Hukum Menabur Bunga di atas Kuburan
Seringkali kita melihat masyarakat Indonesia menabur bunga di atas kuburan ketika menguburkan mayit. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan bentuk penghormatan kepada si mayit. Bagaimana Islam memandang perbuatan tersebut?
Hadist Terkait
Sebagian kalangan mengaitkan penaburan bunga di atas kuburan dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan, beliau bersabda:
“Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang diadzab, mereka berdua diadzab karena dosa besar. Adapun salahsatunya dahulu kalau buang air kecil tidak ditutup ( atau tidak bersuci ). Adapun yang lainnya, dahulu sering berjalan sambil menyebar fitnah.”
Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah dan dibelah menjadi dua. Masing-masing ditanam pada kedua kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah kenapa Anda melakukan ini?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan ini bisa meringankan adzab keduanya selama belum kering.” (HR. Al-Bukhari: 215).
Perbedaan para Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam menanggapi hadits tersebut.
Pendapat Pertama: Hadits di atas bersifat mutlak dan umum, sehingga dibolehkan bagi siapa saja untuk meletakkan pelepah kurma, bunga, dan semua tumbuhan yang masih basah di atas kuburan. Bahkan sebagian dari mereka mengatakan hal itu dianjurkan. Ini pendapat sebagian ulama Syafi’iyah.
Dalam Nihayah al-Muhtaj, Imam Ar-Ramli menuliskan, “Dianjurkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kubur karena mengikuti Rasulullah. Begitu pula bunga yang harum dan lainnya, yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang basah.”
Dalam Fathu al-Bari: III/223, Ibnu Hajar menulis, “Buraidah berwasiat agar di kuburnya diletakkan dua pelepah kurma. Ia wafat di dekat Khurasan.”
Pendapat Kedua: Hadist di atas hanya berlaku bagi Rasulullah dan merupakan kekhususan beliau. Dan Allah meringankan adzab kedua orang tersebut berkat berkah dan syafaat Rasulullah, bukan karena pelepah kurma yang basah. Oleh karena itu, beliau tidak melakukan hal serupa pada kuburan-kuburan yang lain.
Dalam Ma’alim as-Sunan: I/27, Al-Khattabi menulis ketika mengomentari hadits di atas, “Adapun menanam pelepah kurma atau mematahkan menjadi dua dan sabdanya ( mudah-mudahan ini bisa meringankan keduanya selama pelepah ini belum kering ), maka ini bagian dari mengambil berkah dari apa yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu juga dari doanya agar diringankan adzab keduanya. Seakan-akan beliau menjadikan masa kelembaban kedua pelepah kurma tersebut sebagai batas bagi keringanan adzab. Itu bukan karena pelepah kurma yang basah mempunyai kelebihan dibanding pelepah yang kering. Adapun orang-orang awam di banyak negara Islam yang menanam pelepah kurma di kuburan, saya kira mereka berpendapat seperti itu, tetapi apa yang mereka kerjakan sebenarnya tidak mempunyai dasar.”
Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah: I/556 menulis, “Apa yang dikatakan al-Khattabi benar adanya dan inilah yang dipahami oleh sahabat-sahabat Rasulullah, karena tidak pernah ada riwayat dari seorang sahabat pun bahwa mereka meletakkan pelepah kurma dan bunga-bungaan di atas kuburan, kecuali dari Buraidah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, yang mewasiatkan agar ditanam dua pelapah kurma di atas kuburannya. Dan sangat jauh, kalau meletakkan pelepah kurma ini menjadi hal yang disyariatkan, sedang seluruh sahabat tidak mengetahuinya kecuali Buraidah.”
Pendapat ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Saya melewati dua buah kuburan yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafaatku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (HR. Muslim: 7705).
Hadist di atas menunjukkan bahwa penyebab diringankan adzab dari kedua orang tersebut adalah syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan karena pelepah kurma, dan kelembaban pelepah kurma hanya dijadikan patokan tenggang waktu untuk keringanan dari adzab kubur.
Berkata Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (III/223), Ibnu Rasyid mengatakan, “Apa yang dilakukan oleh al-Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu al-Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu Umar (Sesungguhnya seseorang hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya). “
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hadits tentang pelepah kurma hanya berlaku bagi Rasulullah dan merupakan kekhususan beliau. Dan Allah meringankan adzab kedua orang tersebut karena berkah dan syafaat Rasulullah, bukan karena pelepah kurma yang basah.
Adapun yang diriwayatkan dari Buraidah al-Aslami barangkali itu pendapat beliau yang tidak didukung oleh sahabat-sahabat lainnya. Apalagi yang beliau wasiatkan hanyalah penanaman pelepah kurma, bukan menaburkan bunga seperti yang terjadi hari ini. Lebih baik meninggalkan hal-hal yang masih samar. Apalagi dengan berkembangnya zaman, akhirnya menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kebiasaan orang-orang kafir.
Harta yang dibelanjakan untuk membeli bunga sebaiknya disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Dalam al-Fatawa al-Hindiyah: 43/439 dijelaskan:
“Meletakkan bunga dan wewangian di atas kuburan baik, tetapi kalau harganya disedekahkan maka itu tentu lebih baik.” Wallahu A’lam
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Pondok Gede, 30 Rabi’ul Tsani 1436 H/ 20 Pebruari 2015 M