Nihilnya Moralitas Pemalsuan Vaksin
Di penghujung Ramadhan 1437 H publik digemparkan terbongkarnya jaringan pembuat dan pengedar vaksin palsu. Jaringan kejahatan ini berdasarkan informasi hasil penyidikan telah aktif melakukan aksi kriminalnya sejak tahun 2003. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, DR.dr Aman Bhakti Pulungan Sp.A(K) berkata bahwa beberapa produk yang dipalsukan sempat langka di pasaran, yakni Tuberkulin, Pediacel, Tripacel, Havrix dan Biocef. [Beritagar.id. Senin 27 Juni 2016]. Semua produk yang mereka buat menurut keterangan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Agung Setya, berbahan dasar obat anti tetanus dioplos dengan cairan infus. [Tribun Manado, Senin 27 Juni 2016].
Tersangka kejahatan kemanusiaan ini mengemas vaksin abal-abal produksi mereka dengan botol vaksin bekas yang didapat dari 4 (empat) rumah sakit dan klinik yang ada di Jakarta. Dari pengembangan 3 tersangka baru yang diambil, didapat informasi bahwa botol-botol mungil bekas vaksin itu satu biji dihargai sampai Rp. 15.000 [batampos, Minggu 26 Juni 2016].
Mengenai kehidupan keseharian tersangka pemalsu vaksin, salah satu portal berita menurunkan tulisan berjudul “Pasutri Pemalsu Vaksin di Bekasi Dikenal Rajin Ibadah” [Berita Satu, Senin 27 Juni 2016]. Gambar yang beredar di media pasangan tersangka pemalsu vaksin bayi berphoto di depan rumah mewahnya, disamping mobil sport Pajero berwarna putih.
Kejahatan Kemanusiaan
Ada sesuatu yang mengusik nuriani, sekelompok orang, sebagian dari mereka berpendidikan profesi yang berhubungan dengan dunia medis, hidup dan bergelimang kemewahan di atas derita sesama, membahayakan hidup dan merusak masa depan generasi yang baru lahir dengan penipuan dan obyek yang ditipu harus membayar dengan harga tinggi ketertipuannya. Mereka menikmati taraf hidup di atas rata-rata dari hasil penipuan itu. Tidak berhenti disitu, mereka juga melengkapi tampilan dengan sombol-simbol kemewahan seperti mobil mewah dan rumah bernilai milyaran di perumahan bergengsi.
Jika memasang tarif tinggi untuk ‘ganti harga kesehatan’ (berobat) saja dipandang kurang patut, sindikat vaksin palsu ini disinyalir telah menyebabkan banyak balita tidak terlindungi kesehatannya, bahkan mengalami kematian, selama rentang waktu 13 tahun mereka beroperasi. Dari pengembangan 3 tersangka baru yang diambil, indikasi bahwa mereka secara sadar membantu kejahatan itu dapat dibaca, botol-botol mungil bekas vaksin itu satu biji dihargai sampai Rp. 15.000, jauh melampaui nilai intrinsik sebagai barang bekas. Hal itu sebenarnya telah memberi indikasi bahwa pembeliannya dalam jumlah besar tentu memiliki maksud yang tidak wajar. Pihak yang menjual ‘sampah medis’ pun sebenarnya pasti sudah memiliki kecurigaan dengan pembelian barang tersebut secara rutin dan dengan harga yang begitu tinggi, kecuali kepekaannya telah ditumpulkan oleh ketamakannya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mudah dan cepat.
Kekacauan Tashowwur atau Kerusakan Orientasi Hidup
Tampilan status tersangka di media sosial, sekilas mengesankan sebagai pasangan keluarga muda muslim yang berhasil. Dari kerudung yang dikenakan oleh sang wanita, meski bukan kerudung dan jubah besar yang mengindikasikan tampilan khas aktivis muslim, orang yang melihat akan menangkap kesan sebagai keluarga muslim yang taat beragama. Begitu pula sang lelaki, meski hanya mengenakan kaos santai, setidaknya memelihara kumis tipis dan sedikit janggut.
