Menghitung Dosa, Membilang Pahala
Tak ada orang yang merencanakan rugi dalam berdagang. Karenanya, untuk mendapat keuntungan seorang pedagang akan membuat cashflow (arus kas) yang baik. Orang yang pintar mengatur cash flow ia selalu berhitung kapan uang harus keluar dan untuk apa pengeluaran dilakukan. Ada perhitungan detil dalam hal ini untuk menghindari resiko yang bernama rugi. Lantas bagaimana jika resiko yang dialami kelak di akhirat itu adalah penderitaan selamanya di akhirat, tersiksa di neraka? Bagaimana pula jika keuntungan yang diharapkan dari perniagan itu adalah jannah yang serba nikmat tiada tara tiada jeda?
Tidak diragukan lagi, ia harus mengatur cashflow hidupnya dengan baik. Ia harus tahu, untuk apa modal nikmat yang Allah anugerahkan berupa umur, ilmu, harta, jasad dan yang lain dikelola. Orang yang cerdas selalu jeli menghitung semuanya, agar nikmat tak digunakan untuk maksiat yang berefek kerugian di akhirat. Inilah karakter mukmin yang senantiasa menghitung amal sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Hasan al-Bashri berkata,
“Seorang mukmin adalah orang yang memimpin jiwanya, ia menghitung diri karena Allah. Dan hisab (perhitungan) yang mudah pada hari Kiamat hanya akan dialami oleh orang yang senantiasa menghitung dirinya di dunia. Dan perhitungan yang sulit pada hari Kiamat hanya dialami oleh orang-orang yang berbuat tanpa perhitungan.” (Shifatush Shafwah Ibnu al-Jauzi 2/138)
Karena Nikmat akan Ditanya
Fudhail bin Iyadh memaknai kalimat istrija’(inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un) sebagai kalimat penyadaran akan pentingnya introspeksi diri dan muhasabah. Beliau berkata, ”Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya adalah hamba milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa menyadari bahwa kelak dia akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia akan ditanya, dan dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia menyiapkan jawaban.”
Di antara jawaban yang harus disiapkan adalah; kemana dan untuk apa manusia menggunakan seluruh nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Karena nikmat adalah modal, yang bisa digunakan untuk taat sehingga mendatangkan pahala, atau sebagai sarana untuk bermaksiat sehingga mendatangkan siksa. Maka tentang nikmat itulah mula-mula manusia akan disoal.
“Sesungguhnya hal yang pertama-tama akan ditanyakan kepada manusia pada hari kiamat ialah akan ditanyakan kepadanya,“Bukankah kami telah menjadikan tubuhmu sehat, dan kami puaskan kamu meminum air yang segar?”(HR at-Tirmidzi)
Sebelum lagi kaki anak Adam beranjak pada hari Kiamat, ia akan ditanya dahulu tentang nikmat yang telah Allah beri.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Tidak akan beranjak kedua kaki anak Adam pada Hari Kiamat, sehingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa pergunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa dia belanjakan, dan tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan. (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shahih)
Meski kita tak pernah mampu menghitung jumlah persis berapa nikmat Allah yang tercurah, bukan berarti kita abai dari menghitung dan mengingatnya. Semakin banyak jenis nikmat yang kita kenali dan rasai, niscaya hati lebih bersyukur dan ada upaya menggunakan setiap tetes nikmat untuk taat. Karena taat membuat nikmat makin lekat, bertambah pesat di samping hitungan pahala tersu bertambah. Semantara maksiat menjadi sebab datangnya kesedihan, musnahnya nikmat dan membuahkan dosa yang tercatat.
Menghitung Dosa, Membilang Pahala
Segala bentuk penyimpangan dalam menggunakan nikmat terhitung sebagai dosa, sedangkan menggunakannya untuk taat dihitung sebagai pahala. Dan kelak masing-masing akan dihitung semua perolehan amal kita di dunia.
Sebelum nantinya diperlihatkan seluruh amal perbuatan kita, dan kita saksikan proses perhitungannya pada hari Kiamat, alangkah baik jika kita evaluasi lebih dini. Agar kita tahu seberapa jauh persiapan kita, dan agar bisa disempurnakan sisi kekurangan selagi ada kesempatan. Seperti yang dinasihatkan Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu,
”Hisablah diri kalian sebelum diri kalian dihisab. Timbanglah amal kalian sebelum diri kalian ditimbang, dan persiapkanlah saat hari ditampakkannya amal di hadapan Dzat yang tak tersembunyi sedikitpun atas-Nya amal-amalmu.” Beliau mengngatkan perihal firman Allah,
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). “(QS al-Haaqah 18)
Saat manusia membaca buku catatan amal, sementara saksi-saksi dihadirkan, tak sedikitpun mampu berkutik atupun berkilah. Semua rekam jejaknya selama di dunia diperlihatkan secara detil. Hal yang mungkin kita tak pernah membayangkan, seandainya seseorang ingin mencatat dan mendokumentasikan amal perbuatan yang dilakukannya setiap hari selama hidupnya, itupun tidak bisa selengkap catatan Malaikat.
