Kekhalifahan dan Keutamaan Abul Hasan
(104) Kemudian (kekhalifahan itu kami tetapkan) untuk ‘Ali bin Abu Thalib—semoga Allah meridhainya.
Setelah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh sebagai syahid, para sahabat mendatangi ‘Ali bin Abu Thalib. Hari itu, umumnya para sahabat yakin bahwa tidak ada yang lebih berhak menjadi khalifah daripada ‘Ali. ‘Ali sendiri sedang duduk di rumahnya dirundung kesedihan yang mendalam lantaran ditinggalkan salah seorang sahabatnya yang juga sahabat kekasihnya. ‘Ali bergumam, “Ya Allah, aku berlepas diri dari segala yang terjadi pada diri ‘Utsman.”
Para sahabat Muhajirin dan Anshar mendatanginya bermaksud untuk membaiatnya. ‘Ali menolaknya seraya berkata, “Tinggalkanlah aku! Menjadi menteri lebih baik bagiku daripada menjadi amir.”
“Demi Allah, kami tidak mendapati seseorang yang lebih berhak menjabatnya daripadamu,” jawab para sahabat. Mereka terus membujuk dan meyakinkan ‘Ali hingga akhirnya ‘Ali menerimanya. Yang pertama membaiat ‘Ali adalah mereka yang tersisa dari para sahabat yang ambil bagian dalam perang Badar. Saat dibaiat, ‘Ali mencari-cari sosok dua sahabatnya: Thalhah bin ‘Ubaydillah dan Zubair bin ‘Awwam. Keduanya adalah sahabat yang paling menonjol dari kalangan ahli Badar. Lalu keduanya datang. Zubair berkata, “Orang-orang telah bertanya kepada kami sebelum engkau bertanya tentang kami. Kemudian kami katakan kepada mereka, ‘Kami tidak akan memilih pengganti ‘Ali.’ Maka ‘Ali berkata, ‘Jika demikian, urusan ini hanya layak dilaksanakan di masjid.’
Ibnu ‘Abbas tidak sependapat dengan ‘Ali. Ibnu ‘Abbas khawatir, masjid akan terkotori karena pembaiatan kali ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Kemungkinan terjadi kegaduhan dan fitnah tidak kecil. ‘Ali bersikukuh. Pembaiatan pun dilakukan di masjid.
Lebih Dekat dengan ‘Ali
‘Ali bin Abu Thalib berperawakan sedang, tidak tinggi pun tidak pendek. Wajahnya bundar bercahaya laksana purnama. Orang-orang mengatakan, siapa yang melihat wajah ‘Ali seakan-akan ia melihat Rasulullah saw. Kepala ‘Ali botak, bulu dada dan kedua bahunya lebat. Kedua tangannya kuat dan berotot.
‘Ali bin Abu Thalib diasuh oleh Rasulullah saw sejak berusia 5 tahun. Saat Nabi saw diutus, usianya 10 tahun dan ia pun masuk Islam. Dia berhijrah ke Madinah ketika berusia 23 tahun, membawa bendera kaum Muhajirin dalam perang Badar saat berusia 25 tahun. Lima tahun kemudian, ‘Ali membewa bendera kaum muslimin pada perang Khaibar dan mengusir Yahudi. Saat Nabi saw wafat, ‘Ali berumur 33 tahun. Dia diangkat sebagai khalifah di usianya yang ke-58, dan terbunuh sebagai syahid di usia 63 tahun setelah menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan.
Keutamaan ‘Ali
Sa’ad bin Abu Waqqash, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw, berkata, “Ada tiga hal yang telah diberikan kepada Ali bin Abu Thalib, sekiranya aku diberi salah satu saja, maka aku merasa telah memiliki dunia seisinya. Ketiga hal itu adalah: Rasulullah saw menikahkannya dengan putri beliau, beliau memberinya bendera pada perang Khaibar dan Allah memenangkannya, serta Rasulullah saw pernah bersabda kepadanya, ‘Tidakkah engkau ridha bila kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa.’.”
Menuruti anjuran seorang budak perempuan yang telah menyulut api keberaniannya, ‘Ali menemui Rasulullah saw. Di hadapan beliau, ‘Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu mengatakannya karena merasa takut.” Lalu ‘Ali membisu.
Rasulullah saw memandangnya seraya tersenyum dan berkata, “Kiranya, kedatanganmu ke sini untuk melamar Fathimah.”
“Benar, wahai Rasulullah,” jawab ‘Ali.
Nabi saw lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau berikan sebagai maharnya?”
“Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
Beliau lalu berkata, “Bukankah engkau memiliki sebuah baju besi?”
“Benar. Tetapi harganya tidak lebih dari 400 dirham,” jawab ‘Ali.
