Fondasi Awal Madinah
Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah sesampainya di Madinah dalam rangka hijrah adalah membangun masjid. Bahkan Beliau terjun langsung dalam pembangunan masjid, memindahkan bebatuan. Sehingga salah seorang sahabat berkata, “jika kita duduk saja sedang Rasulullah bekerja, itu adalah tindakan orang yang tersesat.”
Sementara di tanah tersebut ada kuburan orang-orang musyrik dan puing-puing bangunan. Rasulullah memerintahkan untuk menggali kuburan-kuburan tersebut dan meratakan puing-puing bangunan. Dinding masjid terbuat dari batu bata yang disusun dengan lumpur tanah, atapnya dari daun kurma, tiang-tiangnya dari batang pohon.
Masjid tersebut bukan sebagai tempat shalat semata, tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para sahabat untuk menimba ilmu dari Rasulullah, sebagai balai pertemuan antar kabilah, tempat tinggal sahabat muhajirin yang datang ke Madinah tanpa harta dan tak memiliki kerabat, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan sekaligus tempat bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.
Di samping membangun masjid, Rasulullah juga mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar. Persaudaraan ini bertujuan agar saling tolong menolong antara muhajirin dan anshar, saling mewarisi harta ketika meninggal dunia. Hal waris ini berlaku sampai turun ayat, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)” (Al-Anfal:75).
Persaudaraan ini juga dimaksudkan agar fanatisme jahiliyah tergantikan dengan fanatisme islam, tak ada yang dibela kecuali islam. Tak ada yang merasa lebih unggul atau lebih rendah kecuali karena ketakwaan. Rasulullah menjadikan persaudaraan ini bukan sekedar isapan jempol semata, persaudaraan ini merupakan tindakan nyata yang menyatukan darah dan harta. Dorongan untuk saling mendahulukan kepentingan saudaranya, saling mengasihi dan memberi pertolongan. Persaudaraan ini nantinya akan mewarnai segala aspek kehidupan masyarakat Madinah.
Dalam sebuah riwayat diceritakan ketika muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “ sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya diantara kaum anshar, ambillah sebagian hartaku. Aku juga mempunyai dua istri, pilihlah salah satu agar ku ceraikan. Jika telah habis masa iddahnya, nikahilah!”
“Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja arah pasar kalian,” jawab Abdurrahman bi Auf.
Kemudian orang-orang menunjukkan pasar Bani Qainuqa’ kepada Abdurrahman bin Auf. Tak berapa lama kemudian Abdurrahman bin Auf sudah mendapatkan bahan pokok yang diperlukan.
Di kisah lain, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa orang-orang anshar datang kepada Rasulullah dan berkata, “bagilah kebun kurma milik kami dan bagikan kepada saudara kami muhajirin ya Rasulullah.”
“Tidak perlu, cukuplah kalian berikan bahan makanan pokok saja dan kami akan bergabung dengan kalian ketika musim panen.” Jawab Rasulullah.
Hal tersebut menunjukkan betapa murah hatinya kaum anshar terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin. Mereka mau berkorban demi kepentingan saudara-saudaranya. Begitu pula kaum muhajirin, mereka tidak lantas berharap belas kasih dari kaum anshar. Mereka tidak menerima kecuali sekedar makanan untuk menegakkan tulang punggung.
Dengan mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar, Rasulullah telah mengikat perjanjian yang sanggup menyingkirkan belenggu jahiliyah dan fanatisme terhadap kabilah masing-masing.