Faktor Kemunculan Khawarij
(Mengenal Khawarij 2)
Kemunculan Khawarij membawa pengaruh yang signifikan dalam aspek keagamaan, politik, sosial, dan pemikiran kaum muslimin. Oleh karena itulah sejarah kemunculannya mendapat perhatian serius dari para pakar sejarah Islam. Mereka mencatat, sekurang-kurangnya ada empat faktor yang diduga kuat mendorong kemunculan Khawarij.
Perbedaan Pendapat Seputar Khilafah
Yang dimaksud di sini bukan perbedaan pendapat biasa, melainkan terjadinya perselisihan bersenjata di antara kaum muslimin seputar Khilafah di satu sisi dan perselisihan Khawarij dengan selain mereka tentang metode pengangkatan khalifah serta kriteria mereka yang dapat diangkat sebagai khalifah menurut versi Khawarij di sisi yang lain.
Dari sisi terjadinya perselisihan di antara kaum muslimin seputar khilafah, di antara para pakar sejarah ada yang mengkategorikan Khawarij—seperti Syi’ah—sebagai kelompok politis yang muncul di awal Islam. Kemunculan mereka pertama-tama kembali kepada perselisihan seputar Imamah ‘Uzhma (kepemimpinan tertinggi dalam Islam).
DR ‘Abdulhalim Mahmud berkata, “Faktor kemunculan Syi’ah dan Khawarij adalah perselisihan seputar kepemimpinan, sedangkan faktor kemunculan kelompok yang lain—Musyabbihah, Mu’tazilah, dll—adalah kajian berlebihan dan perdebatan dalam masalah akidah.”
Realitanya, perselisihan di antara kaum muslimin seputar Imamah ‘Uzhma setelah wafatnya ‘Utsman bin ‘Affan bukan hanya menjadi faktor kemunculan aliran Syi’ah dan Khawarij saja, melainkan semua aliran. Hanya, pengaruhnya terhadap kemunculan Syi’ah dan Khawarij lebih jelas dan nyata.
Sebelum mereka keluar dari ketaatan kepada khalifah ‘Ali, orang-orang Khawarij adalah bagian dari pasukan khalifah ‘Ali. Setelah peristiwa tahkim, mereka keluar dari kepemimpinan khalifah ‘Ali dan juga dari Mu’awiyah.
BACA JUGA : Percaya Adanya “ Penampakan Hantu ”, Syirikkah?
Setelah itu, faktor lain yang membuat Khawarij keluar dari kepimpinan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah adalah pandangan mereka bahwa metode pengangkatan khalifah dan syarat-syarat untuk menjadi khalifah tidak ada pada para khalifah yang menjabat. Mereka menggunakan sistem kerajaan, yakni kekuasaan diwariskan kepada anak dan seterusnya. Mereka berpandangan, kekhilafahan harus dipilih oleh kaum muslimin.
Peristiwa Tahkim
Peristiwa Tahkim terjadi pasca perang Shiffin, yakni setelah ‘Ali terpaksa menerima tawaran tahkim di mana Ali menunjukk Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakilnya. Akhir dari peristiwa itu ‘Ali masih harus terpaksa menerima keputusan tahkim. Meskipun demikian Khawarij tetap membencinya dan menjadikan peristiwa itu sebagai alasan untuk membenci ‘Ali, tidak taat kepadanya dan menolak kepemimpinannya.
Kebanyakan ulama menjadikan peristiwa tahkim ini sebagai peristiwa yang langsung memunculkan Khawarij. Ini tampak dalam dialog ‘Ali dengan mereka dimana mereka berkata, “Kami pernah bertahkim. Saat itu kami berdosa dan dengan itu kami menjadi orang-orang kafir. Hanya, kami telah bertaubat. Maka jika kamu bertaubat sebagaimana kami telah bertaubat, kami menjadi bagian darimu dan akan bersamamu. Namun jika tidak, kami akan meninggalkanmu, kami menolakmu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.”
Orang-orang Khawarij menyatakan bahwa tahkim mereka perbuatan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan harus meninggalkan orang-orang yang meyakininya.
Kezhaliman penguasa dan kemungkaran yang meraja lela
Faktor ini dinyatakan sendiri oleh orang-orang Khawarij. Mereka menyatakan bahwa hal itulah yang menjadi faktor keluarnya mereka dari kepemimpinan seorang penguasa muslim. Mereka melakukannya sampai mereka dapat menegakkan keadilan dan memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran serta mengembalikan manusia kepada Rabb mereka dan agama mereka. Inilah motif yang sering disampaikan oleh tokoh-tokoh Khawarij sehingga mereka menggerakkan orang-orang yang sepaham dengan mereka dan mengangkat pedang. Di antara khutbah yang disampaikan oleh ‘Abdullah bin Wahab ar-Rasibiy di depan para pengikutnya, “Demi Allah, tidaklah pantas dunia ini bagi orang-orang yang beriman kepada ar-Rahman dan kembali kepada hukum al-Qur`an. Dunia yang mereka rela terhadapnya, cenderung kepadanya, dan mendahulukannya. Dunia yang lebih mereka dahulukan daripada amar makruf, nahyi mungkar, dan menyampaikan kebenaran… maka, mari keluar wahai saudara-saudaraku dari negeri yang penduduknya zhalim ini menuju puncak gunung atau ke suatu kota untuk kita ingkari kebid’ahan yang menyesatkan itu.”
