Muhammad KW2
Meski kita sendiri, tidak mudah untuk menjalani kemiskinan di jaman yang serba materialistis seperti ini. Bagi yang sudah menikah, tentu akan terasa lebih sulit karena ada orang-orang yang menjadi tanggungan kita; anak dan istri. Mengkondisikan mereka untuk menerima dan menjalani kesempitan ini, jelas sangat tidak mudah. Seperti sms yang datang kepada saya tentang kesulitan beberapa suami dalam membuat istri ridha akan kemiskinan mereka, atau dari orangtua yang bingung menghadapi anak-anak yang menuntut fasilitas di luar kemampuan mereka.
Karena sebagai pemimpin, kita berkewajiban mengayomi, menjaga, dan mencukupi kebutuhan mereka secara wajar. Sehingga kesempitan hidup seringkali membuat kita bersedih dan merasa gagal. Apalagi pencapaian materi yang memadai, menjadi hal paling terlihat dari luar, paling sering mengundang penilaian, dan paling terlacak pandangan. Jadi, dalam logika materi, wajar saja jika banyak laki-laki yang pongah akan keberhasilan mereka mengumpulkan materi yang melimpah, dan sebaliknya, banyak yang merasa rendah ketika hanya mampu menghadirkan beberapa rupiah.
Di sisi lain, jika tidak hati-hati, kemiskinan bisa membuat kita menjual iman, seperti dalam hikmah yang termasyur itu; hampir-hampir kefakiran itu membuat kekafiran. Atau dalam bahasa hadits; pagi beriman sorenya sudah kafir, sorenya beriman paginya berubah kafir, karena menjual agama dengan dunia. Saya mendapat info bahwa seorang qori’ yang hebat di pulau Andalas sana, akhirnya murtad karena tidak tahan menjalani kemiskinan bersama empat putra putrinya. Dan kisah-kisah senada, tidak sedikit jumlahnya.
Sungguh, tanpa iman yang cukup, ini adalah keadaan yang sangat menakutkan. Bukankah al Qur’an menyebutkan tentang larangan pembunuhan anak oleh orangtuanya karena takut akan kemiskinan yang mendera? Bukankah manusia adalah pedamba kenikmatan yang bersifat tergesa? Dan bukankah, sabar menjadi sulit dijalani tanpa latihan yang cukup dan iman yang kuat? Sehingga banyak pemuda yang takut menuju jenjang pernikahan karena khawatir akan ketidakmampuan mereka secara materi.
Namun imanlah yang menyadarkan kita tentang kuasa Allah. Tentang kemungkinan atas segala kemustahilan dalam jangkauan akal manusia yang terbatas. Yang kita tahu, yakin dan percaya, bahwa tidak ada yang salah dengan kemiskinan yang ada, karena semua terjadi atas iradah Allah semata. Sebagaimana Rasulullah pernah bersumpah demi Allah, bahwa bukanlah kemiskinan yang beliau takutkan atas umat ini, namun justru terbentangnya dunia di hadapan mereka. Sehingga mereka saling berlomba serupa orang-orang terdahulu, untuk kemudian hancur sebagaimana mereka dahulu pun hancur.
Iman jugalah yang mengajari kita bahwa semua keadaan adalah baik bagi setiap hamba yang beriman. Di mana sabar menjadi pilihan terbaik bagi mereka yang dipilihkan kesempitan untuk meraih ridha Allah, karena semua pilihan aktivitas adalah ibadah kepada-Nya. Seperti juga pelajaran lain yang tidak kalah penting, bahwa Allah hanya menerima amal shalih ketika ia memenuhi syarat keikhlasan dan ittiba’ kepada Rasulullah. Dan ketika itu bisa difahami, diresapi, dan dijalani, insyaallah semua akan menjadi baik-baik saja.
Hal lain yang kita ketahui dan imani adalah bahwa Allah memilih para lelaki sebagai pemimpin keluarga. Dimana salah satu tugasnya adalah memberi nafkah keluarga. Sehingga sesulit apapun, para lelaki harus berusaha semaksimal mungkin menjalani kewajiban ini, terlepas dari apapun hasil yang ditakdirkan Allah natinya. Sebab bekerja keras adalah satu lembah, sedang berapa hasil yang diperoleh adalah lembah yang lain. Sehingga yang dituntut dari kita adalah kualitas kerja dalam bingkai ibadah, bukan semata-mata hasil. Sehingga saat hasil yang kita dapatkan sesuai harapan, sikap tawadhu’ menjadi pilihan. Dan saat hasil yang ada tidak sesuai keinginan, bukan sikap putus asa yang kita jalankan.
Maka, ketika yang kita peroleh setelah kerja keras dalam koridor syariat adalah kemiskinan, tidak akan membuat kita rendah dan terhina di hadapan orang lain. Allah akan memampukan kita untuk menjaga izzah dan bersabar, insyaallah. Hal yang berbeda jika ia adalah buah dari kemalasan dan sikap abai dari tanggung jawab, meski dengan dalih sibuk berdakwah atau beribadah. Ini soal kejujuran dan keikhlasan.
Jadi ketika ada sejumlah ikhwan yang sangat antusias saat mendengar adanya akhwat yang mandiri secara ekonomi, atau bahkan terang-terangan mensyaratkannya ketika data-data mereka akan diproses, kita hanya bisa mengelus dada seraya berdoa, semoga lurus niat mereka. Termasuk ketika lelaki yang ingin menikah lagi dengan seorang janda kaya karena ingin memperbaiki ekonomi, kita sempat mengernyitkan dahi juga. Alasannya selalu sama; ingin mencari Khadijah sebab mereka adalah Muhammad.
Bukankah Muhammad juga, minimal berpotensi, kaya saat menikah dengan Khadijah? Beliaulah yang dicari dan bukan mencari. Beliau juga yang ditemukan, bukan menemukan. Beliau tidak pernah mengumumkan dan menawarkan diri, sehingga beliau tidak pernah terjatuh dalam sikap rendah, meminta-minta dan bergantung kepada istri. Beliau tetap qawwam dan mampu mendidik istri dengan baik.
Tidak ada yang salah dengan pencarian Khadijah. Tapi menyamakan semua perempuan kaya dengan Khadijah, hanya karena berkerudung, tanpa melihat kualitas tarbiyah mereka, kesiapan mentaati suami dan menanggung risiko perjuangan, jelas ini sebuah sikap tergesa-gesa, gegabah dan cenderung merendahkan diri. Karena pernikahan bukan semata soal kecukupan materi, dan karena nafkah memang dibebankan di tangan para lelaki.
Kita hanya bisa berdoa agar niat kita lurus karena Allah, bersungguh-sungguh dalam iqamatudin, dan setia kepada tuntunan syariat. Hingga kita tidak tergesa merasa diri sebagai Muhammad sedang belum berbuat banyak. Kecuali kita adalah Muhammad KW2. Wallahu a’lam.