Menepilah Sebelum Tenggelam
Kemaksiatan itu seperti narkotika. Mengandung zat adiktif alias candu yang bisa membuat manusia ketagihan. Karenanya, setan akan memancing manusia untuk mencoba, sekadar mencoba saja, untuk memastikan racun candu itu merasuk dalam jiwanya. Jika candu telah bertemu nafsu, terbentuklah reaksi berupa keinginan untuk meneguk lagi dan merasakan lagi.
Pada stadium awal, konsentrasi racun candu dalam jiwa masih rendah. Relatif mudah disembuhkan jika memang ada usaha penyembuhan. Tapi dalam taraf lanjut atau bahkan jika sudah parah, menjalar dan merusak jaringan saraf dalam jiwa, manusia akan dibuat sakit olehnya. Secara periodik, racun itu akan aktif dan menagih untuk diinjeksi dengan kadar yang lebih banyak. Jika tak dipenuhi, ia akan menyayat jiwa manusia dan menderanya dengan rasa sakit dan kegelisahan akibat kuatnya hasrat yang meminta dipuaskan.
Karenanya, rasa penasaran terhadap segala bentuk kemaksiatan, dengan kedok apapun, tak selayaknya dituruti karena akibatnya bisa fatal. Langkah jauh dan dan panjang pasti di awali dari satu langkah kecil. ‘Pendekar mabuk’ yang hampir kebal dengan alkohol dan selalu menang dalam kompetisi minum miras, pasti tidak mengawali karirnya dengan menenggak khamr beralkohol tinggi dengan jumlah besar. Boleh jadi, awal karirnya hanya dari rasa penasaran untuk membuktikan, benarkah minuman bersoda yang dicampur obat sakit kepala bisa memberi efek “terbang”? Jika ternyata tidak, rasa penasaran mengajaknya mencoba miras murahan, lalu meningkat dan terus meningkat. Kesuksesan seorang penjahat kelamin yang berhasil mengelabui pasangan-pasangannya, yang gadis, janda, atau bahkan isteri orang lain, tentu bukanlah kesuksesan instan. Berawal dari eksperimen dengan pacar pertama, lalu ketagihan dan berlanjut dengan porsi dan intensitas yang terus menanjak. Demikian pula kemaksiatan lain; ghibah, bohong atau mengumpat. Pertama hanya keceplosan, lalu keseringan dan akhirnya jadi reflek dan kebiasaan. Karenanya sekali lagi, untuk maksiat, jangan sampai kita berpikir “tidak ada salahnya mencoba” karena mencoba justru bisa menjadi kesalahan terbesar yang kita pernah lakukan. Berusaha kembali sebelum terseret jauh akan lebih ringan daripada berusaha bangkit dari kubangan lumpur setinggi dada.
Manusia tempat Salah
Hanya saja, kita pun harus realistis. Memang, semua maksiat dilarang dan idealnya kita tidak melakukannya bahkan mendekatinya pun tidak agar tidak kecanduan. Tapi kita adalah makhluk yang tidak mungkin lepas selamanya dari salah, lupa maupun khilaf dan memiliki kendali penuh terhadap nafsu. Hidup kita tak mungkin senantiasa lurus tanpa pernah sedikitpun berkelok, tegak tanpa pernah tergelincir dan selalu waspada tanpa pernah terjebak. Ibarat memanah, tembakan-tembakan kita tidak mungkin selalu tepat pada sasaran. Adakalanya meleset, sedikit atau banyak.
Oleh karenanya, istiqamah bukanlah bukanlah hidup tanpa pernah salah. Tapi istiqamah adalah berusaha untuk selalu dekat dengan garis lurus kebenaran dan kebaikan. Allah berfirman,
“Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan:”Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al Ahqaf:13)
Jika istiqamah didefinsikan dengan berlaku lurus tanpa pernah tergelincir maka tak seorangpun manusia mampu melakukannya. Tapi dengan adanya hadits berikut, istiqamah menjadi mungkin;
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ ». قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَاعْلَمُوا أَنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Berlaku lurus dan dekatilah –perbuatan yang lurus-. Berikanlah kabar gembira bahwa seseorang tidak akan masuk jannah karena amalnya.’ Para shahabat bertanya, “ Apakah anda juga demikian, Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “ Demikian pula aku, hanya saja Allah telah menaungiku dengan rahmat. Dan ketahuilah, amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten meski sedikit.”(HR. Bukhari no. 6464).
“Saddidu” adalah berusaha untuk konsisten di atas rel kebenaran, sedang “qaribu” adalah berusaha untuk selalu mendekati kebenaran dan berusaha kembali ke jalan yang benar tatkala tergelincir. Inilah penjelasan yang disampaikan Ibnul Qayim al Jauziyah dalam Kitab Madarijus Salikin, II/103-109.
Karenanya, kesuksesan sejati ada pada dua hal; pertama tatkala seseorang mampu untuk selalu konsisten dalam menapaki rel kebenaran. Berusaha mencari, mempelajari dan mengamalkan kebenaran dan tidak berpaling darinya. Dan kesuksesan kedua adalah tatkala seseorang mampu segera bangkit kala terpeleset dari jalur kebenaran dengan bertaubat. Dua-duanya layak disebut sebagai kesuksesan sejati karena masing-masing memiliki tingkat kesulitan yang luar biasa. Mudawamah alias konsisten dalam beramal, berpemikiran dan berkeyakinan bukanlah hal mudah. Iman bertambah dan berkurang. Saat berkurang, tak jarang amal pun ikut menyusut atau bahkan putus. Keyakinan menjadi kabur tatkala dihantam badai ujiian ataupun godaan duniawi. Demikian pula taubat. Berhenti dari dosa dan menetralisir efek candu dari dosa bukanlah perkara enteng. Apalagi jika sudah terlanjur terseret jauh ke tengah lautan maksiat, untuk berenang ke tepi tekad di awal saja tidak cukup. Dibutuhkan kekuatan untuk mempertahankan tekad agar senantiasa memacu diri untuk terus berenang menepi meski arus menghempaskannya untuk kembali. Karenanya, menjaga diri untuk tidak menuruti rasa penasaran terhadap kemaksiatan adalah satu bagian penting dari dua bagian utama istiqamah; menekuni kebaikan dan menjaga diri dari perbuatan yang dilarang.
Ya Allah, perbaikilah hati kami, teguhkanlah kami di atas jalan-Mu dan karuniakanlah tabuat nashuha pada kami jika saat kami bermaksiat kepada-Mu. Rahmatillah kami dan masukkanlah kami ke dalam jannah yang tertinggi. Amin. Wallahua’lam.