingkungan yang buruk, atau disebabkan menganut keyakinan yang rusak seperti aqidah ‘taqiyyah’-nya rofidhoh, atau disebabkan kekhawatiran kepentingan ekonomi dan ambisi-ambisi kekuasaan tersingkap.
Tidak selamanya seseorang dapat terus menerus menutupi hakekat dirinya, ada kondisi-kondisi tertentu yang memaksanya menampakkan siapa dirinya, membuka niat dan maksud yang sebelumnya disembunyikan agar tidak diketahui orang lain. Tercapainya kemenangan dan dominasi menjadi penyingkap tabir paling besar. Kemenangan berarti terbukanya kesempatan bagi sekelompok orang atau sebuah organisasi merealisasikan apa yang menjadi cita-citanya, karenanya, saat berhasil meraih dominasi, niat dan maksud asli yang (mungkin) sebelumnya disimpan rapat akan mencuat, sehingga manusia banyak dapat dengan jelas mengenalinya. Revolusi Iran 1979 merupakan contoh nyata di era modern ini.
Dunia perpolitikan modern juga merupakan medan dimana kedok dan topeng yang dikenakan sekelompok manusia menjadi nyata setelah meraih kekuasaan. Telah berulang kali dimana satu kelompok politik berkampanye dan mencitrakan diri sebagai pengusung dan pembela aspirasi rakyat, mengidentifikasi diri sebagai partainya rakyat kecil, tetapi setelah meraih kursi kekuasaan ternyata rakyat kecil hanya pelaris komoditas, penangguk vote dan dukungan. Segera setelah meraih porsi besar di kursi kabinet, aksi yang dilakukan adalah menetapkan gaji, uang sidang, uang aspirasi dan berbagai tunjangan untuk dirinya, program utama pemerintahannya adalah swastanisasi sektor-sektor strategis yang menjadi hajat hidup rakyat banyak, menjual peluang eksploitasi SDA kepada pemodal asing. Mereka meraih keuntungan pribadi dan kelompok politiknya dari meloloskan regulasi untuk para investor asing ber-kapital besar, sedang rakyat kecil yang dijadikan tangga naik dalam meraih kekuasaan, jangka pendeknya tetap mendapat bagian kemiskinan dan beban hidup yang semakin berat, sedang jangka panjang, habisnya cadangan kekayaan SDA ditangan ‘asing’ para pemegang lisensi eksploitasi tersebut.
411, 212 dan 412 Penyibak Tabir
Momentum besar dan penting di dalam kehidupan, baik pada skala pribadi maupun sosial, dapat juga menjadi penyingkap tabir ; keyakinan, ideologi anutan, niat, tujuan politik, maupun motif-motif lain yang beragam. Situasi kritis menjadi saat yang tepat untuk mengamati jati diri seseorang atau sekelompok orang, kepada siapa orientasi isme dan afiliasi politik diberikan.
BACA JUGA: Tanda Dekat Hari Kiamat
Aksi damai 411 menjadi parameter loyalitas umat Islam kepada perkara-perkara yang disakralkan dalam keyakinannya, tumbuhnya mainstream baru dengan komitment keimanan yang ‘hangat’ mengaliri syaraf-syaraf kesadaran beragama, tulus dan bersih tidak dicampuri motif-motif politik, gelora semangat yang mampu mengatasi penghalang dan rintangan yang menghadang, ketaatan kepada arahan para ‘ulama (yang juga bukan dari lingkungan mainstream) yang layak menjadi teladan. Moment berikutnya pada 212 bahkan lebih spektakuler, jumlah massa jauh lebih besar, kualitas ketertibannya pun melampaui kualitas sebelumnya. Tidak dapat diabaikan pula dukungan dari simpatisan di media sosial yang massif memberitakan setiap sudut kejadian, juga dukungan dari ‘silent mayority’ yang tidak hadir di lokasi.
Sebaliknya, demo tandingan pada 412, dua hari setelah unjuk rasa spektakuler tersebut, benar-benar merupakan antithesa sekaligus anti-klimaks, seluruh sisinya ; jumlah, latar belakang motif politik dibalik klaim tujuan yang di-publish, pemanfaatan CFD untuk sesuatu yang berbeda dari kesepakatan (seharusnya CFD bebas dari aktivitas politik), kerusakan tempat acara, puting beliung di akhir aksi, hingga baku pukul sesama penggerak aksi setelah selesai acara yang berujung laporan kepada polisi.
