Komitmen Manusia tak Sempurna
Pengikat hati itu adalah komitmen. Berawal dari sebuah keyakinan yang mantap, untuk kemudian berubah menjadi tindakan sadar yang bertanggung jawab. Salah satunya adalah bersiap menghadapi setiap tantangan yang menghadang, menaklukkan semua ujian yang datang, menyadari risiko yang ada, serta keadaan-keadaan yang tidak mengenakkan lainnya.
Maka, saat pilihan untuk menikah itu datang, kita mestinya sadar, sesadar-sadarnya malah, bahwa jalan yang terbentang di depan sana sangat terjal dan berliku. Penuh onak dan duri, serta tak sepi dari air mata. Konflik, pendidikan, finansial, ipar dan mertua, tetangga, dan karir, adalah di antaranya. Bukankah kita tidak sedang bermimpi, namun hidup di alam nyata?
Tidak ada –kecuali Allah menghendaki- hal yang kita temui dalam hidup, seluruhnya mulus tanpa hambatan. Indah seperti impian, manis laksana khayalan. Namun yang ada adalah hal-hal tak terduga berbeda dengan rencana. Juga fakta-fakta mengejutkan yang seringkali, nyaris membuat kita frustasi dan putus asa. Mimpi sedih yang menjadi nyata.
Romantisme cinta yang indah itu bisa jadi tidak ada dalam kehidupan nyata. Kalaupun ada, ia tidaklah kekal. Serupa kisah cinta dalam film yang hanya berdurasi 2 sampai 3 jam. Ia akan usai dan pergi bersama kenangan indah yang tidak menjejak bumi. Hasrat yang menggebu-gebu itu telah berlalu. Keindahan ragawi dan hal-hal lain yang pernah membuat kita mabuk telah berubah bentuk. Fluktuasi rasa yang timbul tenggelam, tinggi rendah, menguat dan melemah menguapkan kemesraan dan menipiskan kasih sayang.
Dan kini, tinggallah komitmen akan nilai-nilai yang dipegangi. Komitmen yang membuahkan kesabaran menjalani hari-hari sulit, juga kelapangan dada saat menemukan si dia yang sesungguhnya. Karena kita tidak lagi berbicara tentang wajah yang indah, yang telah berubah. Tentang raga yang kini memulai lemah karena tua. Tentang harta yang bisa binasa. Atau tentang pangkat dan kedudukan yang bisa saja tak lagi ada.
Keinginan menjadi hamba Allah yang baik, memanfaatkan usia yang tak lagi belia, memproduktifkan waktu yang terus melaju, kesemuanya dalam keshalihan amal dan tetap berhusnuzhan kepada-Nya. Hal-hal seperti inilah yang akan melahirkan komitmen. Dalam pernikahan, ia berarti komitmen untuk menyelamatkan biduk rumah tangga; memastikan tercapainya tujuan, peduli kepada setiap penumpang yang ada, juga kesediaan kita untuk mengatur prioritas agar keluarga mendapatkan haknya.
Kita berkomitmen menjadi kepala keluarga; suami dan ayah yang baik, istri-istri kita berkomitmen untuk menjadi pendamping suami dan ibu yang baik. Kesetiaan terhadap tugas dan fungsi, nilai, capaian yang lebih tinggi, misalnya, ridha Allah dan anak-anak yang shalih shalihah. Hal-hal seperti itu yang mestinya lebih kita utamakan daripada sibuk mempersoalkan hal-hal sepele yang menyesakkan dada. Membuat kita tidak terima, menyalahkan Allah atas takdir-Nya, atau berkeluh kesah alih-alih bersyukur atas nikmatNya.
Jangan merendahkan diri dengan bangunan iman yang goyah dan nyaris runtuh hanya karena masalah-masalah remeh temeh. Sebaris gigi berbaris rapi dalam senyum yang menawan, kerlingan mata, ajakan berkenalan yang kemudian berujung pada perselingkuhan, atau kesibukan tak jelas yang melalaikan. Di mana para qawwam keluarga yang teduh dan berwibawa itu? Kenapa kita menjadi kanak-kanak yang tidak pernah mau berhenti bermain-main, sedang pertaruhannya sedemikian besar?
Ruh ibarat jalur frekwensi radio. Jika berada pada gelombang yang sama, ia akan terhubung dan merasa nyaman, satu dengan yang lain. Lalu, apakah yang menyamankan diri kita saat bersama istri-istri kita? Keshalihan yang merupakan sebaik-baik harta dunia, atau sekedar tubuh langsing yang nyaris tanpa cela? Pada apa yang membuat kita nyaman, di situlah nilai kita sesungguhnya.
Kecerewetan kita kepada hal-hal yang tidak substansial, komitmen yang rendah terhadap penjagaan keluarga, serta ketidakpedulian akan perasaan mereka, justeru, menunjukkan seberapa sebenarnya nilai kita. Siapa diri kita sesungguhnya.
Bahwa dalam perjalanan berkeluarga kita akan merasakan lelah, lemah, dan bosan, ya, itu sangat besar kemungkinannya. Dan itu bisa sangat menyita perhatian dan menguras energi. Namun kita, insyaallah, akan dengan mudah bangkit kembali jika hal itu karena rutinitas yang padat, jadwal yang ketat, atau tekanan yang berat. Bukankah hal ini sangat manusiawi? Penat setelah bekerja berat.
Akan halnya kebosanan dan kelelahan yang muncul karena penolakan terhadap pasangan, terhadap ‘kerja’ sebagai kepala keluarga, sangat lain keadaannya. Alih-alih pulih dan bersemangat memulai kerja baru, seluruh yang kita rasakan adalah kelelahan itu sendiri. Kehidupan berkeluarga jadi hambar, kehilangan daya tarik, terasa menyiksa, penuh tekanan dan intimidasi. Ada perbedaan mendasar antara lelah setelah bekerja dengan lelah di saat bekerja.
Maka, daripada sibuk menolak pasangan, lebih baik kita menerima kekurangannya kemudian fokus melakukan perbaikan yang diperlukan. Dan berharap semoga semuanya menjadi amal shalih kita di sisi-Nya. Karena kita memang manusia yang tidak sempurna, maka kita harus berkomitmen untuk saling mendukung bergandengan tangan di jalan berliku. Ta’awun ‘alal birri wat taqwa!
Subhanallah