Menaati Penguasa Zhalim (Bukan Kafir)
(79) Kami tidak berpandangan: boleh memberontak terhadap para imam dan ulil amri kami walaupun mereka berbuat zhalim. Kami tidak berdoa untuk keburukan mereka, pun tidak menarik tangan dari ketaatan kepada mereka.
Salah satu prinsip dan akidah Ahlussunnah Waljamaah terkait dengan eksistensi mereka sebagai Ahluljamaah adalah menaati penguasa atau imam yang memimpin mereka dalam berislam secara benar, meskipun penguasa adalah seorang yang zhalim dan berlaku aniaya; selama ia tidak kafir atau merobohkan sendi-sendi pokok Islam. Ini berbeda dengan Khawarij dan Mu’tazilah yang membolehkan pemberontakan terhadap penguasa muslim apabila penguasa melakukan dosa besar atau fasik. Mereka berkata, “Ini adalah amar makruf nahyi mungkar.” Mereka memaksudkannya dengan memberontak terhadap penguasa muslim yang fasik. Namun tidak juga seperti Murji’ah yang mengharuskan ketaatan kepada penguasa, walaupun penguasa sudah kafir.
Ahlussunnah Waljamaah adalah Ahlu Wasath, berada di antara dua sikap ekstrem. Dalam hal ini Ahlussuunah Waljamaah berpijak pada al-Qur`an dan as-Sunnah ash-Shahihah.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan para pemimpin di antara kamu.” (An-Nisa`: 59)
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang melihat sesuatu (kemaksiatan) yang tidak disukainya pada pemimpinnya, hendaknya dia bersabar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga, “Dengar dan taatlah, meskipun penguasa mengambil hartamu dan memukul punggungmu!” (HR. Muslim)
Juga, “Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Pemimpin kalian yang terburuk adalah yang kalian benci dan membenci kalian, yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak mencopotnya dengan pedang pada waktu itu?” “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di antara kalian. Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seseorang, lalu ia melihat kemaksiatan kepada Allah dilakukannya, janganlah ia menarik tangannya dari ketaatan kepadanya,” jawab beliau. (HR. Muslim)
Atsar Salaf dan Fatwa Ulama
Selain al-Qur`an dan as-Sunnah, para Salaf dan ulama telah mengambil sikap dan memfatwakan yang demikian itu. Di antara pernyataan mereka dalam masalah ini adalah:
Hasan al-Basri berkata, “Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan keberadaan mereka, meskipun mereka berbuat zhalim.”
Sufyan ats-Tsawri bertutur, “Wahai Syu’aib, apa yang kamu tulis itu tidak bermanfaat sehingga kamu berpendapat sahnya shalat di belakang setiap imam yang baik maupun yang zhalim, bahwa jihad berlaku sampai hari Kiamat, dan wajib bersabar di bawah panji sultan yang zhalim maupun yang adil.”
Abu Hatim ar-Razi dan Abu Zur’ah berkata, “Kami tidak membolehkan pemberontakan terhadap para imam dan peperangan di masa fitnah. Kami mendengar dan taat kepada orang yang diberi kekuasaan oleh Allah. Kita tidak menarik tangan kita dari ketaatan kepada mereka. Kami mengikuti sunnah dan jamaah serta menjauhi sikap syadz, khilaf, dan firqah.”
Imam Ahmad berkata, “…dan bersabar di bawah panji penguasa, baik ia adil maupun fajir. Kita tidak memberontak dengan pedang meskipun mereka berbuat zhalim…”
Imam al-Bukhari berkata, “Aku bertemu dengan 1000 guru, semua sepakat bahwa tidak boleh merebut kekuasaan dari penguasa dan tidak boleh mengangkat pedang terhadap umat Muhammad saw.”
Imam Nawawi menulis, “Memberontak dan memerangi penguasa haram berdasarkan ijmak kaum muslimin, walaupun mereka adalah orang-orang fasik dan zhalim.”
Ibnu Taymiyah menyatakan, “Ahlussunnah memandang wajibnya menegakkan haji, shalat Jumat, shalat ‘Id bersama para imam dan penguasa yang baik maupun yang zhalim.”
Dus, Ahlussunnah Waljamaah tidak memperbolehkan memberontak terhadap para penguasa muslim, meskipun mereka fasik. Sebab, itu akan mengakibatkan kerusakan yang besar: terpecahnya barisan kaum muslimin, tercerai-berainya kalimat mereka, rawannya keamanan, dan mudahnya orang-orang kafir menyerbu. “Tidaklah suatu kaum memberontak terhadap imam mereka melainkan keadaan mereka lebih buruk dari sebelumnya,” fatwa Ibnu Taymiyah.