Tetapi anehnya, meskipun mereka mengakui keadilan khalifah ‘Umar bin ‘Abdulaziz dan bahwa ia berhasil menepis berbagai kezhaliman yang dilakukan oleh Bani Umayah, mereka tetap keluar dari ketaatan kepadanya. Alasan mereka, karena ‘Umar bin ‘Abdulaziz masih mengkategorikan dosa-dosa khalifah sebelumnya sebagai kezhaliman, bukan kekafiran. Itulah yang diungkapkan oleh salah satu dari dua utusan mereka yang menemui ‘Umar. Waktu itu ‘Umar bertanya, “Apakah yang membuat kalian tetap bersikap menentang kami dan membenci kami?” Salah satu dari dua orang itu menjawab, “Demi Allah! Kami tidak membenci perjalanan hidupmu. Kamu telah berjalan di atas keadilan dan kebaikan. Hanya, antara kami dan kamu ada satu perkara, jika kamu memenuhinya maka kami bagian darimu dan kamu pun bagian dari kami. Demikian pula sebaliknya, jika kamu menolaknya kamu bukan bagian dari kami dan kami pun bukan bagian darimu.” ‘Umar bertanya, “Apakah itu?” Orang itu menjawab, “Kami telah melihatmu menyelisihi apa yang telah dilakukan oleh para penguasa sebelummu. Namun kamu menamainya dengan kezhaliman. Dan kamu pun menempuh jalan yang berbeda dengan jalan mereka. Jika kamu mengklaim berada di atas kebenaran dan mereka di atas kesesatan, laknatlah mereka dan berlepas dirilah dari mereka. Inilah perkara yang akan membuat kita bertemu atau berpisah.”
Sikap mereka ini adalah sikap ghuluw, berlebih-lebihan. Dan ‘Umar bin ‘Abdulaziz memberikan jawaban yang mewakili pemahaman Ahlussunnah, “Apakah menurut kalian, melaknat para pendosa merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan? Jika demikian, beritahukan kepadaku, kapan kalian melaknat Fir’aun?”
“Tidak pernah,” jawabnya.
“Lho! Bagaimana kamu tidak melaknat Fir’aun sedangkan dia adalah makhluk yang paling buruk, sementara menurutmu aku harus melaknat keluargaku sendiri dan berlepas diri dari mereka?” kata ‘Umar.
Ekstrem dalam Memahami Islam
Sebagian ulama menyatakan, faktor keluarnya Khawarij adalah dampak dari pemikiran mereka yang ekstre m terhadap al-Qur`an dan as-Sunnah. Inilah yang disebut oleh ath-Thalibiy, “Ketakwaan dan berpegang teguh kepada al-Qur`an dan as-Sunnah secara berlebihan menjadi faktor sikap khuruj dan ingkar.”
Yang dimaksud dengan khuruj adalah keluar dari ketaatan kepada imam; sedangkan ingkar adalah mengingkari kemaksiatan dengan menganggapnya sebagai kekafiran.
Ahmad Amin, seorang pakar sejarah Islam dari Mesir juga menyatakan, “Keimanan mereka yang ekstrem telah mendorong mereka untuk menghabiskan seluruh waktu yang mereka miliki untuk menyeru umat kepada prinsip mereka secara terang-terangan. Mereka mengirim surat dan utusan kepada para khalifah Bani Umayah. Mereka tidak memperdulikan dampak dari perbuatan mereka tersebut. Apapun siap mereka korbankan.
Ustadz Abu Zahrah, juga seorang ulama dari Mesir, mengatakan bahwa ekstremitas keagamaan yang membuat mereka seperti itu adalah kehidupan pegunungan mereka (yang belum terpoles dengan baik oleh Islam). Setelah masuk Islam mereka kembali ke kehidupan mereka di pegunungan, jauh dari ilmu.
Faktor Lain
Ada juga pakar sejarah Islam yang menyebut beberapa faktor lain seperti fanatisme kabilah dan faktor ekonomi. Hanya, kebanyakan pakar sejarah tidak mengakui dua hal tersebut sebagai faktor yang spesifik mendorong kemunculan Khawarij. Wallahu a’lam.