Menikah Dengan Orang Yang Hamil Karena Berzina
Pada edisi yang lalu, telah kita bahas hukum menikah dengan orang yang berzina, dan kita sampai kepada kesimpulan bahwa mayoritas ulama membolehkan pernikahan tersebut, walaupun sebagian ulama mensyaratkan adanya taubat dan pembersihan rahim dengan cara haidh satu kali. Pada edisi ini, kita akan membahas hukum-hukum selanjutnya yang masih terkait dengan dampak perzinaan, yaitu menikah dengan orang yang sedang hamil karena perzinaan.
Sebelum masuk pembahasan, perlu kita sebutkan di sini, bahwa orang yang hamil mempunyai dua kemungkinan: yaitu hamil karena pernikahan atau hamil karena perzinaan. Perempuan yang hamil karena perzinaan jika ingin menikah, maka dia mempunyai dua pilihan,
pertama : menikah dengan laki-laki yang tidak berzina dengannya, yang kedua : dia menikah dengan laki-laki yang berzina dengannya sekaligus yang menghamilinya. Sehingga, secara keseluruhan, semuanya menjadi empat masalah. Masalah pertama, sudah dibahas pada edisi sebelumnya, sekarang kita membahas masalah kedua, ketiga dan keempat.
Masalah Kedua : Hukum Menikah Dengan Orang Yang Hamil Dari Pernikahan
Seorang perempuan yang hamil dari suatu pernikahan, setelah terjadinya perceraian atau suaminya meninggal, statusnya menjadi janda yang sedang hamil. Apakah boleh seorang laki-laki menikah dengannya dalam keadaan hamil ? Para ulama sepakat bahwa menikah dengan perempuan yang hamil dari hasil pernikahan yang sah hukumnya haram, sampai selesai masa ‘iddah- nya, yaitu melahirkan. (Mujib Al Muthi’I, Takmilah Al-Majmu’ : 17/347-348, Ibnu Qudamah, Al-Mughni : 11/227, Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad : 5/15 dan Ibnu Hazm, Al-Muhalla 10/263 )
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (Qs Ath-Tholaq : 4).
Begitu juga firman Allah Ta’ala :
Dan janganlah kalian bertetap hati untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya. (Qs. Al-Baqarah:235).
Masalah Ketiga dan Keempat : Hukum Menikah Dengan Perempuan Yang Hamil Dari Perzinaan,
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama : Haram hukumnya menikah dengan perempuan yang hamil karena perzinaan, baik yang menikahi adalah orang yang berzina dengannya, maupun orang yang tidak berzina dengannya Ini adalah pendapat madzhab Maliki dan madzhab Hambali. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni : 6/601-604, Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa : 32 / 109-110 )
Mereka berdalil dengan hadist Abu Sa’id Al Khudri ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “ Perempuan hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia berhaidh satu kali. “ ( HR Abu Daud no : 2159, Ahmad no : 11911, Darimi, no : 2350 , Hakim no : 2790, Baihaqi, no : 11105 , Hadist ini dihasankan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam At-Tamhid : 3/143, dan Ibnu Hajar di dalam Talkhis al Habir : 1/ 275 , dan dihasankan oleh Syekh AlBani di dalam Shahih Al Jami no : 7479 )
Hal ini dikuatkan dengan hadist Hadits Abu Ad-Darda` ra, bahwasanya
Rasulullah saw pernah mendatangi seorang budak perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali pemiliknya ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah saw bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya. ( HR Muslim )
Begitu juga, mereka berdalil dengan hadist yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Musayyib : “ Bahwasanya seseorang menikah dengan perempuan, ketika digaulinya ternyata perempuan tersebut sudah hamil, kemudian hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, dan beliau langsung menceraikan keduanya. “
Pendapat Kedua : Menikah dengan perempuan yang hamil dari perzinaan hukumnya boleh, baik yang menikahi adalah orang yang berzina dengannya, maupun orang yang tidak berzina dengannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, yaitu pendapat Abu Hanifah dan Muhammad al Hasan ( Al Marghinani, Al Hidayah : 1/ 194, Al Kasani, Bada’I As Shonai’: 2/269) dan pendapat madzhab Syafi’I. (Yahya al Imrani, Al- Bayan : 9/270-271, Al-Khatib As Syarbini, Mughni al-Muhtaj : 3/ 187, Mujib Muthi’I, Takmilah Al Majmu’ : 16/ 220, 221 )
Mereka beralasan bahwa air mani hasil perzinaan itu tidak ada harganya dalam pandangan Islam, buktinya bahwa nasabnya tidak diakui. Ini sesuai dengan hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “ Anak ( hasil perzinaan itu ) untuk perempuan yang mempunyai ikatan pernikahan dan bagi laki-laki pezina adalah tidak mendapatkan apa-apa “( HR Bukhari no : 2533 )
Oleh karenanya, berdasarkan hadist di atas menurut madzhab Syafi’I, orang yang berzina itu tidak mempunyai ‘iddah sama sekali, sehingga seorang laki-laki boleh menikah dengannya dan menggaulinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan.
Adapun menurut Abu Hanifah dan Muhammad al Hasan, jika yang menikahi adalah laki-laki yang tidak berzina dengan perempuan tersebut, maka dia tidak boleh menggauli perempuan tersebut sampai dia melahirkan. Alasan mereka adalah hadist Abu Sa’id Al Khudri ra di atas bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “ Perempuan hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia berhaidh satu kali. “
Begitu juga hadist Ruwaifi’ bin Ats Tsabit Al Anshari di atas bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “ Tidak dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuangkan airnya di dalam tanaman orang lain dan tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menggauli seorang tawanan perempuan sampai dia membersihkan rahimnya “
Namun jika yang menikahi perempuan tersebut adalah laki-laki yang berzina dengannya ( yaitu yang menghamilinya ), maka suaminya boleh menggauli istrinya tersebut walaupun dalam keadaan hamil. Ini juga pendapat Abu Yusuf dari madzhab Hanafi. Alasannya bahwa yang ada di dalam rahim perempuan tersebut adalah air maninya sendiri dan merupakan tanamannya sendiri sehingga dia boleh menggaulinya walaupun dalam keadaan hamil, dan hal ini tidak bertentangan dengan hadist yang melarang untuk menuangkan air mani dalam tanaman orang lain, sebagaimana yang disebut di atas.
Ringkasnya : bahwa jika ada seorang laki-laki dan perempuan berzina kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah ketika diketahui bahwa perempuan tersebut hamil dari perzinaan tersebut, maka status pernikahannya tidak sah menurut madzhab Maliki dan Hambali, dan sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i. Wallahu A’lam