Kultum Ramadhan: Andai Timbangan Amal Kebaikan Setara dengan Keburukan
Kultum Ramadhan:
Andai Timbangan Amal Kebaikan Setara dengan Keburukan
“Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A’raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga: “Salaamun ‘alaikum”. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu“.
(QS. al-A’raf: 46-47)
Imam Muslim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash, bahwa beliau duduk di sisi Abdullah bin Umar ketika menjenguk Khabbab. Beliau berkata, “Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah Anda medengar apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa beliau mendengar Nabi bersabda,
مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ
“Barangsiapa yang keluar untuk mengantarkan jenazah dari rumahnya, dia mensholatkannya, kemudian mengikuti hingga disemayamkan, baginya dua qirath pahala, di mana satu qirath sebesar uhud. Dan barangsiapa shalat jenazah, kemudian pulang maka ia mendapatkan pahala sebesar bukit uhud.” Lalu Ibnu Umar mengutus Khabbab kepada Aisyah, untuk menanyakan tentang perkataan Abu Hurairah untuk kemudian kembali mengabarkan kepadanya. Sementara Ibnu Umar memagang satu kerikil yang ada di masjid sambil membolak-balikkan di tangannya (karena gelisah), hingga utusan itu datang. Utusan itu berkata, “Aisyah berkata, “Memang benar apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah.” Ketika itu Ibnu Umar melemparkan kerikil itu ke tanah, lalu berkata, “Sungguh aku kehilangan banyak qirath pahala.” (HR Muslim)
Begitulah jiwa yang senantiasa bermuhasabah. Ia menyesali kesempatan yang telah terlewat, untuk kemudian ia perbaiki di waktu yang masih tersisa. Tak hanya menghitung apa yang telah dilakukan,namun juga mengingat apa yang telah ditinggalkan di antara amal yang mestinya dilakukan.
Deret Ukur Pahala, Deret Hitung Dosa
Dengan kemurahan-Nya, Allah memberi perhitungan yang menguntungkan hamba-Nya. Di mana setiap kebaikan yang dilakukan seorang mukmin akan dilipatkan pahalanya, sepuluh kali hingga 700 kali bahkan hingga kelipatan yang banyak lagi. Sementara setiap dosa yang dilakukan seorang mukmin, hanya dihitung sekali saja. Dengan kata lain, penambahan pahala berdasarkan deret ukur; sepuluh, duapuluh, tigapuluh dan seterusnya. Sedangkan penambahan dosa berdasarkan deret hitung; satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan penghitungan amal semacam ini, tidak sepantasnya hitungan amal keburukan kita lebih banyak dari amal kebaikan. Hasan al-Bashri berkata, “Pahala kebaikan dilipatkan, sedangkan sekali dosa dihitung satu, maka celakalah bagi orang yang hasil kelipatannya lebih sedikit dari satuannya.”
Baca Juga: kultum Ramadhan: Takkan Mati Sebelum Habis Jatah Rezeki
Selagi masih ada waktu, di mana kita masih berkesempatan memperberat daun timbangan kebaikan dan mengurangi atau bahkan mengosongkan daun timbangan keburukan, selayaknya kita senantiasa menghitung dan memperkirakan hasil timbangan amal yang telah kita lakukan. Sebelum nantinya amal kita betul-betul ditimbang, dan tak ada lagi tambahan pemberat kecuali yang telah kita usahakan di dunia.
Ketika Baik dan Buruk Sama Beratnya
Barangkali kita sering meremehkan beberapa amalan sunnah yang memiliki fadhilah besar, karena kita lupa akan yaumul mizan, hari di mana setiap amal kita akan ditimbang. Bayangkan seandainya posisi kedua daun timbangan sejajar, yakni sama antara hitungan kebaikan dan keburukan kita. Apa kira-kira yang kita angankan ketika itu? Andai saja dahulu saya menambah dengan sedekah, andai dahulu saya melakukan shalat jenazah, andai saja dahulu saya menambah dua rekaat shalat sunnah, dan ketika itu kita tahu betapa berharganya nilai sebuah amal.
Allah mengisahkan keadaan penghuni a’raf dalam firman-Nya,
وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ ۚ وَعَلَى الْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّا بِسِيمَاهُمْ ۚ وَنَادَوْا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَن سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۚ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ
“Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A’raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. “(QS. al-A’raaf: 46)
Ibnu Katsier rahimahullah menyebutkan perbedaan pendapat para mufassirin tentang siapakah penghuni A’raf, namun kesemuanya bermuara pada makna yang dekat, bahwa penghuni A’raf adalah orang yang memiliki timbangan amal yang sama antara kebaikan dan keburukan. Mereka berada di tempat yang tinggi, perbatasan antara jannah dan neraka. Sehingga mereka bisa menyaksikan betapa kontrasnya pemandangan antara keduanya. Sedangkan diri mereka sendiri masih menunggu kepastian, ke manakah ia akan ditempatkan. Betapa gelisahnya mereka, berada dalam posisi ketidakpastian. Amal kebaikannya memang cukup untuk menyelamatkan dirinya dari neraka, namun belum cukup untuk memasukkannya ke dalam jannah.
Tatkala melihat penduduk jannah yang menyandang segala kenikmatannya, mereka mengucapkan selamat, dan mereka sangat ingin sekali masuk ke dalamnya,
“Dan mereka menyeru penduduk surga: “Salaamun ‘alaikum”. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).” (QS al-A’raf 46)
Andai saja ada sedikit saja tambahan amal yang memperberat timbangan amal, tentulah ia sudah bergabung bersama penduduk jannah.
Dan tatkala ia menoleh ke neraka, merekapun melihat bagaimana penderitaan yang dialami oleh penghuninya. Merekapun ketakutan, jangan-jangan tempat terakhirnya adalah neraka bersama mereka. Andai saja ada satu dosa yang ia tinggalkan, atau ada satu amalan lagi yang menghapus dosa-dosanya, tentulah ia terjamin selamat dari neraka. Hingga merekapun berdoa,
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu“. (QS. Al-A’raf: 46)
Untuk saat-saat seperti itulah kita banyak mengingat. Agar kita tidak meremehkan satu kebaikanpun yang Allah berikan peluangnya untuk kita. Takkan kita biarkan lagi terlewat keutamaan berjalan menuju masjid, di mana satu langkah bisa menambah timbangan kebaikan, dan satu langkah lagi menggugurkan dosa-dosa. Takkan kita remehkan pula sedekah meski dengan sedikit yang kita miliki. Karena di perhitungan kelak, sekecil apapun amal bisa menjadi penentu akhir nasib kita di akhirat. Allahumma a’inna ‘ala dzikri-Ka, wa husni ‘baadati-Ka. Aamiin