Mungkar Dicegah, Bencana Enyah
Kemaksiatan meraja lela, dosa-dosa terpampang di depan mata, aturan syariat diterjang begitu saja, begitulah gambaran masyarakat yang kita berada di dalamnya. Ini pula yang menjadi biang keresahan dan bencana yang menyebar di mana-mana. Sudah lama kita sadari ini. Dan setiap kali muncul keluhan ini, selalu disergah dengan ‘serangan’ balasan, “Jangan asal menyalahkan, yang penting andil kita apa?”
Andil Nyata, tapi Dianggap Mengada-Ada
Memang setiap muslim harus memiliki andil dalam Islam. Makin banyak andilnya, makin bagus pula tingkat keislamannya. Makin banyak yang andil di dalamnya, maka Islam makin terasa nikmatnya sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Hudzaifah radhiyalllahu ‘anhu berkata, “Di antara bentuk saham dalam islam itu ada delapan, shalat adalah satu saham, zakat satu saham, jihad satu saham, shaum satu saham, mengajak yang ma’ruf satu saham, mencegah yang mungkar satu saham, mengucapkan syahadatain satu saham, maka celakalah orang yang tidak memiliki andil saham di dalam Islam.”
Jika masih kita temukan banyaknya kemungkaran berkeliaran, artinya masih sedikit orang yang mengambil saham amar ma’ruf dan nahi munkar. Barangkali, karena andil dalam saham ini membutuhkan kesabaran yang ekstra. Maksud hati menyelamatkan orang lain, namun tak jarang dibalas dengan sikap yang menyakitkan. Dan dari arah lain hadir pula stigma dan stempel negatif tertuju kepadanya.
Terkadang dianggap mengada-ada, ‘sok usil’, ‘rese’, iri, tidak toleran, arogan, suka mencampuri urusan orang lain dan bahkan di anggap pemecah belah umat. Banyak yang mundur teratur menghadapi serangan ini. Ada yang putus asa, ingin dianggap toleran atau ingin menjaga persatuan, akhirnya tugas ini ditinggalkan. Maka terjadilah apa yang pernah dialami oleh Bani Israil.
Abdullah bin Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya awal mula kerusakan Bani Israil dahulu karena tatkala seseorang mengingatkan temannya, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang kamu lakukan, karena itu tidak halal bagimu!” Kemudian esok harinya ia mendapati saudaranya masih seperti itu, tapi ia tidak mencegahnya, lalu ia ikut makan, minum dan duduk bersamanya. Maka tatkala mereka melakukan itu, Allah memecah belah hati sebagian mereka kepada sebagian yang lain.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi beliau mengatakan hadits hasan shahih)
Ketika mereka ingin satu hati dan damai dengan cara melebur dalam kemaksiatan, maka Allah justru membuat hati mereka berpecah belah.
Pahala Besar dengan Nahi Mungkar
Tak ada alasan untuk meningalkan amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan semua alasan menguatkan dorongan bagi seorang muslim untuk menegakkannya. Ketika seorang muslim ingin mendapatkan kemaslahatan untuk dirinya, memberikan maslahat bagi orang lain, ingin menyelamatkan diri dan orang lain dari bencana dan siksa, maka pada amar ma’ruf nahi munkar mengandung seluruh kemaslahatan itu.
Amal ini menjanjikan pahala besar, karena setiap satu ajakan kepada kebaikan bernilai sedekah, begitupun dengan setiap larangan terhadap maksiat. Sebagaimana hadits Nabi,
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَة
“Mengajak yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah dari yang munkar adalah sedekah.”(HR Muslim)
Ini menjadi amal alternatif bagi seorang muslim yang tidak dikarunia harta untuk sedekah. Ia bisa mengungguli sedekah orang kaya dengan memperbanyak dakwah. Adapun bagi orang kaya yang telah bersedekah, amal ini bisa menjadi sarana memperbanyak pundi-pundi pahala dengan murah dan mudah. Tidak mengherankan jika seorang ulama salaf, Sufyan ats-Tsauri mengandalkan amal ini tatkala melakukan safar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syuja’ bin al-Walid, ”Aku pernah berhaji bersama Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, lisan beliau hampir-hampir tak berhenti untuk mengajak yang baik dan mencegah dari yang munkar, baik tatkala berangkat maupun saat perjalanan pulang.”
Mencegah Dosa, Menolong Sesama
Adapun manfaat amar ma’ruf nahi mungkar bagi orang lain sangatlah nyata. Amal ini menjadi bagian dari sedekah karena manfaatnya bisa dirasakan oleh orang yang disedekahi.
Bahkan dalam banyak kondisi, sedekah dengan cara mengajak yang baik dan mencegah yang mungkar memiliki sisi lebih daripada sedekah harta. Sedekah harta akan mengentaskan penerimanya dari rasa lapar atau kemiskinan, sedangkan mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang munkar bisa menyelamatkan agama orang yang menerimanya. Ia selamat dari kubangan maksiat dan berarti selamat dari jilatan api neraka.
Karena itulah, sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada sedekah orang mukmin yang lebih dicintai oleh Allah, dari sedekah berupa anjuran dan nasihat seseorang kepada kaumnya, lalu mereka berpisah dalam keadaan Allah memberikan manfaat kepada mereka karena nasihat itu.” Yakni manfaat motivasi yang menumbuhkan ketaatan dan peringatan yang menjauhkan manusia dari kemaksiatan. Maka manfaat yang dihasilkan lebih permanen dan bermanfaat daripada sedekah harta atau makanan.
