Kepemimpinan yang Mandul
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” Qs. An Nisa’ 34
Ini adalah ayat yang sangat terkenal di antara kita, khususnya para pemerhati wacana keluarga sakinah. Sebuah ayat yang sangat penting sebab banyak hukum dan pemahaman keluarga bisa kita dapatkan darinya. Namun diperlukan kejelian untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan tidak salah dalam pengaplikasiannya.
Yang pertama tentang legalitas kepemimpinan (qowwamah) laki-laki atas perempuan. Bahwa kepemimpinan ini sah secara syariat sebab Allah Sang Pencipta manusialah yang menetapkannya. Karena Dia yang menciptakankan, maka Dia pulalah yang mengetahui apa dan bagaimana ciptaanNya itu. Termasuk fakta bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dengan semua kelebihan fisik dan non fisik untuk mengemban tugas kepemimpinan yang lebih sesuai dengan penciptaannya daripada perempuan.
Hal ini bukanlah menunjukkan keutamaan yang pantas dicemburui, sebab masing-masing mendapatkan pekerjaan yang berbeda sesuai tabiatnya, dengan keadilan Allah dalam memberikan balasan yang setimpal dengan usaha masing-masing pihak. Allah berfirman dalam ayat 32 surat An Nisaa’, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Di sini, kepemimpinan bukan hanya merupakan ‘fasilitas’ bagi laki-laki untuk menikmati ketaatan dan pelayanan dari perempuan, namun juga sebuah tanggung jawab yang sangat besar, sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah kelak. Di mana pengabaiannya akan membawa kecelakaan dunia akhirat. Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaga, atau mengabaikannya. Hingga Allah akan bertanya kepada laki-laki tentang anggota keluarganya.” HR. Ibnu Hibban.
Juga sabda Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam yang lain, “Cukuplah seseorang berdosa, jika dia mengabaikan yang menjadi tanggung jawabnya.” HR. An-Nasai
Yang kedua tentang dua syarat utama keqowwaman laki-laki, yaitu fadhilah yang dikaruniakan Allah dan karena nafkah yang mereka berikan. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah yang lain di dalam surat at Thalaq ayat 7, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
BACA JUGA : Menjelang Pernikahan
Bahkan bukan hanya memberikan nafkah, sebagai pemimpin, laki-laki juga bertanggung jawab atas kebaikan keluarganya dengan menjalankan fungsi pengambilan hukum dan pembimbingan keluarga untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Misalnya seperti penafsiran Ibnu Katsir tentang ayat qowwamah, “Laki-laki adalah pemimpin perempuan, artinya dialah ketuanya, pembesarnya, pengambil keputusannya, dan pendidiknya jika dia menyeleweng.”
Juga firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” QS. At Tahrim 6
Yang ketiga tentang ciri istri-istri shalihah, yaitu taat kepada Allah dan menjaga kehormatan diri mereka ketika suami tidak ada di rumah, dan sebagai balasannya, Allah akan menjaga mereka. Yang menarik adalah adanya huruf Fa’ dalam ayat ini yang merupakan Fa’ Isti’naf. Ia adalah permulaan; di mana susunan kalimat sebelum Huruf Fa’ telah sempurna dan selesai, kemudian dimulailah kalimat baru tetapi terdapat hubungan antara kalimat sebelum Huruf Fa’ dan kalimat setelahnya.
Mengenai hal ini Ibnu Asyur dalam at Tahrir wat Tanwir berkata, “Fa’ dalam firman Nya: (فَالصَّالِحَاتُ) isti’naf permulaan untuk menyebutkan syariat hak-hak suami dan istri serta masyarakat keluarga.
Maka firman Nya: Kaum laki-laki adalah Qowwam bagi para wanita, adalah merupakan syariat utama yang menyeluruh. Di mana hukum-hukum pada ayat-ayat setelahnya adalah cabang dari syariat utama ini, jadi ia seperti sebuah mukaddimah.
FirmanNya (فَالصَّالِحَاتُ) merupakan cabang dari syariat utama itu. Sesuai dengan sababun nuzul yang ada pada ayat sebelumnya (An Nisa: 32). Jadi hukum yang ada pada ayat ini adalah hukum umum yang dihadirkan untuk memberikan alasan bagi hukum khusus.”
Kesimpulannya, semua pembahasan tentang kebaikan keluarga ditentukan oleh kualitas keqowwaman laki-laki dalam keluarga. Demikian juga sebaliknya, kekacauan dan keburukan yang menimpa keluarga, sangat dipengaruhi oleh buruknya kualitas kepemimpinan si pemimpin keluarga.
Maka tidak ada jalan lain bagi kita, para laki-laki, untuk bersungguh-sungguh berusaha menjadi pemimpin yang qawwam. Yang bertanggung jawab sepenuhnya atas amanah yang mulia ini, dan bukan malah melakukan kezhaliman dengan melakukan eksploitasi ketaatan anggota keluarga atas nama kepemimpinan. Semoga Allah memampukan kita menjadi pemimpin yang qawwam! Bukan pemimpin yang mandul!