Pengaruh Islam Pada Zaman Perdagangan Jawa
Aktivitas perdagangan di Nusantara mempunyai sejarah yang cukup lama. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban di Nusantara juga telah muncul sejak lama. Kapan pertama kali hubungan dagang antara orang Nusantara dengan orang di dunia luar secara pasti memang tidak diketahui. Yang jelas, sejak sebelum Masehi, orang Nusantara telah melakukan pelayaran ke barat hingga Afrika dan ke timur hingga Cina untuk berdagang. Letak Nusantara yang berada di jalur kuno pelayaran dari Arab ke Cina membuat negeri ini ramai dikunjungi dan disinggahi berbagai bangsa.
Pengaruh Islam terhadap Ramainya Lalu Lintas Perdagangan
Di antara bangsa yang berhubungan cukup intens dengan orang Nusantara adalah bangsa Arab. Pada awal abad 1 M, mereka membangun pemukiman di pantai barat Sumatra antara Padang dan Bengkulu. Kedatangan Islam (622 M) selanjutnya mendorong orang Arab semakin sering melakukan petualangan. Mereka tergerak untuk menyebarkan kepercayaan baru sambil melakukan aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, hubungan dagang antara Arab dan Nusantara semakin intens.
Perdagangan kemudian menjadi jalan perintis bagi penyebaran Islam. Munculnya dua dinasti yang kuat, Khilafah Umayyah di barat (660-749 M) dan Dinasti Tang di timur (618-907 M), juga mendorong perdagangan laut antara wilayah barat dan timur Asia. Hal ini memberi peluang bagi perdagangan orang Arab untuk tumbuh dengan kuat. (Muhammad Redzuan Othman, “Islam and Cultural Heritage From Trade Relations Between The Middle East and The Malay World” dalam Journal of Islam and International Affair, hlm. 112-113)
Baca Juga: Dinamika Dakwah Islam di Kesultanan Banjarmasin
Bersama orang Afrika, Persia, India dan Cina, orang Arab mendominasi perdagangan di Samudra Hindia. Mereka saling berpartisipasi dalam perdagangan sesuai kemampuan dan kebutuhannya serta tidak menghalangi jalan bagi lainnya. Periode antara 41 H/661 M hingga 904 H/1498 tercatat sebagai periode dominasi Islam di wilayah tersebut. (Syauqi Abdul Qawi ‘Utsman, Tijârah Al-Muhîth Al-Hindî fî ‘Ashr As-Siyâdah Al-Islâmiyyah: 41-904 H/661-1498 M, hlm. 7 dan 35)
Dominasi Pedagang Jawa di Nusantara
Selain para pedagang asing, pedagang Melayu dan Jawa turut aktif meramaikan arus perdagangan di jalur Samudra Hindia. Orang Melayu dan Jawa menjadi pedagang perantara yang mendistribusikan komoditas di kepulauan Nusantara. Kedua suku bangsa ini bahkan sering terlibat persaingan dalam menguasai pasar.
Pada periode abad ke-12 hingga abad ke-15 menunjukkan bahwa perniagaan laut Jawa mengalami kemajuan besar. Bernard Vlekke berpendapat bahwa dalam masa ini perdagangan tadi berkembang secara cepat. Dalam abad ke-12 keadaan kerajaan Sriwijaya sangat maju. Perkebunan-perkebunan lada meluas dari Sumatera Selatan dan Banten. Menurut Vlekke, kemajuan perniagaan dalam abad ke-12 tadi besar pengaruhnya terhadap perkembangan kerajaan Kadiri menjadi negara laut yang utama. Kadiri kemudian berhasil tampil menggeser dominasi Sriwijaya yang menguasai wilayah barat Nusantara. Dalam waktu lima puluh tahun, daerah di bagian timur kepulauan Nusantara ditaklukkan oleh kerajaan Kadiri.