Memang terkadang orang yang dicegah merasakan pahitnya teguran, akan tetapi kelak dia akan tahu betapa teguran itu sangat bermanfaat untuk dirinya. Perumpamaan orang yang mencegah kemungkaran seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya. Terkadang ia harus tega memberi obat yang pahit demi kesembuhan pasiennya, atau bahkan harus mengamputasi sebagian anggota tubuhnya demi menyelamatkan nyawanya.
Maka, sebenarnya mencegah kemungkaran itu menjadi bukti kasih sayang, sedangkan ‘toleran’ terhadap kemaksiatan yang dilakukan saudaranya adalah bentuk kekejaman, karena ia tega dan sengaja membiarkan saudaranya terjerumus dalam kebinasaan. Inilah yang disebut Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘A’waanan lisysyaithan ‘alaih’, menjadi sekutu bagi setan untuk menjatuhkan (saudara)nya. Setan menghendaki saudaranya bergelimang dengan dosa, sementara ia hanya diam menyaksikannya.
Suatu kali beliau mendengar seorang sahabatnya terjerumus kepada maksiat dan bergelimang dengannya, maka beliau menulis surat kepada temannya, “Dari Umar bin Khaththab kepada si Fulan, assalamualaika. Saya mengajakmu bersyukur kepada Allah, tidak ada ilah yang haq selain Dia, Yang mengampuni dosa-dosa, Yang menerima taubat hamba-Nya, Yang amat dahsyat siksa-Nya, namun begitu melimpah karunia-Nya, tidak ada ilah yang haq kecuali Dia dan kepada-Nya kita akan kembali…” Kemudian beliau mendoakan agar temannya diterima taubatnya oleh Allah.
Sesampainya surat itu ke alamat tujuan, orang itu membacanya berulang-ulang sambil menangis, lalu ia bertaubat secara sungguh-sungguh. Ketika hal itu sampai kepada Khalifah Umar, beliau berkata kepada teman-temannya, “Begitulah seharusnya kalian berbuat. Jika kalian mendapati saudara kalian tergelincir dalam dosa, maka luruskanlah dan doakan agar Allah menerima taubatnya. Dan jangan sekali-kali kalian menjadi sekutu bagi setan untuk menjatuhkannya.” Begitulah yang disebutkan dalam al-Hilyah karya Abu Nu’aim.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Fadhlul ‘Ilmi wal ‘Ulama’ menyebut dengan istilah syaithaanun ahras, setan bisu. Beliau berkata, “Masihkah tersisa agama atau kebaikan seseorang sementara ketika ia melihat apa-apa yang diharamkan Allah diterjang, batas-batas syariat-Nya dilanggar, agama Allah ditelantarkan, sunnah Rasul-Nya ditinggalkan dan dijauhi tapi hatinya dingin membeku dan lisannya diam membisu? Ia seakan setan bisu (karena diam dari kebenaran), sebagaimana orang yang berbicara bathil itu laksana setan bicara.”
“Masihkah tersisa agama atau kebaikan seseorang sementara ketika ia melihat apa-apa yang diharamkan Allah diterjang, batas-batas syariat-Nya dilanggar, agama Allah ditelantarkan, sunnah Rasul-Nya ditinggalkan dan dijauhi tapi hatinya dingin membeku dan lisannya diam membisu? Ia seakan setan bisu (karena diam dari kebenaran), sebagaimana orang yang berbicara bathil itu laksana setan bicara.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah
Adapun pihak-pihak yang memberikan stigma buruk terhadap aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar, mereka ditengarai sebagai orang-orang munafik yang memang ingin kemungkaran tetap lestari. Seperti yang dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, “Jika Anda mengajak yang ma’ruf, berarti Anda telah menguatkan punggung orang mukmin, dan jika Anda mencegah kemungkaran, maka berarti Anda telah membuat marah orang munafik.”
Mungkar Dicegah, Bencana Enyah
Seseorang yang takut akan kemurkaan Allah, dan takut akan datangnya bencana yang akan menimpanya, tentu dia akan mengusahakan pencegahannya. Dan amar ma’ruf nahi mungkar adalah ikhtiyar utama yang paling efektif mencegah bencana. Sebagaimana meninggalkannya adalah sebab utama terjadinya bencana. Ketika para pendosa bebas mempertontonkan dosa di depan mata, sedangkan orang yang tahu diam seribu bahasa, maka bencana tak hanya mengancam pelaku dosa, tapi juga orang yang diam terhadapnya. Allah berfirman,
{وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب} [الأنفال: 25]
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS al-Anfal: 25)
Ibnu Katsier menafsirkan ayat ini, “Allah Ta’ala memberikan peringatan kepada hamba-Nya yang beriman akan adanya ujian dan musibah yang menimpa secara merata, ditimpakan kepada orang yang bermaksiat maupun tidak, dan tidak dikhususkan hanya bagi pelaku maksiat dan penjamah dosa. Bencana itu merata karena kemaksiatan tidak dicegah dan dihilangkan.”
Begitulah faedah amar ma’ruf nahi mungkar yang meliputi segala hal. Hanya saja semua manfaat itu bisa didapat ketika seseorang memahami makna dan cara yang benar. Dan hendaknya dimulai dari mengajak diri sendiri kepada yang ma’ruf, dan mencegah diri sendiri dari yang mungkar.
Alangkah bijaknya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika seseorang berkata, “Celakalah orang yang tidak menyeru yang ma’ruf dan tidak mencegah dari yang mungkar.” Lalu beliau berkata, “Lebih celaka lagi adalah orang yang hatinya tidak mengenali yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar.” Wallahu a’lam.
Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Telaah