Memahami Kebingungan Umat
Pemilu 2014, terutama pilpres, meskipun sudah berlalu perlu dicermati para aktivis dakwah. Bukan dari segi komposisi ‘wakil rakyat’ di DPR dan DPRD, atau siapa pasangan presiden dan wapres terpilih, tetapi dari sisi perubahan persepsi dan ‘fatwa’ ‘para ulama’ dan organisasi- organisasi dakwah kepada umat binaan dalam perhelatan itu dan argumentasinya.
Masalah ini perlu dicermati untuk memahami tingkat perhatian umat terhadap fatwa ulama, juga menimbang efek kebingungan yang timbul karena rentang disparitas pengarahan yang terlalu lebar antara satu ‘fatwa’ dengan ‘fatwa’ yang lain. Sekaligus masukan bagi para ulama, agar kedepan menimbang lebih masak dalam memberikan pengarahan dan ‘fatwa’, supaya menghasilkan proses pembangunan umat yang lebih konstruktif, mengurangi kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap mereka yang ditimbulkan oleh pengarahan-pengarahan yang kontradiktif.
Keadaan Umat Islam di Indonesia Secara Umum
Umat Islam di Indonesia, menempati jumlah mayoritas mutlak dalam komposisi demografi, namun lemah dalam posisi tawar secara politik dan ekonomi, sehingga lebih sering menjadi obyek perebutan dukungan untuk mendapatkan legitimasi suara dalam meraih kekuasaan di alam sistem politik demokrasi yang dianut. Kekuatan-kekuatan politik yang secara keseluruhan berideologi kebangsaan-sekuler, dengan corak warna beragam (dari yang bernuasa kekiri-kirian sampai yang tampil dan mengklaim sebagai ‘partai dakwah’) berlomba mendapatkan dukungan dari kekuatan massa mayoritas tersebut.
Meski mayoritas, dalam kesehariannya umat Islam selalu mendapat asupan informasi dan edukasi, serta suasana kehidupan yang sekuler. Media, baik elektronik maupun cetak, bisa dikatakan mutlak dikuasai oleh owner yang sekularistik dan menjadi corong penyebaran sekularisme. Bukan dalam bentuk ceramah teoritik dan konseptual yang bertele-tele, tetapi dalam kemasan praktis yang aplikatif. Tidak jarang kulit luarnya nampak agamis, tetapi substansi kehidupan yang ditawarkan, tetap saja kebendaan dan kemewahan dunia. Media, mengambil peran paling sentral dalam mengedukasi dan membentuk persepsi kehidupan sekularisme dalam segala bidang, termasuk politik.
Ajakan dakwah melalui media dengan kharakteristik tersebut, mayoritas merupakan seruan dakwah yang bersifat periferi, mementingkan kulit dan hampir selalu bernuansa infotaintment. Seruan-seruan dakwah yang lebih serius, menuju pembentukan tashowwur Islam yang benar, tidak menempati media-media utama, cetak maupun elektronik.
Media Ash-Shohwah al-Islamiyah
Elemen ash-shohwah al-Islamiyah dengan kesadaran Islam sebagai sistem hidup alternatif, membangun tashowwur (pemahaman, persepsi) tidak melalui dukungan media utama. Informasi dan edukasi dilakukan melalui jaringan pembinaan, dibantu media cetak komunitas (yang biasanya kecil-kecilan dan terbatas sekat-sekat komunitas masing-masing) dan (belakangan) di-back up social media.
Dengan masuknya peran socmed, sekat-sekat definitif yang membatasi umat Islam awam dengan elemen ash-shohwah al-Islamiyah yang memiliki kesadaran beragama yang relatif lebih baik, mulai agak samar. Social media mampu menembus sekat-sekat ekstrem yang selama ini membatasi antara umat Islam awam dengan aktivis Islam. Sayangnya persepsi yang terbentuk melalui penetrasi socmed lebih bersifat informatif, seringkali tidak sistematik, kadang bahkan provokatif dan tidak argumentatif. Selain itu juga tidak mampu mengendapkan asupan informasi tersebut menjadi pembentukan karakter muslim yang konstruktif dan utuh. Hal itu memang keterbatasan socmed. Kelemahan itu yang hanya dapat ditutup dengan edukasi dalam pembinaan tatap muka langsung. Penetrasi socmed dengan obyek dakwah yang sebelumnya belum tersentuh pembinaan langsung face to face cenderung menghasilkan sosok pribadi yang bersemangat dengan pemahaman dasar-dasar ke-Islaman yang lemah.
