Kesetaraan Gender
Mungkin kita bertanya-tanyatatkala menjelang tengah malam melewati suatu ruas jalan di luar kotakok macet. Setelah berhasil melewati kemacetan itu, barulah tahu ternyata disebabkan ribuan manusia yang keluar dari sebuah pabrik garment, ribuan yang lain masuk, agaknya sedang terjadi pergantian shift kerja. Sebagian besar wanita.
Kesetaraan Gender dalam Bantuan dan Investasi Asing
Masuknya investasi asing ke negara-negara berkembang merupakan langkah lanjut liberalisasi dalam bidang ekonomi. Paham liberalisme, meniscayakan mereka yang dengan bakat dan keahliannya di bidang ekonomi untuk memiliki modal dan terus memperbesar modalnya tanpa batas.
Para pemilik modal itu, baik di-personifikasi-kan oleh goverment, atau semi-goverment seperti IMF, World Bank, maupun pihak swasta, mereka pasti punya kepentingan. Apakah kepentingan itu murni ekonomi, atau kepentingan lain jangka panjang yang disembunyikan, yang pasti bukan demi menolong negara dan penduduknya yang sedang mereka pinjami, meskipun mereka menamakannya bantuan, atau bahkan ‘hibah’ sekalipun.
Mereka tidak melakukan investasi modal tanpa syarat, ‘tidak ada makan siang gratis’. Syarat-syarat itu diantaranya : demokratisasi di bidang politik, menghilangkan hambatan biaya masuk dalam bidang perdagangan dan kesetaraan gender. Yang dimaksud persyaratan kesetaraan gender, bahwa bantuan atau investasi yang dikucurkan harus memberi konsesi ruang keterlibatan wanita dalam proyek yang dimaksud. Jika dalam bentuk pembukaan pabrik, maka pabrik itu harus memperkerjakan sekian persen tenaga kerja wanita. Jika bantuan kepada goverment, maka pemerintah tersebut harus punya political will untuk keterlibatan lebih luas bagi wanita dalam berbagai ruang publik.
Mengapa? Semua produk barat dalam seluruh aspeknya, tumbuh dari spirit liberalisme, penjebolan terhadap norma-norma agama dan pemberontakan sistem politik monarchi. Maka seluruh turunan produknya, secara otomatis pasti mengandung nafas dan detak jantung kehidupan paham liberal, baik transparan maupun hidden agenda, agenda terselubung.
Sikap Kebanyakan Goverment terhadap Bantuan dan Investasi Asing
Pemerintahan di negara-negara berkembang, mayoritas bersikap inferior. Mereka selalu berharap agar negaranya menjadi tujuan menarik investasi modal asing. Agar menjadi negara yang eksotik sebagai tujuan investasi, mereka berusaha mati-matian mencitrakan diri sebagai negara dengan pemerintahan yang stabil jauh dari gonjang-ganjing politik, kondisi keamanan mantap tidak ada gangguan aksi terorisme dan kemudahan regulasi peraturan yang membuat investor merasa nyaman.
Di sisi lain, para politisi yang memerintah itu, mengambil keuntungan dari hidupnya perputaran ekonomi, berkurangnya jumlah pengangguran karena terserap oleh perusahaan yang ber-investasi tersebut,… dan yang terpenting, jika pemerintahannya stabil,pertumbuhan ekonomi positif, hal itu (juga) merupakan investasibagi para politisi itu untuk masuk bursa pencalonan lagi periode selanjutnya.
Jadi, ilustrasi yang digambarkan pada awal tulisan ini, sejatinya bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan tetapi by design, setidaknya bagi para investor. Mereka sadar betul bahwa uang yang mereka miliki adalah kekuatan.Uang merupakan alat penjajahan baru yang efektif. Disatu sisi mereka dapat menekan para peminjam dengan menggunakan modal yang dimiliki, disisi lain negara terjajah tidak begitu sadar bahwa sejatinya mereka berada dalam penjajahan bentuk baru yang lebih halus.
Begitu halusnya, sehingga dapat meminimalkan perlawanan penduduk terjajah, karena mereka tidak merasa terjajah, bahkan merasa dibantu. Meskipun dalam jangka panjang mereka merasakan akibatya;mereka tergantung kepada asing, posisi tawar mereka rendah di hadapan pemberi hutang, kekayaan alam mereka terkuras habis, antara biaya hidup dan pendapatan makin jauh jaraknya, sementara hutang negara terus terakumulasi.
