Mengakhirkan Qadha’ Puasa
Apa hukum mengakhirkan qadha (membayar hutang) puasa Ramadhan?
Jawab :
Mengakhirkan membayar hutang puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan berikutnya tidak diperbolehkan menurut pendapat masyhur dari para ahli ilmu, karena Aisyah Radhiallahu’anha berkata, “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak sempat aku bayar kecuali di bulan Sya’ban.”
Ini menunjukkan tidak ada rukhshah atau keringanan untuk membayar hutang puasa hingga melewati Ramadhan berikutnya. Kalau hal ini dilakukan tanpa ada udzur syar’i maka ia berdosa. Para ulama berbeda pendapat apakah yang mengakhirkan qadha’ wajib atasnya puasa dan fidyah (memberi makan orang miskin) atau hanya puasa saja? Yang shahih adalah tidak lazim baginya fidyah, karena Allah berfirman:
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185).
Dalam ayat ini Allah tidak mewajibkan bagi orang yang punya hutang puasa selain mengqadha’nya.
Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin: 19/357.
Puasa setelah nisfu Sya’ban
Apakah dibolehkan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban? Karena saya mendengar bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang berpuasa setelah pertengahan Sya’ban
Jawab :
Ada riwayat dari Nabi yang menunjukkan kemakruhan puasa setelah tengah bulan Sya’ban, yaitu dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Kalau telah memasuki pertengahan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Para ulama berbeda pendapat tentang penshahihan dan pendha’ifan hadits ini.
Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in berpendapat hadits ini mungkar, Imam baihaqi, dan Thahawiy menda’ifkannya.
Kalaupun hadits ini shahih, akan bertentangan dengan banyak hadits yang menunjukkan kebolehannya berpuasa setelah pertengahan Sya’ban secara mutlak. Sebagaimana jumhur berpendapat bahwa yang dilarang adalah puasa pada hari syak saja dan tidak pada hari selainnya setelah pertengahan Sya’ban.
Di antaranya hadits dalam shahihain, Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah bersabda:
“Janganlah seorang dari kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnah) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun Para Ahli ilmu mencoba menggabungkan kedua hadits yang seolah-olah bertentangan dengan penggabungan yang baik, kesimpulannya adalah bahwa puasa (setelah pertengahan Sya’ban) dimasyru’kan bagi siapa yang mempunyai kebiasaan berpuasa, atau ia sedang berpuasa nadzar atau mengqadha puasa Ramadhan tahun lalu. Maka tidak mengapa berpuasa di awal Sya’ban, tengahnya, atau akhir Sya’ban.
Adapun yang tidak mempunyai kebiasan berpuasa (di bulan Sya’ban), maka hukumnya makruh, sebagaimana dikatakan imam Qurtubiy dalam Mufham. Hal ini sebagaimana dipahami dalam hadits “kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnah) maka pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya.”
Diringkas dari Fatwa Syaikh Khalid Abdul Mun’im ar-Rifa’I, no fatwa: 2273.