Hari Raya Iedul Ghadir
Bulan Dzulhijah lalu, sempat ramai terkait peringatan Hari Rayanya penganut Syi’ah yang disebut dengan ‘Iedul Ghadir. Wajar, baru kali ini perayaan itu digelar secara terang-terangan dan bahkan dipublikasikan di Indonesia secara besar-besaran.
Ini bisa dibilang ‘kemajuan’ di mana penganut Syi’ah mulai berani terang-terangan menampakkan jati diri mereka.Acara itu berlangsung di Gedung SMESCO Jakarta Selatan, meski acara tersebut mendapat kecaman dari ormas-ormas Islam yang menilai bahwa perayaan itu merupakan bentuk provokasi syiah untuk melestarikan kebencian dan dendam terhadap para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam terkemuka, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma.
Wajar jika mayoritas kaum muslimin tidak mengenal perayaan ini, karena ini hanya ada dalam tradisi syi’ah. Bagi mereka, Idul Ghadir adalah hari raya terbesar yang melebihi keagungan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha.
Salah satu situs Syiah di Indonesia menulis, “Hari ke 18 bulan Dzulhijjah merupakan hari Ghadir Khum, Ied al-Akbar (hari raya besar), hari raya keluarga Muhammad Saw dan termasuk hari raya yang paling besar. Allah SWT tidak mengutus seorang nabi kecuali merayakan hari raya ini dan menjaga kehormatannya (?!). Nama hari ini di langit adalah Yaumu al-‘Ahdu al-Ma’hud (hari yang dijanjikan) dan di bumi Yaumu al-Mitsaq al-Ma’khudz (hari perjanjian) dan al-Jam’u al-Masyhud (hari perkumpulan).”
Tak ada sumber yang lemah sekalipun bahwa para Nabi memperingati hari Iedul Ghadir Khum, karena perayaan ini bermula dan diadakan oleh orang-orang syiah, dan waktunyapun setelah lewat tiga generasi pilihan; sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Lantas bagaimana mungkin para Nabi sebelum diutusnya Nabi Muhammad merayakan suatu peristiwa yang belum terjadi.
Iedul Ghadir dalam pandangan syi’ah adalah hari di mana sahabat Ali diangkat oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam saat berada di Ghadir Khum untuk menjadi khalifah sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Disebutkan suatu riwayat versi syi’ah, bahwasanya mereka bertanya kepada Imam Shadiq as, “Apakah kaum muslimin mempunyai hari raya selain hari Jum’at, hari raya Fitri dan Adha?” beliau menjawab: ”Iya, yaitu hari raya yang kehormatannya melebihi seluruh hari raya”. Perawi mengatakan, “Hari raya apa itu?” beliau menjawab, “Hari itu adalah hari dimana Rasulullah SAW menobatkan Amirul Mukminin as sebagai khalifahnya dan bersabda: “barang siapa yang menganggap aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya”, hari itu adalah hari kedelapan belas bulan Zulhijjah“.(Lihat http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Di balik perayaan tersebut, penganut syiah bermaksud membangun citra, seakan hari Ghadir Khum itu lebih hebat dari hari diturunkannya wahyu al-Qur’an kepada Nabi. Sehingga perlu dirayakan. Sementara tak ada perintah syariat untuk memperingati hari di mana Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjadi Nabi sebagai hari raya, apalagi peringatan hari di mana Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah.
Perayaan tersebut juga bahwa mengandung pesan bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum tidaklah sah dan bahkan mereka dianggap merampas haknya sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu. Ini adalah provokasi terhadap umat Islam untuk membenci para sahabat yang mulia, yang telah diisyaratkan dalam banyak hadits termasuk “al-mubasyyaruuna bil jannah”, orang-orang yang telah dikabarkan gembira sebagai penghuni jannah. Inilah yang layak membuat kaum muslimin gerah marah terhadap perayaan itu.
Tidak heran, jika kitab-kitab utama syiah diwarnai aneka cacian dan laknat serta pengkafiran terhadap Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, sehingga keduanya tak segan-segan dijuluki oleh syiah sebagai al-Jibt dan al-Thagut, demikian pula gelar Haman dan Fir’aun, atau julukan keji lainnya.
Di antara alasan yang dikemukakan adanya pelantikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di Ghadir Khum, adalah hadits, “Man kuntu mawlahu fa ‘Aliyyun mawlah” dengan redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Al-Hakim. Menurut para ulama, teks hadis itu sebatas keutamaan Ali dan bukan pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadits itu dipahami oleh syiah sebagai bukti pengangkatan beliau sebagai khalifah sepenaninggal Nabi. Padahal kandungan kalimat itu bukan masalah kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah), melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak (al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal kata ‘al-waliyyu’ dan ‘al-mawla’.
Jika teks hadis itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah, dan tentu banyak para sahabat yang menjadikannya sebagai dasar. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali bin Abi Thalib yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi. Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma’ adalah bentuk kepastian petunjuk (Qoth’iy Dilalah) dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
Kaum muslimin telah cukup dengan adanya dua hari raya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik,
Pada awal kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke kota Madinah, beliau mendapatkan penduduk setempat memiliki dua hari perayaan yang mereka bermain-main di hari itu. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sejatinya Allah telah menggantikan dua hari perayaan kalian ini dengan dua hari lain yang lebih baik, yaitu hari iedul fitri dan hari iedul adhha.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan yang lain)