Nikah di Bulan ‘Sura’ Bakal Celaka?
Pada bulan Muharram atau yang akrab ditelinga masyarakat Indonesia terutama Jawa dengan sebutan Sura kali ini, banyak sekali mitos-mitos yang masih menjadi keyakinan dan masih mereka pegang erat-erat. Sehingga banyak dari mereka yang takut untuk melakukan kegiatan semisal; bepergian ke tempat jauh, mengadakan pesta pernikahan, membangun rumah dan semisalnya.
Tidak ada alasan ilmiyah mengapa sedemikian diyakini dan dipegang erat-erat mitos-mitos tersebut kecuali karena doktrin turun-temurun dari nenek-moyang dan para pendahulu mereka. Ada yang menyangkakan bahwa Sura adalah bulannya Nyi Roro Kidul, jadi kalau ada yang nekat mengganggu urusannya, ia akan marah dan mengganggu siapa yang mengusiknya. Adapula yang menyangka bila Sura adalah bulannya para raja Jawa terdahulu sehingga tidak sopan melakukan ritual di bulan ini.
Baca Juga: Melangkahi Kakak Menikah
Salah satu ritual yang dihindari di masyarakat pada bulan ini adalah mengadakan pesta pernikahan. Pernikahan adalah prosesi sakral yang istimewa dan bernilai ibadah. Namun ada saja yang terlalu ekstrim menyakralkan hal tersebut. Imbasnya ketika menentukan pasangan nikah dan hari pernikahan didasarkan pada primbon keyakinan yang diakui masyarakat, seperti; bila menikah di bulan Sura akan mendatangkan musibah dan pasangan suami-istri tak akan bertahan lama, bila dia tinggal di sebelah timur, maka menurut primbon dia tidak baik menikah dengan yang tinggal diarah barat atau semisalnya. Yang semua keyakinan tersebut tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Muharram (Sura) adalah salah satu bulan mulia dalam Islam. Allah memuliakan amalan dan melipat gandakan pahala sebuah amalan seringkalinya karena ikatan waktu dan tempat pelaksanaan. Misalnya; ibadah di bulan Ramadhan pahalanya berlipat ganda, karena waktu bulan tersebut adalah bulan yang mulia. Misal lainnya, orang yang berdoa di Masjidil Haram dan shalat disana tentunya pahala dan kemuliaannya berbeda dari masjid pada umumnya, karena tempatnya bernilai mulia. Begitu juga melakukan kebaikan di bulan Muharram tentunya akan bernilai keutamaan yang lebih daripada bulan-bulan lainnya, karena kemuliaan waktu yang ada padanya. Maka, tidak elok rasanya bila bulan mulia ini justru dijadikan bulan yang menakutkan sebagaimana keyakinan masyarakat pada umumnya.
Berhubungan dengan hukum nikah di bulan Muharram, tidak ada dalil yang melarangnya dan tidak ada satupun ulama yang melarangnya berdasarkan qiyas maupun ijma’. Oleh karenanya kembali kepada hukum asal semua perbuatan, yaitu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan perbuatan tersebut. Sebagaimana kaidahnya berbunyi:
أن الأصل في العادات والأفعال الإباحة ، ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari kebiasaan dan perbuatan adalah mubah (boleh), selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”
Ali Menikahi Fathimah di Awal Bulan Muharram
Bila ada sebagian orang yang masih mempercayai mitos, ada baiknya kita mencontoh Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib.
Ali radhiyallahu ‘anhu menikahi ibunda Fathimah pada tahun ketiga setelah peristiwa hijrah. Adapun ia menikahinya pada awal-awal hari di bulan pertama tahun Hijriyah, yang bermakna bulan tersebut adalah bulan Muharram. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab ‘Al-Bidayah wan Nihayah: 3/419.
Baca Juga: Antara Adat Sura dan Keutamaan Asyura
Ali radhiyallahu ‘anhu dan sayidah Fathimah menjadi pasangan yang romantis dan bahagia hingga ajal menjemput mereka berdua, dan mereka tidak terkena sedikitpun musibah karena menikah pada bulan Sura.
Jadi tidak ada hubungan antara menikah di bulan Muharram (Sura) dengan mitos yang mengatakan bahwa akan mendatangkan musibah, bala dan kerusakan. Semua hal tersebut adalah keyakinan bathil yang harus kita jauhi. Wallahu a’lam. (Nurdin/Terkini/Syubhat)
Tema Terkait: Terkini, Syubhat, Pernikahan