Menjadi Muslim yang Seharusnya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah 3)
Sa’ad bin Abi Waqash adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Namun tatkala beliau masuk Islam, ibunya marah dan berkata, “Wahai Sa’ad, agama apa yang kamu anut ini? Kamu harus keluar dari Islam, atau kalau tidak, maka aku tidak akan makan, tidak akan minum hingga mati. Lalu orang-orang pun akan mencelamu dan memanggilmu dengan kalimat, ”Wahai anak yang telah membunuh ibunya!” Dengan santun beliau berkata, ”Jangan lakukan itu wahai Ibunda, saya tidak akan meninggalkan Islam apapun yang terjadi.” Hari-hari berlalu, sementara sang ibu benar-benar mogok dari makan dan minum. Hingga kemudian Saad bin Abi Waqash memberanikan diri berkata kepada sang ibu, “Ketahuilah wahai Ibunda, seandainya ibu memiliki seratus nyawa, lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasad ibu, maka sekali-kali saya tidak akan meninggalkan agama ini,maka terserah ibu ingin makan ataukah tidak!” (Siyaru a’lam an-Nubala’)
Sahabat yang lain, Abdullah bin Hudzafah bahkan tak mundur dari Islam saat diancam hendak direbus hidup-hidup oleh Heraklius. Tawaran masuk Nasarni ditolaknya mentah-mentah, meski diiming-imingi hadiah separuh kerajaan Romawi. Baginya, nilai Islam dalam sekejap mata lebih berharga dari seluruh kerajaan Romawi.
Adapula yang rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan Islamnya seperti Yasir dan istrinya; Sumayyah.
Kekuatan apakah yang menjadikan mereka sanggup bertahan dengan ragam siksaan yang begitu berat? Pertimbangan manakah yang mereka gunakan hingga mereka rela mengambil resiko harta, tenaga bahkan nyawa? Tidak ada jawaban lain kecuali karena keimanan mereka terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad saw, keyakinan bahwa Islam menjamin kebahagiaan bagi mereka, bukan sekedar di dunia yang fana, namun juga di akhirat yang abadi. Mereka betul-betul merasakan betapa indahnya hidup dalam Islam, dan betapa agungnya rahmat Islam bagi mereka dan bahkan bagi alam semesta. Tak ada anugerah yang lebih istimewa darinya. Sehingga mereka tidak mau melepaskan secuilpun dari syariat demi tawaran apapun yang memikat. Tak sudi menanggalkan keislamannya, meski nyawa harus keluar dari jasad. Mereka benar-benar merasakan firman Allah,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah 3)
Namun, hari ini paradigma telah berubah. Seiring dengan minimnya pemahaman, tipisnya keimanan, Islam tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Seakan Islam disandangnya secara kebetulan, bukan karena keinginan atau kebutuhan. Yang karenanya pula, tak ada beban bagi mereka untuk melepas sebagian atau bahkan keseluruhan, tak ada rasa bersalah jika sesekali syariat disandang, dan di kali yang lain ditendang.
Fenomena ini terus berkembang, seiring dengan mendominasinya hawa nafsu, ditambah pula dengan gencarnya upaya setan jin dan manusia untuk mengaburkan tapal batas antara iman dan kekafiran. Hingga, garis pembeda antara haq dan bathil makin tersamarkan. Dalam persepsi kebanyakan orang, tak ada lagi keistimewaan Islam di atas keyakinan yang lain. Tiada pula sisi kemuliaan mukmin dibanding orang kafir, atau ahli tauhid dibanding ahli syirik.
Perhatikanlah prolog sebuah film yang mengusung paham liberalisme dan toleransi yang kebablasan, yang mengajarkan bahwa semua agama sama benarnya. Dengan suara lembut terkesan keibuan bak penasihat yang bijak mengawali film itu, ”Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Dengan pandangan seperti ini, semua cara beragama dianggapnya sama benarnya. Semua jalan dipandangnya sama-sama mencapai surga, termasuk pilihan untuk tidak beragama. Semua sesembahanpun diyakini sebagai Tuhan yang sama,apakah berujud patung, batu maupun manusia. Inilah konsep netral agama yang tak mengenal istilah tauhid dan syirik, tak ada kata mukmin dan kafir, dan tak ada kamus hidayah maupun murtad. Padahal, semua istilah itu sangat krusial di dalam Islam.
Seakan surga disediakan untuk penganut apa saja, agama apapun, hanya berbeda kapling atau lokasinya. Lantas dimanakah keyakinan mereka terhadap firman Allah Ta’ala,
‘Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.’ (QS Ali Imran 85)
Bagaimana pula mereka mengira, bahwa Allah akan membalas dengan balasan yang sama atas cara dan jalan agama yang berbeda-beda, sedangkan Allah berfirman,
“Maka Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat demikian). Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS al-Qalam 35-36)
Bahkan secara tegas, Nabi saw telah memberitaka kesudahan bagi siapapun yang tidak mengambil Islam sebagai agamanya,
لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ أُ مَّتِي يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ ماَتَ وَ لاَ يُؤْمِنُ بِمَا جِئْتُ بِهِ إِلاَّ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan–Nya, tiada seorangpun dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tdiak beriman dengan apa yang aku bawa dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim)
Seseorang yang merasa memiliki Islam, dan menjadikan Islam sebagai darah dan dagingnya, tentu tidak tertarik dengan ajakan pendangkalan terhadap nilai keagungan Islam. Tak hanya itu, keyakinannya atas kebenaran Islam dia wujudkan dengan mendalami ilmunya, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan membelanya dari serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya, begitulah seharusnya menjadi seorang muslim. Billahit taufiq. (Abu Umar Abdillah)
banyak hikmah yg dapat kita ambil dari kisah di atas.. posting anda mencerahkan..
Pingback: Menjadi Muslim Serba Bisa - arrisalah