Kufur Juhud
وَلاَ يَخْرُجُ الْعَبْدُ مِنَ اْلإِيْمَانِ إِلاَّ بِجُحُوْدِ مَا أَدْخَلَهُ فِيْهِ
(69) Seorang hamba tidak keluar dari range iman kecuali jika juhud terhadap sesuatu yang dikategorikan bagian dari iman
Dikarenakan matan ini—dan matan ke-66 (ar-Risalah edisi 106)—sebagian orang menuduh Abu Ja’far ath-Thahawiy berpaham Murji’ah yang menyatakan bahwa kekafiran hanya terjadi dengan istihlal dan juhud. Ini adalah tuduhan yang salah alamat. Sebab matan ini—melengkapi matan ke-66—dimaksudkan oleh Abu Ja’far ath-Thahawi sebagai antitesa terhadap pemikiran Khawarij dan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seseorang yang mengaku beriman tidak lagi beriman jika ia melakukan dosa besar dan atau meninggalkan salah satu dari amalan fardhu seperti berzina, mencuri, tidak membayar zakat, tidak berpuasa di bulan Ramadhan, durhaka kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya. Jika dengan matan ke-66 Abu Ja’far menerangkan bahwa seseorang bisa menjadi kafir lantaran melakukan istihlal, pada matan ke-69 ini beliau menerangkan bahwa seseorang bisa menjadi kafir lantaran melakukan juhud. Jadi beliau bukan menyatakan bahwa seseorang itu menjadi kafir hanya jika ia berbuat istihlal dan juhud.
Bukan hanya karena mendustakan
Di dalam Majmu’ Fatawa juz 7/292, Ibnu Taymiyah menyatakan, “Kekafiran itu bukan hanya dengan mendustakan. Sekiranya seseorang mengatakan, ‘Aku tahu bahwa kamu benar, tetapi aku tidak mengikutimu. Sebaliknya aku memusuhimu, membencimu, dan menyelisihimu,’ ini adalah kekafiran besar. Iman bukanlah pembenaran saja sebagaimana kekafiran juga bukan pendustaan saja. Sebagaimana kekafiran terjadi dengan pendustaan, penyelisihan dan permusuhan meski tidak mendustakan; iman pun terjadi dengan membenarkan, loyal, dan ketundukan. Hanya membenarkan/percaya saja tak cukup.”
Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami menulis, “Berbagai macam kekafiran itu tidak keluar dari empat jenis: kufur jahl dan takdzib, kufur juhud, kufur ‘inad dan istikbar, serta kufur nifaq… Jika tidak ada pembenaran disertai dengan tidak adanya ilmu terhadap kebenaran, maka inilah kufur jahl dan takdzib. Allah berfirman, ‘Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang belum mereka ketahui dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.’ (Yunus: 39)… Jika ia menyembunyikan kebenaran padahal ia mengerti bahwa hal itu benar, maka ini adalah kufur juhud dan kitman. Allah berfirman, ‘Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.’ (An-Naml: 14)”
Mirip Istihlal
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara kufur istihlal dan juhud. Itulah sebabnya kita hampir tidak menjumpai adanya ulama yang membahas perbedaannya. Yang ada justru para ulama yang menyamakan atau menyebut salah satunya tetapi memaksudkan keduanya sekaligus.
Ibnu Bathah menyatakan, “Setiap orang yang meninggalkan sesuatu yang difardhukan oleh Allah dalam Kitabnya dan ditegaskan oleh Rasulullah SAW di dalam sunnahnya, orang itu meninggalkannya lantaran juhud dan takdzib, maka orang itu telah kafir dengan kekafiran yang nyata.”
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Kita pun memastikan kafirnya setiap orang yang mendustakan dan mengingkari salah satu pondasi syariat dan perkara yang mutawatir, seperti orang yang mengingkari dan juhud terhadap wajibnya shalat lima waktu.”