Perbedaan Sudut Pandang dan Pengarahan Para Ulama dan Aktivis Islam dalam Pemilu 2014
Pada level awal, umat disuguhi dua sudut pandang dan arahan yang sama sekali bertolak belakang, kontradiktif-paradoksal ; MUI mengeluarkan fatwa wajibnya memilih dan haramnya golput. Meskipun tidak menunjuk kepada satu parpol atau pasangan calon tertentu, fatwa tersebut dapat dimengerti maksudnya, sebab tidak mungkin fatwa MUI mengarahkan umat untuk memilih parpol atau pasangan capres-cawapres non-muslim. Fatwa MUI ini sejalan dengan kepentingan ‘partai dakwah’ dan parpol yang berbasis massa Islam. Sementara itu,.. aktivis Islam pro penegakan syari’at (apalagi yang bermanhaj jihad), mengharamkan segala bentuk keterlibatan dalam aktivitas pemilu dengan argumentasi aqidah maupun pengalaman kegagalan penggunaan jalur keterlibatan dalam sistem.
Adapun para politisi tentu saja menghasung umat untuk memilih dan menyerukan bahwa golput bukan pilihan (sambil menghasung untuk menjatuhkan pilihan pada dirinya/partainya). Meskipun begitu, mereka tidak dapat memaksa, karena dalam konstruksi demokrasi, golput legal dan dilindungi undang-undang.
Selanjutnya, dosis yang lebih tinggi dikeluarkan oleh Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang ber-sekretariat di Bandung mengeluarkan fatwa haramnya memilih pasangan kontestan no. 2 dan wajibnya memilih pasangan kompetitor-nya. Forum ini mendasarkan ‘fatwa’-nya pada analisa kerentanan pasangan yang difatwai haram dari pengaruh partai pendukung pasangan calon, karena berdasarkan track record dan kecenderungan, mereka didukung oleh pengusung paham liberal, paham ahmadiyah dan syi’ah. Juga kecenderungan kuat partai pendukung untuk mencabut pelarangan penyebaran paham komunis dan keinginan mencabut perda-perda yang bernuansa syari’at. (disarikan dari rilis Komisi Politik dan Strategi Forum Ulama Ummat Indonesia, Bandung 1Ramadhan 1435 H).
Logika FUUI dan argumentasinya, cukup berpengaruh. Terbukti sebagian aktivis anti demokrasi dan komunitas umat Islam yang selama ini apatis terhadap proses demokrasi menyambut seruan itu, baik secara langsung maupun dinamika berpikir mereka sendiri mengantarkan pada kesimpulan yang sama dengan kesimpulan FUUI. Di lapangan dan di socmed aksi penggalangan dukungan, mencari justifikasi, sesat-menyesatkan, perang spanduk maupun rapat-rapat koordinasi penyamaan persepsi, marak.
Berlawanan dengan FUUI, ada rilis yang ‘di-klaim’ bersumber dari ulama sepuh yang ada dipenjara (yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir), bahwa barang siapa yang memilih dalam pemilu bisa batal puasanya, bahkan dikhawatirkan batal keimanannya. Karena itu perlu syahadat ulang. ‘Fatwa’ ini (jika benar bersumber dari beliau) mendasarkan pandangannya bahwa pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi adalah untuk memilih calon presiden dan wakil presiden yang tidak menerapkan hukum Allah, berarti menerapkan hukum thoghut, dan memilih thoghut itu syirik. Maka batal puasanya, bahkan juga batal ashlul-iman-nya (pokok keimanannya), karena itu perlu mengulang syahadat. (Panjimas.com, selasa 1 juli 2014).
Penutup
Masing-masing pendapat, arahan dan ‘fatwa’ beserta dasar argumentasinya telah digelar. Perspektif masalah yang dihadapi sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang berlainan, masing-masing dapat dinilai dan ditimbang. Semua logis dalam perspektifnya sendiri-sendiri. Pertanyaannya, bagaimana dengan umat yang mengkonsumsi dan harus memilih arahan dan fatwa yang tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan?
Di leher para ulama, terikat perjanjian dengan Allah untuk menjelaskan dien Allah kepada manusia. Barangkali problemnya adalah karena suluh (obor) ilmu dari para ulama yang seharusnya tampil setiap waktu membimbing umat menghadapi banjir bandang kehidupan kebendaan yang digelontorkan oleh media massa, lebih sering absen dan tidak menyala menerangi, kadang bakan terbawa arus kampanye materialisme tersebut. Suluh para ulama harus dibangun secara konsisten seluruh waktu dengan keteladanan akhlak dan komitment kepada agama-Nya. Obor itu tidak bisa hanya dinyalakan disaat momentum seperti itu, sementara konsistensi menghadapi godaan dunia, keteladanan akhlak tidak tampak pada hari-hari biasa. Bisa dimengerti jika umat kebingungan.