Muslim Terpidana Mati
وَلَا نَرَى الْقَتْلَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ
(78) Kami tidak berpandangan: boleh membunuh salah seorang dari umat Muhammad saw, kecuali terhadap orang yang wajib dibunuh.
Pada asalnya, darah seseorang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat haramditumpahkan. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim haram untuk ditumpahkan, dirampas, dan dinodai atau dilecehkan. Rasulullah saw bersabda,
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukannya, darah dan harta mereka pun terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam. Hisab (batin) mereka menjadi urusan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda,
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan sesama kalian adalah haram (ditumpahkan, dirampas, dan dinodai) seharam hari kalian ini (hari ‘Arafah), di bulan kalian ini (Dzulhijjah), di negeri kalian ini (Mekah)…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Allah pun sudah berfiman,
“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa`:93)
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”. (QS. Al-An’am:151)
Beberapa hadits dan ayat di atas secara tegas menyebut bahwa penumpahan darah seorang muslim adalah sesuatu yang diharamkan. Bahkan dalam suatu kesempatan Rasulullah saw bersabda,
لَزَوَالُالدُّنْيَاأَهْوَنُعِنْدَاللهِمِنْقَتْلِرَجُلٍمُسْلِمٍ
“Luluh-lantaknya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. an-Nasa`i dan at-Tirmidzi, shahih)
Tiga Penghalal
Namun, ada tiga perbuatan yang apabila seorang muslim melakukannya, darahnya tak lagi terlindungi. Rasulullah saw bersabda,
لَايَحِلُّدَمُامْرِئٍمُسْلِمٍيَشْهَدُأَنْلَاإِلَهإِلَّااللهوَأَنِّيرَسُولُالله،إِلَّابإحدىثَلَاثٍ : الثَّيِّبُالزَّانِي،وَالنَّفْسُبِالنَّفْسِ،وَالتَّارِكُلِدِينِهالْمُفَارِقُلِلْجَمَاعَة
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena tiga perkara: sudah menikah lalu berzina, membunuh sesama (muslim), dan meninggalkan agama—memisahkan diri dari al-Jamaah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw pernah merajam sampai mati Ma’iz, sahabat yang berzina dan seorang perempuan dari suku Ghamidi.
Mengenai tetapnya hukum rajam ini, para ulama telah berijmak atasnya. Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Barang siapa tidak mempercayai hukum rajam, dia kafir terhadap Al-Qur`an tanpa dia sadari.”
Tentang wajibnya memberlakukan qishash: pembunuhan dibalas dengan pembunuhan pun para ulama telah berijmak atasnya. Jika seorang muslim mukallaf membunuh muslim lainnya dengan sengaja dan tanpa alasan yang benar, ia wajib dibunuh karenanya.
Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman!Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. “(QS. al-Baqarah:178)
Orang yang meninggalkan Islam atau murtad juga dibunuh. Selain hadits di atas, Rasulullah saw bersabda,
“Barang siapa mengganti agamanya (murtad dari Islam), bunuhlah dia” (HR. al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud , at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Termasuk perbuatan meninggalkan Islam: apabila seseorang menolak salah satu rukun Islam, rukun iman, atau salah satu dari kewajiban Islam. Juga, meninggalkan shalat, menurut kebanyakan ulama.
Dus, ulama sepakat: berzina setelah menikah, membunuh muslim lain, dan murtad adalah perbuatan yang menjadikan darah seorang muslim halal: boleh ditumpahkan. Hanya, pemberlakuannya mesti dibawah kontrol penguasa muslim agar tidak terjadi kekacauan.
Penghalal yang Diperselisihkan
Selain tiga perbuatan di atas, ada beberapa perbuatan lain yang membuat seorang muslim halal darahnya. Perbuatan-perbuatan itu adalah:
a. Meninggalkan shalat. Menurut madzhab Syafi’i, orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak dihukumi keluar dari Islam (menurut madzhab yang lain, dihukumi keluar dari Islam). Namun, hukumanhad-nya dibunuh .
b. Liwath, yaitu laki-laki menggauli laki-laki lain pada duburnya. Rasulullah saw bersabda, “Apabila kalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ibnul-Jarud, dan al-Hakim)
c. Menikahi mahram. Sejumlah ulama memfatwakan: laki-laki yang menikahi mahramnya wajib dibunuh. Sebab, dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa`i dari Bara` bin ‘Azib disebutkan bahwa Nabi telah membunuh seorang laki-laki yang menikahi bekas istri ayahnya.
d. Sihir. Ini berdasarkan sabda Nabi saw, “Hadbagi tukang sihir adalah pukulan dengan pedang (dibunuh).” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim, dan ad-Daruquthni)
Para ulama yang memfatwakan hukuman mati bagi penyihir di antaranya: ‘Umar bin ‘Abdul’aziz, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih. Mereka menyatakan, “Penyihir menjadi kafir karena perbuatannya; hukumnya pun sama dengan hukum orang yang murtad.”
e. Menggauli binatang. Sejumlah ulama memfatwakan hukuman mati bagi orang yang menggauli binatang berdasarkan sabda Nabi saw, “Barangsiapa menggauli binatang, bunuhlah ia dan binatang yang digaulinya itu.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Bayhaqi, dan al-Hakim)
f. Mencandu arak setelah dicambuk tiga kali. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah memerintahkan untuk membunuh pencandu khamr/arak. Hanya, kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukum ini sudah mansukh (dihapus). Di antara para ulama yang menyatakan bahwa hukum ini tidak mansukh mengatakan, “Hukuman bunuh ini termasuk ta’zir, sehingga urusannya diserahkan kepada ulil amri (penguasa muslim).”
g. Meminta baiat dari kaum muslimin untuk diangkat sebagai amirul mukminin, padahal mereka sudah membaiat orang lain. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw, “Apabila dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah khalifah yang kedua.” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa datang kepada kalian, sedang ketika itu urusan kalian ada pada satu orang, kemudian ia ingin membelah tongkat kalian atau memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah ia.”
h. Memata-matai kaum muslimin untuk kepentingan orang kafir. Sebagian ulama madzhab Maliki membolehkan membunuh seorang muslim yang memata-matai kaum musliminuntuk kepentingan orang kafir. Mereka berhujjah dengan hadits tentang Hathib bin Abu Balta’ah yang menulis surat untuk penduduk Mekah. Dalam suratnya, Hathib bin Abu Balta’ah memberitahukan kepada penduduk Mekah tentang kesiapan keberangkatan Rasulullah ke Mekah dan menyuruh mereka siap siaga. Oleh karena itu ‘Umar bin Kahthab meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh Hathib. Namun, Nabi bersabda, “Sesungguhnya ia mengikuti perang Badar”.
Dalam hadits di atas Nabi tidak bersabda, “Hathib bin Abi Balta’ah tidak patut dibunuh karena perbuatannya,” namun beliau menyatakan bahwa alasan yang membuatnya tidak boleh dibunuh adalah keikutsertaannya pada perang Badar dan ampunan Allah ta’ala bagi seluruh sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Alasan ini hanya ada pada Hathib bin Abi Balta’ah, tidak pada yang lain.
i. Menghina Nabi. Para ulama berijmak mengenai wajib dibunuhnya orang yang menghina atau mencela Nabi. Untuk menjelaskan hal ini secara gamblang, Ibnu Taymiyah menulis satu kitab yang diberi judul: ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul (Pedang Terhunus bagi Pencela Nabi).
Wallahu a’lam.