Tapi sedikit sebagai gambaran, jika amal manusia tercatat sejak berumur 15 tahun hingga 60 tahun misalnya, maka ia akan mempunyai catatan amal perbuatan selama 45 tahun. Satu tahun kira-kira 360 hari, setiap hari 24 jam, maka bila dijumlahkan semuanya kira-kira masa taklif manusia terdiri dari 388.800 jam. Bila direkam dengan kaset rekaman dengan durasi 1(satu) kaset adalah satu jam, maka betapa akan dibutuhkan sebanyak 388.800 kaset setiap orang, untuk mencatat (merekam) seluruh kehidupannya selama di dunia.
Dan jika setiap nafas demi nafas dalam kehidupan kita dicatat dalam lembaran buku, kiranya berapa tebal buku yang dibutuhkan. Dari sekian banyak catatan perbuatan tersebut terklasifikasi menjadi dua bagian; jenis amal yang dikategorikan sebagai amal shalih, dan satunya lagi perbuatan yang dikategorikan sebagai amal keburukan. Lalu masing-masing akan dihitung sebelum nantinya ditimbang.
Dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi mengisahkan tentang seseorang yang menerima catatan keburukan sebanyak 99 buku catatan keburukan. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Akan diseru seorang dari ummatku pada Hari Kiamat di hadapan manusia, kemudian dihamparkan untuknya 99 catatan, sedangkan setiap catatan luasnya sejauh mata memandang. “ (HR Ibnu Majah)
Lebar dan panjang bku catatan itu adalah sejauh pandangan mata manusia. Semuanya berisi tentang catatan amalan manusia, yang amatlah sangat jarang diantara kita yang mengingat tentang apa yang akan dihisab oleh Allah pada hari Kiamat. Sering kita tak menyadari, bahwa catatan tak pernah berhenti, sebagaimana waktu juga terus berjalan. Tak ada yang tidak bernilai dalam catatan itu. Semua memiliki poin perhitungan, dan sesuai hasil hitungan itulah manusia akan mendapat balasan. Allah berfirman,
“Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”. (QS al-Mu’min 17]
Nah pernahkah kita mencoba menghitung selagi masih di dunia ini? Kiranya dari sekian perbuatan kita sejak baligh, lalu kita pilah antara kebaikan dan keburukannya, manakah yang lebih banyak koleksi amalnya? Kebaikan ataukah keburukan?
Menghitung dosa membuat kita makin waspada; agar tidak lagi menambah jumlahnya, dan agar ia bisa terhapus dengan taubat dan amal shalih yang mengikutinya. Adapun orang yang lalai, tidak menyadari betapa dosa demi dosa telah mengotori dan memenuhi catatan amalnya.
Karena kelak yang dihitung adalah dan ditmbang adalah amal baik dan amal buruk, maka persiapan kita menghadapi ‘Yaumul Hisab’ (hari perhitungan amal) juga menyertakan perhitungan pahala. Dan perhitungan pahala sangat bermanfaat jika dilakukan sebelum beramal sehingga ada motivasi untuk melakukannya. Jikalau perhitungan pahala dilakukan setelah amal, maka penekanannya adalah untuk amal keutamaan yang telah ditinggalkannya. Agar timbul penyesalan yang berefek pada perbaikan.
Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yg menshalati jenazah, maka dia akan mendapatkan satu Qirath. Barangsiapa yang mengikutinya sampai dikubur, maka dia akan mendapatkan dua Qirath, salah satunya atau yang paling kecil di antara kedua qirath adalah sebesar Gunung Uhud.”
Saya sampaikan hal itu kepada Ibnu Umar, dia memerintahkanku bertanya kepada Aisyah. Aisyah menjawab; “Abu Hurairah benar.” Ibnu Umar berkata, “ Berarti kita telah banyak kehilangan banyak Qirath’. (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shahih)
Begitulah jiwa yang sehat, termotivasi oleh hitungan pahala dan tidak terpedaya oleh hasil yang telah diperolehnya. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)