Penyematan Gelar ‘Almarhum’
Seperti yang sudah lazim kita dengar, ketika seseorang meninggal dunia, disematkan padanya satu gelar kehormatan, yakni, “almarhum”, yang berarti “orang yang dirahmati”. Bahkan, penyematan itu seolah berlaku umum, orang yang taat maupun ahli maksiat, muslim maupun kafir.
Padahal, penyematan gelar ’almarhum’ terhadap orang yang kita anggap baik dan taat kepada Allah pun masih perlu dikritisi. Kita memang berharap, orang yang dekat dengan kita, atau saudara muslim kita yang meninggal dunia memperoleh rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi, kita juga tidak tahu pasti, ketetapan Allah yang berlaku atas orang yang kita maksud. Sedangkan kata almarhum, berarti pengukuhan dan kepastian bahwa Allah telah merahmati orang yang telah mati.
Pernah terjadi, Ummul ’Ala’ berkata tentang Utsman bin Mazh’un, usai beliau dikafani dan dishalatkan di hari wafatnya, ”Rahmat Allah tercurah atasmu wahai Abu Sa’ib, aku bersaksi untukmu, bahwa Allah telah memuliakan dirimu.” Hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, lalu beliau menegur dengan sabdanya,
وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ
“Apakah kamu tahu bahwa Allah benar-benar memuliakan dirinya?”
Beliau juga bersabda,
أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ
“Adapun dia, sungguh ajal telah mendatanginya, dan demi Allah aku berharap kebaikan untuknya.” (HR Bukhari)
Begitulah Nabi SAW mengajarkan, mengharapkan kebaikan seorang muslim setelah wafatnya, namun juga mengingatkan agar kita tidak memastikan seseorang telah diberi rahmat oleh Allah, atau memastikan si fulan masuk jannah, kecuali yang telah disebutkan secara definitif di dalam dalil-dalil yang shahih.
Ini berbeda dengan ungkapan yang dipakai ulama untuk mendoakan para pendahulunya yang shalih dengan kalimat ‘rahimahullah’. Tidak masalah menggunakan kalimat ini, karena ungkapan ini mengandung pengertian doa, “Semoga Allah merahmatinya,” berbeda dengan ungkapan almarhum yang mengandung pengukuhan. Syaikh Bin Baaz pernah ditanya tentang gelar al-marhum atau al-maghfur bagi orang yang meninggal, beliau menjawab, “yang disyariatkan dalam hal ini hendaknya menggunakan ungkapan ‘ghafarallahu lahu’ (semoga Allah memberikan ampunan untuknya), atau rahimahullah (semoga Allah merahmatinya), atau doa yang semisalnya jika memang si mayit itu adalah muslim. Tidak boleh (memberi gelar) dengan kata-kata ‘almaghfur’ atau ‘almarhum’, karena kita tidak diperbolehkan memberikan kesaksian secara person bahwa ia masuk jannah atau neraka dan semisalnya, kecuali bagi yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an al-Kariem, atau oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. (Majmu’ Fatawa, Syeikh Ibnu Baaz)
Meski di antara ulama ada yang membolehkan ungkapan almarhum diperbolehkan asalkan dimaksudkan sebagai doa, namun ungkapan rahimahullah lebih selamat. Dan yang lebih bagus lagi, apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, “inni laarju lahul khaira”, saya berharap kebaikan untuknya. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)