Sulit untuk mengatakan bahwa tindakan kejahatan kemanusiaan yang disangkakan kepadanya sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa kesadaran, mengingat latar belakang mereka yang cukup terpelajar dengan background pendidikan berhubungan dengan medis, mustahil mereka tidak mengetahui etika penggunaan obat, apalagi mem-produksi. Selain itu perbuatan tersebut telah dilakukan dalam rentang waktu yang panjang. Sehingga tudingan bahwa ibadahnya tak lebih dari ‘kedok’ cukup beralasan.
Kemungkinan kedua lebih menyedihkan. Tersangka merupakan sosok muslim-muslimah dengan kerusakan pemahaman, memisahkan kehidupan agamanya dengan kehidupan dunia dimana mereka mencari pencaharian. Kita menyadari, ada saja orang muslim yang menganggap bahwa apa yang dikerjakan untuk kehidupan dunianya tidak berhubungan dan tidak mempengaruhi hubungan vertikalnya dengan tuhan. Bukankah cukup banyak pejabat dan birokrat muslim yang korupsi, ada pula yang menjadi mucikari, ada yang hidup dalam gelimang riba dan sektor-sektor penghasil nafkah haram yang lain, tanpa merasa terganggu ibadahnya kepada Allah? Bahkan ada yang mempunyai persangkaan bahwa rizki haram yang didapatkan itu dapat ‘diputihkan’ dengan zakat, sedekah atu wakaf.
Madzab sekularistik rusak itu menyangka, toh amal baik dan amal buruk itu akan ditimbang, asalkan timbangan amal baik lebih berat maka orang tetap akan masuk surga. Madzab ini tidak mampu memahami bahwa keharaman barang, atau harga dari suatu benda tidak dapat ‘diputihkan’ sekalipun dengan niat untuk sedekah, zakat atau wakaf. Bahkan, amal ibadah yang dilakukan oleh jasad yang diberi asupan dari barang yang haram, tidak akan diterima, “lan yadkhula al-jannata lahmun nabata min sukhtin” (tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dengan asupan haram). Apa yang dipersepsi sebagai ‘amalan baik’ yang diharapkan ketika ditimbang akan lebih berat dibanding ‘amal buruk’ adalah persepsi yang salah. Sesuatu yang dipersepsi sebagai amal buruk, memang buruk, sedang apa yang dipersepsi dan (disangka) sebagai amal baik, belum tentu amal baik menurut Allah.
Jika tidak juga seperti itu, maka kemungkinan yang lain adalah bobroknya orientasi hidup seperti sabda Nabi shallalLahu ‘alayhi wa sallam dari Anas bin Malik:
حُبُّ الدنيا رأسُ كلِّ خَطِيئَة، وحبُّكَ الشيءَ يُعمي أو يُصِمُّ»
“Cinta dunia adalah sumber perbuatan dosa (kesalahan), dan kecintaanmu kepada sesuatu membuatmu buta atau tuli” [Jami’ al-Ushul fie Ahadits ar-Rasul, Ibnu Atsir].
Ya, kecintaan dan bernikmat-nikmat selama lebih dari satu dekade dengan rizki haram telah membuat etika dan moralitas buta atau tuli. Buta melihat derita pembunuhan atau tuli dari mendengar tangis akibat efek negatif obat dengan kandungan yang tidak sesuai dengan keperluan dan tidak steril. Buta dari melihat terbunuhnya bayi dan anak-anak akibat tidak dimilikinya kekebalan terhadap endemi suatu penyakit tertentu yang menjadi tujuan dari vaksinasi sesuai dengan studi empirik. Buta dari pembunuhan atau tuli dari rintihan hanya karena eksekusi yang dilakukan tidak seperti drone yang dikirim AS atau sembelihan yang dilakukan ISIS. Wa al-‘iyaadzu bilLaah.
Pingback: Doa di Sidang Paripurna Suatu Anakronisme - arrisalah
Pingback: "Lame Duck" Lumpuhnya Institusi Pendidikan dalam Mengawal Moral Agama - arrisalah