Ahlussunnah Waljamaah juga berkeyakinan, tidak boleh mendoakan untuk keburukan para penguasa muslim yang memberlakukan al-Qur`an dan as-Sunnah tetapi zhalim itu. Karena mendoakan untuk keburukan mereka termasuk pemberontakan yang bersifat abstrak (pemberontakan dengan senjata adalah pemberontakan kongkrit). Yang wajib adalah mendoakan untuk kebaikan mereka.
Fudhail bin ‘Iyadh dan Imam Ahmad berkata, “Sekiranya aku tahu bahwa ada doaku yang pasti dikabulkan, niscaya itu kuperuntukkan bagi penguasa muslim.”
Kita tahu bahwa Imam Ahmad telah bersabar dianiaya dan dizhalimi oleh penguasa. Namun tidak ada kabar yang menyatakan bahwa beliau mendoakan untuk keburukan penguasa.
Pengalaman pahit sebagian Salaf
Sejarah mencatat, pemberontakan terhadap penguasa muslim yang zhalim pernah dilakukan oleh sebagian Salaf. Husain bin Ali bin Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair adalah dua tokoh sahabat yang pernah menggerakkan massa untuk itu. Namun demikian, generasi sesudah mereka berijmak akan ketidakbolehannya.
Ibnu Taymiyah menulis, “Karena itu, Ahlussunnah berprinsip tidak berperang di masa fitnah (peperangan antara umat Islam) berdasarkan hadits-hadits shahih dari Nabi saw, dan mereka memasukkan ini dalam akidah mereka. Mereka juga memerintahkan untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa dan tidak memerangi mereka, meskipun tidak sedikit ulama dan orang-orang shalih terdahulu yang terlibat dengan perang fitnah.”
Saat menulis biografi al-Hasan bin Shalih bin Hayy, Ibnu Hajar menyatakan, “Beliau termasuk yang membolehkan memberontak dengan pedang terhadap para imam yang zhalim. Ini adalah madzhab lama sebagian Salaf. Namun yang akhirnya dijadikan pijakan adalah meninggalkannya karena melihat mudarat yang lebih besar daripada kezhaliman penguasa. Peristiwa Hurrah dan Ibnu al-Asy’ats memberi pelajaran bagi yang mau merenung.”
Jika Penguasa Kafir
Semua nash dari Rasulullah saw dan para Salaf yang melarang pemberontakan berhubungan dengan penguasa muslim yang zhalim, bukan penguasa yang kafir dan yang merobohkan sendi-sendi penopang Islam. Bahkan ada nash yang menyebutkan, jika penguasa sudah kafir atau merobohkan sendi-sendi penopang Islam, maka boleh diperangi dan diberontak.
Rasulullah saw bersabda, “Dengar dan taatlah (kepada penguasa), kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, ada bukti dari Allah tentang kekafirannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Ibnu Taymiyah berkata, “Setiap kelompok yang keluar dari syariat Islam yang jelas dan dimengerti oleh khalayak, wajib diperangi berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka jika mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak mau mengerjakan shalat lima waktu, wajib diperangi sampai mereka mau mengerjakannya… demikian pula jika mereka tidak mau memutuskan perkara darah, harta, kehormatan, dan sebagainya dengan hukum al-Kitab dan as-Sunnah.”
Setelah mengutip tentang Tartar dan bagaimana mereka mengganti hukum syariat dengan Ikh Yasa (sebagian membaca Ilyasaq/ Ilyasiq), Ibnu katsir menulis, “Barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia kafir dan wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya; hanya berhukum kepadanya dalam urusan yang sedikit maupun banyak.”Imam Nawawi menulis, “Tidak boleh memerangi para khalifah hanya karena kezhaliman dan kefasikan mereka selama mereka tidak merubah salah satu pondasi Islam.”
Mengutip pernyataan Qadhi ‘Iyadh, Imam Nawawi menulis, “Para ulama telah berijmak bahwa imam tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Jika kekafiran muncul setelah seseorang diangkat sebagai imam, ia harus dimakzulkan. Demikian pula jika ia meninggalkan penegakan dan seruan kepada shalat.”
Dalam tafsir Fathul Qadir, asy-Syawkani menyatakan, “Ulul amri adalah para imam, para sultan, para qadhi, dan siapa saja yang memiliki kekuasaan syar’iyah, bukan kekuasaan thaghut.”
Wallahu a‘lam.
Ustadz, kita yg hidup di negeri ini , masuk kategori hidup di negri yg pemerintahnya fasiq apa negeri yg pemerintahnya kafir dan fasiq. kalau yang pertama berarti pemimpinnya saja yang fasiq sementara negara berdasarkan syari’at Alloh ( islam ), kalau yang kedua pemimpinnya fasik ( meski ngaku muslim ) dan pemerintahnya berdasarkan hukum thoghut. kalau dilihat dari artikel di atas berarti ” Indonesia termasuk kategori yang kedua ” kaifa ya Ustadz ?
Pingback: Hukum Taat Kepada Penguasa - arrisalah