Kerusakan Institusi Keluarga Akibat Kesetaraan Gender Kaum Liberal
Salah satu prinsip yang diusung oleh negara-negara penganut paham kebebasan adalah kesamaan derajat antara kaum laki-laki dan wanita. Konsep kebebasan yang mereka anut pun, bukan konsep berbagi tugas sesuai dengan fitrah dan bersekutu pahala seperti dalam Islam. Kebebasan yang mereka tuntut adalah kebebasan dalam nuansa pemberontakan seperti pada awal kelahiran liberalisme di akhir abad 18 masehi.
Mereka menginginkan kesamaan hak penuh antara laki-laki dan perempuan, berebut kesempatan yang sama dimana kaum laki-laki berkiprah. Mereka menuntut bebas keluar rumah, bebas bekerja, bebas mengelola hasil kekayaan mereka sendiri, bebas menentukan pasangan hidup, bebas menentukan untuk tidak terikat dengan ikatan pernikahan, bebas ber-ekspresi tanpa terikat oleh norma-norma agama yang dalam pandangan mereka membelenggu. Juga hak di dalam bidang politik.
Sebagian yang mereka tuntut, pada dasarnya hak itu diakui oleh Islam, seperti mengelola dan men-tashorruf-kan (mendistribusikan) hartanya sendiri (hasil usahanya, hibah dari orang lain maupun warisan). Islam tidak menghalangi mereka untuk membelanjakannya dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Tetapi banyak tuntutan lain yang sejatinya keluar dari fitrahnya dan merusakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim dalam jangka panjang.
Tuntutan kaum wanita atas nama emansipasi seperti kampanye kaum liberal yang mengaku Islam, kesetaraan gender, atau apapun, ketika keluar dari fitrahnya, akan meruntuhkan sendi-sendi masyarakat Islam. Kebebasan itu ber-implikasi langsung tidak terurusnya anak-anak dan suami mereka, rumah tangga mereka menurun kualitas dan intensitas komunikasinya, kasih sayang mengering, akhirnya ikatan keluarga terburai. Terampasnya ruang kaum lelaki untuk bekerja, akibat terisinya peluang kerja tersebut oleh kaum wanita, apalagi sering kali bayaran yang dikeluarkan untuk mereka lebih kecil dibandingkan jika memperkerjakan laki-laki.
Keluarnya mereka juga berakibat terjadinya ikhtilath, bercampurnya kaum laki dan kaum wanita dalam pekerjaan dan interaksi intensif antara laki-laki dan wanita dalam durasi yang panjang dan frekuensi yang terus terulang, menimbulkan masalah baru seringnya terjadi pelanggaran moral dan agama. Disisi lain, intensitas dan kualitas hubungan mereka dengan suami dan anak-anaknya semakin menurun. Hal ini meniscayakan kemerosotan kualitas institusi keluarga sebagai basis pengkaderan generasi dan efeknya pasti akan terasa dalam jangka panjang. Pendirian pabrik-pabrik, selalu diikuti dengan menjamurnya mess-mess pekerja di sekitar pabrik untuk menampung buruh yang tempat tinggalnya jauh. Interaksi sosial sesama mereka dan kebutuhan-kebutuhan biologis mereka, disertai rendahnya tingkat pendidikan dan kehidupan keber-agama-an mereka, sering berimplikasi merosotnya kualitas moral dan terjadinya pelanggaran etika.Apalagi, atas nama efisiensi, banyak pabrik yang membagi shift kerja hingga tiga daur dalam 24 jam, dan tidak mengecualikan pekerja wanita dalam daur shift tersebut. Masih atas nama kesetaraan gender tadi.Sulit sekali untuk memandang masalah ini sebagai suatu kebetulan, mengingat latar belakang ideologi yang dianutnya, sejarah pertumbuhannya dan segala aspek yang melingkupi.
Barat sendiri menyadari keruntuhan moral dalam kehidupan masyarakat mereka. Tetapi nyatanya mereka tetap meng-eksport cara hidup itu dengan berbagai bentuk kekuatan dan tekanan agar dapat diterima. Tampaknya barat tidak mau tercebur jurang sendirian. Sedihnya, para penguasa di negara-negara berkembang yang mayoritas Islam itu tidak menyadari bahaya tersebut. Semua disebabkan karena mata hati mereka tertutup oleh tujuan-tujuan politis yang membutakan itu,wal-’iyaadzu billah.