Beliau juga berkata, “Demikian pula orang yang mengingkari al-Qur`an atau salah satu huruf yang ada di dalamnya, atau merubahnya atau menambahinya. Juga orang yang mengingkari sesuatu yang dinaskan al-Qur`an setelah ia mengetahui bahwa hal itu ada di dalam al-Qur`an yang berada di tangan masyarakat. Pun ia tinggal bersama orang-orang Islam dan tidak jahil terhadapnya, tidak baru saja masuk Islam. Demikian pula halnya dengan orang yang mengingkari neraka atau surga atau hari kebangkitan atau hisab atau hari Kiamat, orang itu kafir berdasarkan ijmak nas dan ijmak umat atas kabarnya yang mutawatir.”
Ibnu Qudamah juga berkata, “Apabila seseorang juhud—ini terkait dengan kewajiban shalat—padahal ia tinggal di daerah yang dipenuhi oleh ahli ilmu, maka ia dihukumi kafir hanya karena juhud terhadapnya.”
Ibnu Qudamah menyatakan, “Barang siapa yang meyakini kehalalan sesuatu yang disepakati para ulama keharamannya, dan umumnya kaum muslimin pun mengetahuinya, serta tidak ada syubhat terkait dengan nash-nashnya, seperti haramnya babi, zina, dan yang semisal dengannya, ia pun dihukumi kafir.”
Ibnu Taymiyah, “Barang siapa yang menolak wajibnya sebagian kewajiban yang jelas dan mutawatir atau menolak pengharaman sebagian perkara yang diharamkan yang jelas dan mutawatir seperti berbagai perbuatan keji—zina, liwath—menzhalimi sesama, judi zina, dan lain sebagainya atau menolak kehalalan sebagian perkara yang halal yang jelas dan mutawatir seperti roti, daging, dan nikah, maka orang itu kafir murtad, diberi waktu untuk bertaubat. Jika tidak mau bertaubat, ia dihukum bunuh.” Masalahnya bukan roti, tetapi menentang Allah.
Beda Juhud dan Istihlal
Meskipun banyak ulama yang menyamakan antara keduanya, ada juga yang membedakannya. Dan sebenarnyalah secara bahasa pun keduanya sudah berbeda.
Secara bahasa, istihlal berarti menghalalkan; sedangkan juhud berarti menolak/mengingkari.
Maka jika ada orang yang mengaku beriman tetapi ia meyakini bahwa Allah tidak mengharamkan sesuatu yang sebenarnya diharamkannya dan bahwa Allah membolehkan sesuatu yang sebenarnya diharamkan-Nya, ia telah melakukan kufur istihlal. Meskipun tidak melakukannya, seseorang bisa saja kafir lantaran menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Seseorang yang mengatakan bahwa zina itu halal, ia telah kafir; sedangkan orang yang melakukan belum tentu kafir. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman tetapi ia menolak kewajiban shalat, puasa, haji, berbakti kepada kedua orang tua, dan berbagai kewajiban lain yang ditetapkan berdasarkan nash shahih-sharih, ia telah melakukan kufur juhud.
Kufr juhud ada dua: pertama, juhud lahir dengan lisan dan amal sedangkan hati mengetahui dan meyakini kebenaran seperti juhudnya orang-orang Yahudi terhadap kenabian Muhammad saw sementara hati mereka mengerti dan membenarkan bahwa beliau adalah Nabi dan Rasul Allah. Allah berfirman, “Mereka juhud (ingkar) karena kezaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An-Naml: 14)
“Dan tidak ada yang juhud (mengingkari) ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi kufur.” (Luqman: 32)
“Dan di antara mereka (orang-orang kafir Mekah) ada yang beriman kepadanya. Dan tidaklah juhud (mengingkari) ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.” (Al-‘Ankabut: 47)
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur`an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang kafir itu.” (Al-Baqarah: 89)
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Kedua, juhud batin yang tidak dilahirkan seperti juhudnya orang-orang munafik.
Ada jenis ketiga yang meliputi keduanya: juhud lahir batin, seperti juhudnya orang-orang Atheis dan orang-orang kafir yang semisal dengan mereka yang kekafirannya berlapis-lapis dan berat.
Wallahu a’lam.