Kisah yang Belum Usai
Bagaimana kita tidak terpesona pada semua yang menyamankan panca indera, sedang surga pun memberi iming-iming baginya, meski hakikatnya sangat jauh berbeda? Namun, seberapa peka kita akan ‘masa’ pesona itu, jika faktanya tak semua kilau abadi adanya? Beberapa yang kemudian terbukti palsu, tak sendirian saat pergi. Mereka membawa tawanan, jiwa-jiwa yang kagum, kepada pesta yang usai tanpa damai, sebab sesal membuncah di dada.
Rasulullah telah berpesan bahwa nilai dari sesuatu adalah akhirnya. Namun acap kali kita abai sebab seluruh indera telah mencecap kenikmatan pesona itu. Bahkan mengingikannya lebih. Serupa kondisi tersihir yang melenakan hingga lupa akan arahan dan jejak-ejak yang tertinggal. Padahal, bahkan kesesatan sekalipun meninggalkan tanda-tandanya.
Pertama adalah melacak keadaan batin, sebab ia yang akan berkompromi dengan nikmat badani. Apakah ia selaras dalam kedamaian yang menentramkan, ataukah bertentangan hingga menyisakan pemberontakan. Sebab bagaimanapun, hati memiliki bahasanya sendiri. Yang akan tetap jujur meski kita berusaha dalam-dalam menguburkannya. Bukankah dosa menggelisahkan jiwa?
Lalu pada atas nama apa kita melupakan takwa, sebagai substansi kebaikan dan keberhasilan yang sejati? Hingga kita merindu kesuksesan yang bahkan dimiliki oleh-oleh orang-orang yang ingkar. Keberhasilan yang tidak paralel dengan keimanan sebab ia menjadi milik bersama sesiapapun yang bekerja keras untuk meraihnya. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya.
Akan halnya Allah, maka Dialah Sang Pemilik informasi tentang yang baik dan yang buruk secara hakiki. Juga tentang bagaimana meraih kebaikan, juga bagaimana menghindari keburukan itu. Dialah satu-satunya yang menduduki posisi itu tanpa ada satupun selain-Nya. Dia Mahakaya lagi Mahamulia yang tidak membutuhkan apa-apa lagi. Jumlah pengikut yang banyak untuk meneguhkan posisi, atau untuk mengangkat hinanya kesendirian.
Dia memberi manfaat kepada hamba-hambaNya dalam kecukupanNya dari mereka. Semata-mata menginginkan kebaikan bagi manusia, dan menghindarkan mereka dari keburukan yang sebenarnya tanpa kecuali, tanpa tendensi. Untuk apa? Sedang hal itu tak layak bagiNya. Dia bahkan tidak peduli jika kebenaran ini menyakitkan bagi para penghamba hawa nafsu. Karena rasa dan selera bukanlah standar kebenaran itu sendiri.
Maka, siapapun yang ‘sukses’ dengan meninggalkan Allah, sejatinya hanyalah sebuah episode dari kisah yang belum usai. Kelak, akan tersingkap yang sebenarnya tentang mereka. Bahwa madharat yang akan menimpa berlipat ganda dan sangat menyiksa. Siapa yang peduli pada akhir tragis dari para penghamba dunia?(trias)