Ada pemimpin ormas Islam mainstream yang melarang anggotanya ikut turun dalam aksi 411 dan 212 yang ber-nuansa pembelaan aqidah tersebut, ada yang membolehkan ikut tetapi melarang atribut digunakan, ada juga tokoh yang menyindir munculnya gerakan ‘mainstream baru’ tersebut sebagai menghabiskan energi untuk mengurusi satu orang, dll.
Moment tersebut juga mengundang ‘turun gunung’-nya pentolan JIL Gunawan Muhamad, pendiri majalah Tempo, penggagas komunitas Utan Kayu, melalui akun Twitter @gm_gm, dia menulis, “Presiden kita; berjalan dalam hujan, membawa payung sendiri, diantara orang-orang yang membencinya dan pernah memfitnahnya”. Melalui cuitan tersebut, tokoh yang pernah mendapat penghargaan ‘Dan David Prize’ dari Israel pada tahun 2006 tersebut, seakan memperbaharui ‘kesetiaan’-nya kepada ideologi anutannya dan para tuan yang mempromotori-nya.
Pada tataran in depth (lebih dalam) sebagai contoh, terlihat dari dalam tubuh ormas Islam mainstream ; Kyai Musthafa Bisyri dari ponpes Roudhotuth-Tholibiin Rembang dan KH. Sa’id Aqil Siradj ketua PBNU yang mengatakan tidak sah-nya sholat Jumu’ah di jalan raya dan dikategorikan bid’ah besar, terbaca dengan jelas berbeda sikap dengan para tokoh intern NU yang lain seperti KH Hasyim Muzadi, KH. Ma’ruf Amin (ketua majelis Syuri’ah NU aktif) atau Dr.KH. Musta’in Syafi’i (ponpes Tebu Ireng Jombang). Hal itu, sekalipun dengan mudah dapat ditutupi dengan kalimat “ikhtilafu ummatiy rahmatun” (perbedaan di kalangan umatku merupakan rahmat), akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran dan keberpihakan para tokoh tersebut terbelah (oleh ‘ujian’) dalam menyikapi kejadian penistaan Al-Qur’an tersebut.
Penyikapan terhadap kasus penistaan Al-Qur’an juga menjadi penyibak tabir, siapa yang teguh memegang janji dan siapa yang suka menyelisihi. Izin pengerahan massa, sempat mengalami tarik ulur antara umat Islam dengan institusi kepolisian, izin baru diberikan setelah negosiasi yang alot, terutama pada 212. Padahal dalam alam demokrasi yang di-klaim sebagai ideologi yang dianut pemerintah, demonstrasi merupakan hak sah yang dilindungi undang-undang, tidak ada batasan seberapa sering dan seberapa massif-nya. Juga, tekanan psikhologis dicabutnya ijin trayek bagi perusahaan transportasi jika mereka mengangkut para peserta unjuk rasa. Dan ketika telah ada tele-konferensi dari Kapolri kepada seluruh Polda pun, ternyata di lapangan ancaman itu tidak sepenuhnya hilang, kasus pembatalan dari perusahaan angkutan untuk mengangkut peserta unjuk rasa dari Lampung merupakan contoh nyata. Tidak hanya itu, hingga tulisan ini dibuat, masih ada spanduk penggembos terpampang di sebuah pos polisi, “Dari pada uang buat demo ke Jakarta, lebih baik untuk wisata bersama keluarga”.
Wahai para pemimpin umat Islam, para ulama’, juga penyelenggara pemerintahan,…umat sudah mulai cerdas dan berani, tidak mudah dibodohi lagi, telah mulai tumbuh umat yang berkesadaran, jika Anda mengelola amanah kepemimpinan dan pemerintahan dengan pola lama yang telah kehilangan kepekaan (bahkan terhadap perkara-perkara yang prinsip),… ingatlah, sikap dan tindakan Anda akan diawasi dan dicatat oleh umat, cepat atau lambat Anda akan ditinggalkan. Di atas semua itu, malaikat pencatat tidak pernah lalai.
Pingback: Rahib Yahudi dan Nashrani Menjual Agama Untuk Mengais Dunia