Pendekar Salah Senjata
Serupa ujian, kehidupan ini menghadirkan begitu banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Dan bagaimana kita akhirnya menyelesaikan kesemuanya, itulah nilai kelulusan kita yang hakiki. Atau kelas mana yang layak untuk kita tempati. Sedang waktu yang tidak mungkin lagi kembali, mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati. Sebab tidak ada ujian susulan, sebab tidak ada pengulangan.
Pada galibnya, materi-materi ujian kehidupan bisa diselesaikan jika kita mengetahui jawabannya. Selain karena mayoritas dari materi ujian itu merupakan pengulangan sebab telah banyak manusia lain sebelum kita yang menghadapinya, lengkap dengan kisah tentang kegagalan dan kesuksesan mereka, juga karena kualitas dan kerumitan soal-soal pada setiap diri kita berbeda sesuai ‘kelas’ kita masing-masing. Bukankah Allah tidak memberikan sesuatu ‘beban’ di luar kesanggupan kita?
Maka belajar agama Allah adalah kisah sekolah untuk menemukan berbagai jawaban atas semua permasalahan kehidupan kita. Bukan sekadar seremonial buka tutup kitab dan kegagahan atas sejumlah hafalan, namun gagal mengerjakan ujian. Tak patut rasanya jika yang kita lakukan hanyalah memamerkan kartu kepesertaan, no ujian, tempat duduk, atau bahkan uniform yang licin terseterika, jika akhirnya kita tinggal kelas, atau malah pindah sekolah.
Berjenggot, tidak isbal, jejak sujud di kening, baju koko, rentetan idiom islami yang meluncur dari lisan, hafalan ayat, hadits dan atsar, atau yang semisal bagi para muslimah kita adalah identitas sekolah keislaman kita. Ia hanya akan menjadi rekam jejak pencarian dan bukan penyelesaian jika tidak membuahkan amal shalih. Hanya romantisme masa-masa sekolah yang selalu gelisah saat musim ujian tiba.
Keikhlasan, ketawadhu’an, kelapangan dada, dan keistiqamahan dalam menjalani semua peran, lengkap dengan fluktuasinya, atau bahkan perubahannya adalah hal-hal yang kita inginkan terjadi. Juga kemampuan kita melakukan padu padan dan menjaga keseimbangan atas berbagai sisi kemanusiaan. Sebab kita harus menikmati semua proses ini agar terasa ringan dan tidak memberatkan. Dan bahwa semua proses yang berjalan setiap hari ini adalah hidup itu sendiri. Hingga saatnya tiba.
Maka jika identitas sekolah keislaman kita hanya melahirkan caci maki, keluhan yang nyaris tiada henti, pelanggaran aturan syar’i, wajah murung yang gundah, tidak amanah, atau hidup kehilangan arah –mencari ridha Allah-, apalagi yang bisa kita banggakan? Apa artinya semua atribut itu jika hanya menjadi jejak-jejak samar yang kehilangan kedigdayaannya saat berbagai ujian kehidupan datang mendera. Kita hanyalah para pendekar yang salah senjata karena tidak mampu menghadapi berbagai masalah.
Kecuali memang hanya itu yang kita inginkan. Tapi untuk apa?(trias)