Hukum Daging Gelonggongan
Pengertian Daging Gelonggongan
Daging gelonggongan adalah daging dari jenis sapi yang diberi air sebanyak-banyaknya sebelum disembelih, dengan tujuan menambah berat badan binatang tersebut, sehingga ketika dijual harganya lebih mahal dan akan mendapatkan keuntungan lebih.
Salah satu cara mengisi air ke dalam perut sapi adalah dengan memasukkan selang ke mulut sapi sampai kedalaman kira-kira 1,5 meter kedalam perut sapi, kemudian selang tersebut dialiri air. Setelah perut sapi penuh dengan air, maka sapi dibiarkan sejenak agar air yang di dalam perut sapi meresap ke seluruh tubuh sapi.
Daging gelonggongan ini mempunyai beberapa ciri diantaranya : warnanya pucat, kandungan airnya sangat tinggi dan kelihatan lembek, biasanya harganya lebih murah.
Hukum Daging Gelonggongan
Hukum Daging Gelonggongan bisa lihat dari tiga sisi :
Sisi Pertama : Hukum Menjual Daging Gelonggongan
Jual beli daging gelonggongan termasuk jual beli yang diharamkan di dalam syariat, karena termasuk bentuk penipuan dalam jual beli, maka hukumnya haram. Hal ini berdasarkan dalil – dalil sebagai berikut :
Dalil Pertama : Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( Qs An-Nisa’ :29 )
Dalil Kedua : hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah menahan susu unta dan kambing ( dengan mengikatnya ). Barangsiapa membelinya ia boleh memilih dari dua hal : – setelah memeras susunya- , ia boleh tidak mengembalikannya, atau ia boleh mengembalikannya dengan satu sho’ kurma.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Berkata Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim ( 10/ 162) :
“ Ketahuilah bahwa at-Tashriyah ( menahan susu ) adalah perbuatan haram, baik pada binatang unta, kambing, kuda, keledai maupun yang lainnya, karena itu adalah perbuatan manipulasi dan penipuan. Tetapi jual belinya sah, walaupun haram. Bagi pembeli boleh tidak mengembalikannya. Hadist di atas juga menunjukkan keharaman manipulasi di dalam segala hal. Dan bahwa jual beli yang terdapat manipulasinya sah. “
Berkata al-Muhallab- sebagaimana disebutkan Ibnu Baththal di dalam Syar Shahih al-Bukhari ( 6/ 276 ) :
: “ Hadist ini merupakan dasar hukum bolehnya mengembalikan barang yang dibeli jika terdapat cacat atau ada unsur penipuan di dalamnya. Karena susu jika ditahan di dalam tetek binatang beberapa hari lamanya dan tidak diperas, maka pembeli akan menyangka bahwa keadaannya seperti itu setiap harinya,maka dia menjadi tertipu . “
Dalil Ketiga : Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu :
Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut, tiba-tiba jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: “Apa ini wahai penjual makanan?”. Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku.” ( HR Muslim ) .
Berkata Imam al-Baghawi di dalam Syarhu as-Sunnah ( 8/ 167 ) : “ Bukan dari golonganku” , maksudnya bukan keluar dari Islam, tetapi dia adalah orang yang tidak mau mengikutiku, karena perbuatan seperti ini bukanlah termasuk akhlaqku dan perbuatanku, atau bukan kebiasaanku dan caraku di dalam bermuamalah dengan saudaranya. “
Berkata Muhammad Syamsul al-Haq Abadi di dalam ‘Aun al-Ma’bud ( 9/231 ) : “ Hadist di atas menunjukkan keharaman manipulasi dan itu menjadi kesepakatan ulama “
Sisi Kedua : Hukum Mengkonsumsi Daging Gelonggongan
Daging Gelonggongan dibagi menjadi dua jenis :
Jenis Pertama : Daging Gelonggongan Murni. Yaitu daging yang berasal dari sapi atau sejenisnya yang dipaksa minum sebanyak-banyaknya hingga mati. Jenis daging seperti ini haram untuk dimakan karena sudah menjadi bangkai. Ini berdasarkan firman Allah :
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Qs Al-Baqarah : 173 )
Jenis Kedua : Daging Semi Gelonggongan, yaitu daging dari sapi yang dipaksa minum sebanyak-banyaknya hingga sekarat, sebelum mati, sapi tersebut disembelih terlebih dahulu. Ini boleh dimakan karena bukan bangkai, tetapi sebaiknya ditinggalkan karena termasuk daging yang tidak berkwalitas.
Sisi Ketiga : Bahaya Daging Gelonggongan bagi Kesehatan.
Mengkonsumsi daging gelonggongan bisa berakibat buruk bagi kesehatan. Hal itu dikarenakan beberapa sebab :
Pertama : Daging gelonggongan sudah tidak mengandung protein lagi, karena sudah membusuk. Memakannya menyebabkan mual, muntah, diare sampai keracunan yang berefek pada kematian.
Kedua : Daging gelonggongan sangat mudah sekali ditempati bakteri, virus dan hewan bersel satu seperti protozoa, jika kita memakannya sangat rentan menimbulkan berbagai macam penyakit.
Ketiga : Daging gelonggongan sangat rentan terkena penyakit sapi gila. Penyakit sapi gila dapat menular kepada manusia.
Keempat : Pemberian air minum kepada sapi secara berlebihan akan melemahkan daya tahan sapi. Ini menyebabkan kuman yang masuk melalui air akan diserap darah dan daging. Ini lebih berbahaya jika air yang digunakan tercampur insektisida.
Kelima : Daging dari sapi yang stress karena diminumkan air dalam jumlah yang berlebihan akan menularkan pengaruh buruk pada perilaku konsumennya.
Hukuman Bagi Penjual Daging
Bagi Pedagang yang menjual daging gelonggongan bisa dijerat dengan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku diberikan sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara, dan denda sampai Rp 2 miliar. Para pelaku penyembelihan, distributor, dan penjual daging gelonggongan juga bisa dijerat dengan Undang-undang Kesehatan Nomor : 6 Tahun 1967.
Keharaman daging gelonggongan telah ditetapkan dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Jawa Tengah Nomor: 03/Musda/VII/MUI/Jateng/II/2006
Wallahu A’lam,
Pondok Gede, 14 Jumadal Akhir 1435 / 14 April 2014