Hukum Uang Persekot
Pengertian Uang Persekot
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan: pembayaran tunai di muka atas penyerahan barang atau jasa yang harus dipertanggungjawabkan penerima pada suatu tanggal kemudian.
Uang Persekot dalam bahasa Arab disebut dengan al-‘Arbun. Di dalam al-Mughni Ibnu Qudamah menjelaskan, “Uang Persekot di dalam jual beli adalah seseorang membeli suatu barang, kemudian dia membayar sejumlah uang kepada penjual, dengan perjanjian jika dia mengambil barang tersebut, maka uang tersebut menjadi bagian dari harga pembayaran, tetapi jika dia tidak mengambil barang, maka uang tersebut menjadi milik penjual .” (lihat juga Adil al-Azzazi dalam Tamam al-Minnah: III/340).
Hukum Uang Persekot
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang persekot yang diberikan pembeli kepada penjual.
Pendapat Pertama: Uang persekot hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.
Dalilnya:
Pertama: Firman Allah, “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. “ (Qs. an-Nisa’: 29)
Al-Qurthubi dalam tafsirnya (5/150) menjelaskan, “Dan termasuk memakan harta dengan cara yang batil adalah jual beli al-‘urban ( dengan memberikan uang persekot). Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sebagian ahli fiqih di Hijaz dan Iraq, karena hal itu termasuk perjudian, gharar, dan sesuatu yang spekulatif, serta memakan harta orang lain dengan cara yang batil tanpa ada imbalan dan pemberian. Jual beli seperti ini batil menurut kesepakatan ulama. “
Az-Zurqani berkata di dalam Syarh al-Muwatha’ ( 3/51 ), “Uang persekot dalam jual beli adalah batil menurut para ahli fiqh karena di dalamnya terdapat syarat (yang batil), spekulatif dan memakan harta orang lain dengan cara tidak benar. “ (lihat juga al-Baji dalam al-Muntaqa:3/440).
Kedua: Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata, “ Rasulullah melarang jual beli al-‘Urban (yaitu dengan memberikan uang persekot).” (HR. Abu Dawud ( 3502 ), Ibnu Majah (2192)
Ash-Shon’ani berkata, “Di dalamnya ada rawi yang tidak disebut namanya, tetapi disebut dalam riwayat lain, ternyata dia lemah. Hadist ini mempunyai jalan lain, tetapi tidak lepas dari masalah.” (Subulu as-Salam: 3/ 17).
Ketiga: Uang Persekot dalam jual beli termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil. Sebab penjual akan mendapatkan uang tersebut jika pembeli membatalkan transaksi. Disini pembeli menjadi rugi dan dia tidak mendapatkan imbalan sedikitpun.
Keempat: Uang persekot ini seperti al-Khiyaar al-Majhul (hak pilih yang tidak ditentukan waktunya). ( Abdul Aziz Salman, al- Asilah wa al- Ajwibah : 4/108 ) . Maksudnya, pembeli mensyaratkan kepada penjual kalau saya tidak setuju maka barang ini akan saya kembalikan kapan saja, tanpa ada batasan waktu, tentunya ini adalah syarat batil.
Asy-Saukani berkata, “Alasan dilarangnya uang persekot karena mengandung dua syarat yang rusak, salah satunya mensyaratkan bahwa apa yang dibayarnya di muka akan menjadi milik (penjual) secara gratis jika dia membatalkan transaksi. Adapun yang kedua pembeli mensyaratkan akan mengembalikan barang yang diambilnya jika dia tidak berminat.” (Nailu al-Authar: 5/215).
Pendapat Kedua : Mengatakan bahwa uang persekot dalam jual beli hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Ibnu Sirrin, Said bin Musayyib, dan Imam Ahmad serta mayoritas pengikutnya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni: VI/ 331-332).
Dalil mereka sebagai berikut :
Pertama : Atsar Nafi’ bin Abdu al-Harits:
“Bahwa Nafi’ bin Abdu al-Harits pernah membelikan dari Shafwan bin Umayyah sebuah bangunan penjara untuk Umar bin al-Khattab, dengan perjanjian, apabila Umar setuju ( berarti selesai masalah ). Bila beliau tidak setuju, maka Nafi’ memberikan uang kepada Shafwan 400 dirham. ( Atsar Riwayat al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra ( 6/34 ), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (5/392). Di dalam atsar ini ada rawi majhul yaitu Abdurrahman bin Farukh Maula Umar tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Amru bin Dinar, dan al-Bukhari meriwayatkan darinya secara ta’liq saja.
Kedua: Uang persekot merupakan kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu, oleh karena itu transaksi seperti ini dibolehkan. (Lihat Abdurrazaq as-Sanhuri di dalam Mashadir al-Haq: II/ 101).
Hal ini menyebabkan barangnya tidak bisa dijual selama menunggu, sehingga tidak tepat kalau dikatakan uang tersebut sebagai bentuk pungutan tanpa ada imbalan sesuatu. Sebagai contoh, perusahaan bis yang menjual ticket kepada penumpang seminggu sebelum keberangkatan, maka dibolehkan bagi penjual untuk meminta uang persekot dari pembeli sebagai jaminan dan bentuk keseriusannya untuk membeli ticket tersebut, karena ticket yang dipesan tersebut tidak bisa dijual kepada orang lain.
Ketiga: Uang persekot ini tidak bisa disamakan dengan al-Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya memberikan uang persekot adalah adanya waktu tenggang yang batasannya disepakati oleh kedua belah pihak.
Keempat: Di dalam pemberian uang persekot terdapat maslahat bagi penjual dan pembeli sekaligus. Berkata Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulugh al-Maram (III/ 393), “Di dalamnya (pemberian uang persekot) terdapat maslahat lain bagi penjual karena pembeli jika menyerahkan uang persekot, dia mengetahui uang tersebut akan hilang jika dia membatalkan transaksi, maka dia akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya. Oleh karenanya, penjual biasanya mensyaratkan uang persekot agar pembeli benar-benar konsisten dan tidak meremehkan transaksi tersebut.
Demikian juga terdapat maslahat bagi pembeli, karena dengan membayar uang persekot, dia masih dapat mempertimbangkan dan memilih untuk mengembalikan barang tersebut bila tidak cocok. Berbeda jika dia tidak membayar uang persekot, maka dia tidak bisa mengembalikan lagi.”
Kesimpulan:
Pendapat yang membolehkan uang persekot lebih tepat dan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat zaman sekarang, dimana sangat susah mendapatkan orang yang amanat dan tepat janji. Transaksi yang belum sempurna tanpa adanya uang jaminan (uang persekot) biasanya akan dipermainkan pembeli. Dia memesan barang atau memesan ticket, setelah disepakati maka akan ditinggal begitu saja, sehingga merugikan pihak penjual.
Kebolehan uang persekot ini telah diputuskan oleh al-Majma’ al-Fiqhi al-Islamy, pada muktamar ke-8, di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam pada tanggal 1-7 Muharram 1414 H/ 21-27 Juni 1993 M. Begitu juga telah difatwakan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts al- Ilmiyah waaa al- Ifta kerajaan Saudi Arabia, dalam fatwanya no. 9388 dan no. 19637. Wallahu A’lam.
Pondok Gede, 24 Sya’ban 1435 H/ 23 Juni 2014 H