Hadiah Pegawai
Hadiah kepada pegawai, khususnya pegawai pemerintah, atau gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi dilarang oleh hukum di Indonesia kecuali dilaporkan ke KPK (Komite Pemberantasan Korupsi).
Adapun dalam hukum Islam sendiri, gratifikasi telah masuk ke dalam pembahasan fikih. Seperti diketahui, dulu pemrintah Islam juga sudah menerapkan berbagai macam sistem tentang kepegawaian dan pejabat negara dalam kekhilafahan.
Singkatnya, hadiah pegawai (gratifikasi) hukumnya haram. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abu Humaid as-Sa’idi bahwasanya beliau berkata :
“ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. (HR Bukhari dan Muslim )
Berkata Ibnu Abdul Barr di dalam at-Tamhid ( 2/9) : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ ( Qs. Ali Imran : 161 )
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah ( 3/313), Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Karena tujuannya untuk menggugurkan sesuatu yang mestinya menjadi kewajiban mereka. Adapun hadiah yang diberikan kepada hakim, bertujuan agar dia cenderung kepadanya ketika dalam persidangan. “
Kedua : Atsar Muadz bin Jabal yang menjadi pegawai di Yaman. Ketika beliau bertemu Umar bin Khattab di Arafah, dengan membawa budak-budak dari Yaman, Umar bertanya kepadanya : “ Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semua, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya harus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku “.
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi harinya Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan : ”Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelamatkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” ( Ibnu Abdul Barr, At Tamhid :2/7)
Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga tersebut.
Beberapa kasus yang bisa dimasukkan dalam katagori hadiah pegawai yang dilarang adalah sebagai berikut :
Pertama: Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telpon yang terputus atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, karena dia sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia mengambil atau meminta upah lagi, maka hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Kedua : Seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Mekah dan Medinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah dari dana yang tersedia, dengan tujuan akan mendapatkan uang discount atau kelebihan biaya dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya, karena hal ini akan merugikan jama’ah haji secara umum. Akibat ulah petugas tadi, jama’ah haji Indonesia terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak standar dan jauh dari Masjidil Haram.
Ketiga : Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang kembalian ( discount ) dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan.
Keempat : Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari pembayar zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali dia melaporkankan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi uang tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.
Kelima : Seorang pengurus sebuah arisan yang sudah mendapatkan gaji tetap dari peserta arisan, ketika membelikan sepeda motor untuk salah satu peserta yang mendapatkan undian, maka dia tidak boleh mengambil discount dari pembelian tersebut, dan harus dilaporkan kepada seluruh peserta.
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Menurut hemat penulis, sebaiknya dibedakan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Wallahu A’lam. Cipayung, Jakarta Timur 13 Sya’ban 1432 H/ 15 Juli 2011 M