Hukum Menyemir Rambut
Kini, menyemir rambut bukan hanya ditujukan untuk menutupi uban, tapi sudah menjadi trend. Sekedar gaya dan untuk tampil beda. Seperti biasanya, sesuatu berubah menjadi trend dan ditiru jika para selebritis mulai gemar memakainya, demikian pula trend mewarnai rambut. Apalagi alat-alat kosmetik yang bisa dipakai pun semakin mudah didapat dengan harga terjangkau.
Bukan perkara krusial memang, tapi tentunya sebagai muslim kita tidak bisa sekadar ikut-ikutan. Perlu dikaji dulu, bagaimana syariat menilainya. Perlu juga pertimbangan mashlahat dan madharat yang proporsional karena beberapa perkara berkaitan erat dengan situasi, kondisi atau ‘urf , kebiasaan juga norma masyarakat setempat.
Dalam tinjauan fikih, menyemir rambut untuk menutupi uban pada dasarnya adalah sunnah. Lebih rincinya sebagai berikut:
Pembahasan bisa dibagi menjadi beberapa point:
Pertama, menyemir rambut dengan warna hitam.
Ada dua kondisi: Dibolehkan dalam jihad dan peperangan. Ibnu Hajar mengatakan, ” Dan dikecualikan dari larangan itu bagi seorang mujahid menurut kesepakatan.” Pendapat serupa dinyatakan al Qusthulani dalam Irsyadul Bari lisyarhi Shahihil Bukhari, juga Ibnu Allan dalam kitab Dalilul Falihin. Tujuannya adalah untuk irhab, atau meneror musuh. Karena musuh akan mengira pasukan Islam terdiri dari kaum muda semua.
Kondisi kedua dilarang jika digunakan untuk menipu. Misalnya seorang wanita yang menyemir saat akan dilamar. Ulama sepakat dalam hal ini seperti dinyatakan oleh Imam al Mabarkafuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi.
Selain dua kondisi itu, para ulama berselisih pendapat, ada yang berpendapat makruh dan dilarang. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat makruh demikian pula beberapa pendapat dari kalangan Syafi’iyah. Seperti disebutkan dalam kitab Hasyiah al Adawi, al Iqna’ Li Thalibil Intifa’ dan lainnya. Pengikut Madzhab Syafi’i berpendapat haram, seperti dijelaskan dalam kitab al Majmu’ Syarhul Muhadzab, karya Imam An Nawawi. (Makalah Hukmu Syibghisy Syi’ri bis Sawad, Syaikh Shalih bin Muhammad al Asmiri).
Kedua, menyemir rambut dengan selain warna hitam.
Jika rambut telah beruban maka disunahkan menyemirnya dengan warna selain warna hitam. Meski ada perbedaan pendapat, namun Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Shalih Al-Fauzan memfatwakan haramnya menyemir dengan warna hitam. Sedang selain warna hitam adalah sunah.
Dalam kitab kitab Fatawa Al Mar’ah (1/520-522), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Shalih Al Fauzan ketika ditanya tentang hal ini mengemukakan bahwa menyemir rambut yang telah beruban dengan menggunakan inai atau pacar atau yang selainnya merupakan sunnah yang diperintahkan dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani. Sebab mereka membiarkan ubannya dan tidak menyemirnya. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak menyemir ubannya, maka selisihilah mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun rambut yang belum beruban, beliau berdua menjelaskan bahwa sebaiknya dibiarkan sebagaimana aslinya dan tidak dirubah. Kecuali jika warna rambutnya tersebut dianggap jelek maka boleh disemir dengan warna yang sesuai, sekadar menghilangkan warna yang jelek tersebut. Sedangkan rambut lainnya yang tidak ada masalah padanya maka hendaknya dibiarkan sebagaimana aslinya karena tidak ada keperluan untuk mengubahnya.
Syaikh Ibnu Jibrin menjelaskan, mewarnai rambut dengan warna yang bermacam-macam adalah suatu mode yang sedang trend, orang-orang menyebutnya dengan semir. Sebagian pelancong wanita dari negara-negara barat tampil di hadapan kaum laki-laki dengan kepala dan muka terbuka (tanpa kain penutup). Sebagian mereka menyemir rambutnya dengan warna merah, kuning biru dan lainnya. Tujuannya untuk memalingkan atau mengundang perhatian serta menyebarkan fitnah kepada anak-anak muda. Sayangnya, penampilan dan keburukan tersebut ditiru oleh kaum wanita di negara-negara Arab dan negara-negara lain yang penduduknya mayoritas muslim, bahkan terkadang suami mereka memerintahkannya, karena suami mereka melihat wanita dari negara barat yang berpenampilan demikian sangat mempesona hatinya, sehingga suami mereka merasa senang.
Dalam hadits telah dijelaskan mengenai larangan menyemir rambut dan larangan memakai rambut palsu, dilarang menyemir uban dengan warna hitam, tetapi boleh menyemirnya dengan warna merah, dan penyemirannya itu hanya dilakukan dengan pohon pacar dan pohon katam (jenis tumbuh-tumbuhan) saja. Dengan demikian penyemiran rambut itu diperbolehkan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui (disarikan dari Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, Fatwa dari Syaikh Ibnu Jibrin).
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan, dikhawatirkan hal itu menyerupai wanita kafir jika model demikian bersumber dari mereka, sementara ada larangan untuk menyerupai mereka. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud. Syaikh Al Albani berkata dalam Jilbabul Mar’ah Al Muslimah hal 204: “isnadnya shahih”)
Baca Juga: Hukum Mencukur & Menggundul Wanita
Kesimpulannya, yang disunahkan adalah menyemir rambut yang telah beruban dengan warna selain hitam. Bahan yang digunakan pun, menurut Syaikh Ibnu Jibrin, haruslah sesuai dengan yang terdapat dalam hadits. Adapun menyemir rambut yang belum beruban, dari beberapa fatwa yang ada memang tidak ada yang melarang. Namun tidak selalunya, yang dibolehkan dalam syariat selalu layak dilakukan. Dalam beberapa kondisi, ada beberapa hal yang dibolehkan syariat, namun kurang pantas menurut ‘urf atau persepsi masyarakat setempat juga situasi dan kondisi.
Tentunya kita akan merasa aneh jika melihat seorang da’i tapi rambutnya disemir warna-warni. Para ulama sendiri sangat mengkhawatirkan jika hal itu dilakukan hanya karena ingin meniru budaya orang kafir. Contoh lain, memanjangkan rambut juga tidak dilarang. Tapi sedikit kurang pantas kiranya seorang ustadz atau kyai berambut gondrong layaknya perempuan.
Kita bisa menimbang dan mengukur sejauh mana manfaat dan kekurangan dari apa yang kita kerjakan. Jika memang tak pantas dan hanya sia-sia, untuk apa kita melakukannya? Wallahua’lam bish shawab.
Oleh: Taufik Anwar/Fikih Kontemporer
Pingback: Hukum Operasi Selaput Dara (Hymenoplasti) dalam Islam
Pingback: Hukum Go-Pay Menurut Pandangan Islam – assunahsalafushshalih