Sejak paruh kedua abad ke-12, sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa Jawa lebih makmur secara perniagaan daripada Sriwijaya. Menurut sumber itu, negeri-negeri di luar Cina yang paling kaya berturut-turut adalah negeri Arab, Jawa, dan Sumatera. Jadi, rupanya kerajaan Kadiri (atau Daha: 1050-1222) pada waktu itu telah mengalahkan kebesaran Sriwijaya. (H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, 25 dan 29)
Baca Juga: Kedatangan Si Perusak Kedamaian; Portugis
Pada periode itu, Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Malaka dan Tumasik (Singapura) memang mampu membangun imperium perdagangan yang menguasai Nusantara. Akan tetapi, Jawa punya keunggulan penyeimbang karena posisinya di tengah dan tanah vulkaniknya subur. Jawa mampu bukan hanya menyokong populasi yang padat, tapi juga memberi makan Kepulauan Rempah-Rempah (Maluku) dan wilayah-wilayah lain yang tidak punya beras. Jadi, Jawa yang menyandarkan kekuatannya pada pertanian selalu menjadi pesaing imperium komersial yang menguasai Selat Malaka. Tambahan pula, keunggulan Jawa bukan hanya pada pertanian. Ia terletak di jalur antara Kepualauan Rempah-Rempah dan Selat Malaka. Ia selalu menyediakan tempat peristirahatan bagi pedagang-pedagang antara Timur dan Barat, dan dengan demikian sebagian kekuatannya juga bersandar pada perdagangan. (J. S. Furnivall, Hindia Belanda; Studi Tentang Ekonomi Majemuk, hlm. 3)
Sebelum orang Jawa mulai mengunjungi pasar Malaka secara rutin, lalu lintas perdagangan yang ramai terjadi antara pelabuhan Jawa dan pelabuhan Sumatera bagian utara yang menjual lada dari Pasai. Sejak munculnya pelabuhan kecil ini, orang Jawa menjual beras dan rempah-rempah di sana dan membawa kembali muatan berupa lada. Para pedagang Jawa menikmati posisi yang sangat diuntungkan di Pelabuhan Pasai dan dikecualikan dari pajak impor dan ekspor. Mereka juga bisa mendapatkan muatan kembali yang bagus dan menguntungkan. Walaupun penguasa Pasai adalah seorang Muslim, hubungan vasal terus diperkuat. Hubungan ini diawali oleh sebuah perjanjian persahabatan yang tegas dengan kerajaan Hindu Jawa yang menjamin suplai rempah-rempah ke Pasai serta menyediakan pasar untuk ladanya. Hubungan vasal kemungkinan berawal dari masa kampanye Majapahit di Sumatera.
Sejak munculnya Malaka sebagai kota dagang, junk-junk Jawa sudah mulai mengatur haluan ke Malaka, bukan ke Pasai. Dalam segi apa pun, Pelabuhan Malaka lebih strategis dan aman daripada kondisi Pasai. Mungkin juga, Malaka sudah memiliki populasi yang lebih besar daripada Pasai. Artinya, Malaka adalah sebuah pasar yang lebih baik bagi beras Jawa. Di kalangan para pedagang yang menetap di Malaka, para pedagang skala besar adalah orang Keling dan Jawa.
Aktivitas perniagaan Malaka menyebabkan agama Islam tersebar ke wilayah yang lebih luas. Dalam hubungan ini, sepertinya perdagangan menjadi faktor yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sebagai contoh, Malaka memainkan peran penting dalam konversi Kepulauan Rempah melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Jawa, yang mereka sendiri memeluk Islam akibat pengaruh Malaka. Sebagian juga bertanggung jawab terhadap perubahan keyakinan ini. (M.A.P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara; Sejarah Perniagaan 1500-1630, hlm. 30-36) Wallâhu a‘lam.
Pingback: Majalah Islam Arrisalah|Majalah Muslim Arrisalah
Pingback: MAJALAH_HUJJAH