Rasulullah saw pun bersabda, “Baik. Tidak mengapa. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besi itu, wahai ‘Ali.”
‘Ali pun bersyukur kepada Allah. Apa yang ada di benaknya dan menjadi harapannya terkabul tanpa diduga-duga sebelumnya.
Bendera Khaibar
Dalam perang Khaibar jumlah pasukan Islam sebanyak 1400 mujahid, sedangkan keseluruhan jumlah pasukan Yahudi mencapai 10.000 personal. Mereka semua lihai dalam memainkan pedang. Mereka bersembunyi di dalam benteng-benteng yang kokoh menjulang di atas bukit yang tak mungkin dikepung, kecuali dengan susah payah dan memakan biaya yang tidak sedikit. Jadilah perang ini perang tersulit yang dihadapi oleh kaum muslimin pada masa itu.
Nabi saw memimpin pengepungan benteng Khaibar selama 13 hari. Kemudian beliau tertimpa penyakit pusing separuh (semacam migrain). Beliau mengutus Abu Bakar untuk membawa bendera, tapi Abu Bakar tidak berhasil mengalahkan Yahudi. Pada hari berikutnya beliau mengutus ‘Umar, tetapi juga tidak berhasil.
Mental dan semangat juang kaum muslimin mulai turun. Oleh karena itu beliau bersabda, “Sungguh! Besok akan aku serahkan bendera ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya!”
Maka para sahabat pun berharap bendera akan diserahkan kepadanya.
Keesokan harinya, sesudah shalat Shubuh, Nabi saw bertanya tentang ‘Ali bin Abu Thalib. Salah seorang sahabat menjawab, “Dia sedang sakit mata, wahai Rasulullah.”
Beliau pun menemui ‘Ali dan mengusap kedua matanya sehingga kedua mata ‘Ali pun sembuh dari penyakitnya. Setelah itu Rasulullah saw menyerahkan bendera perang kepada ‘Ali seraya bersabda, “Ambillah bendera ini! Taklukkanlah Khaibar dan janganlah kamu berpaling!”
Dengan gagah perkasa ‘Ali melesat membawa bendera perang dan menancapkannya di benteng terkuat milik orang-orang Yahudi Khaibar. Benteng Na’im, namanya. Saat itulah seorang pendeta Yahudi keluar dan bertanya, “Siapakah kamu?”
“’Ali, putra Abu Thalib,” jawab ‘Ali.
“Demi apa yang diturunkan kepada Musa! Kalian akan menang,” kata pendeta itu. Telah tertulis di dalam kitab mereka bahwa pembuka benteng mereka adalah lelaki bernama ‘Ali, putra Abu Thalib.
Bagai Harun di Sisi Musa
Menjelang perang Tabuk, Rasulullah saw meminta ‘Ali untuk menggantikan kedudukan beliau di Madinah. ‘Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak?”
‘Ali merasa sedih karena tidak diizinkan bergabung dengan pasukan perang. Nabi saw pun bersabda, “Sesungguhnya aku meninggalkanmu di Madinah karena keluargaku dan keluargamu.”
Pasukan mulai bergerak maju, sedangkan yang ada di Madinah hanyalah kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang munafik. Orang-orang munafik itu menyebarluaskan berita bahwa Nabi saw meninggalkan ‘Ali di Madinah lantaran ‘Ali enggan berjihad.
Saat kabar burung itu sampai ke telinga ‘Ali, ia bergegas mengambil pedangnya menemui Rasulullah saw. ‘Ali menangis. ‘Ali mengadukan kabar burung itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw bersabda, “Mereka telah berdusta, wahai ‘Ali. Tidakkah kamu ridha jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, sudah tidak ada nabi sesudahku.”
‘Ali pun kembali ke Madinah dengan hati ridha.
Terbunuh sebagai Syahid
Diriwayatkan, pada tgl 17 Ramadhan 40 H. orang-orang Khawarij bersepakat untuk memberangkatkan tiga orang jahat untuk membunuh tiga sahabat. Tiga sahabat itu adalah Ali bin Abu Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan ‘Amru bin ‘Ash. ‘Abdurrahman bin Muljam kebagian tugas membunuh ‘Ali dan ia melaksanakan tugasnya. ‘Ali bin Abu Thalib ditikamnya saat keluar rumah untuk menjalankan shalat Shubuh beberapa kali.
‘Ali bin Abu Thalib terluka parah. Jenggotnya berlumuran darah. Setelah bertahan sekitar dua hari, Allah berkenan merahmati-Nya dengan mencabut nyawanya. Dan berakhirlah masa al-Khulafa` ar-Rasyidun.
Semoga Allah meridhai ‘Ali bin Abu Thalib dan meridhai semua sahabat Nabi.